Kamis, 29 Maret 2012

Tak ada Lagi Bioskop di Bandung

SEBUAH nama tempat atau benda dikenal karena keduanya ada serta berfungsi. Tapi, manakala keduanya kehilangan fungsinya, niscaya kata itu berangsur-angsur dilupakan. Bahkan, oleh generasi seterusnya kelak kata itu menjadi asing. Jika pun kata itu masih ada, maka itu hanya berupa jejak dalam kamus. Sebutlah, kata “perangko”. Meski sebagai benda perangko masih bisa ditemukan, tapi sebagai kata ia mulai asing karena fungsinya dalam surat menyurat telah digantikan oleh ponsel, surel (e-mail), dan jejaring sosial.

Seperti kata “perangko”, begitulah nasib bioskop. Sebagai benda atau nama tempat ia masih ada. Di Bandung, misalnya, kita bisa menemukannya di sejumlah kawasan. Termasuk di pusat kota seperti  di alun-alun atau di Jl. Braga. Tapi,  itu tak lebih sekadar bangunan yang telah kehilangan fungsinya sebagai tempat orang menonton film. Kata “bioskop” biasanya baru muncul setelah nasib bangunannya yang bersejarah diusik demi kepentingan yang lebih pragmatis. Seperti bangunan bekas bioskop Rio Cimahi yang dirombak, sebelum bioskop yang berdiri sejak tahun 1937 itu kini beralih menjadi pusat penjualan ponsel. Terakhir, kata “bioskop” muncul lagi sehubungan dengan nasib bekas bangunan bioskop Pasific di Sumedang.


Kata “bioskop” pelan-pelan maknanya lebih merujuk pada masa lalu. Sementara fungsinya sebagai tempat orang menonton pemutaran film telah telah berpindah ke dalam mall. Bioskop bukan lagi bangunan tersendiri. Ia kini adalah bagian dari kawasan perbelanjaan seperti mall. Karena itulah kini jarang orang menyebut nama bioskop sebagai tempat menonton film. Mereka lebih sering tapi menyebut nama mall di mana bioskop itu berada. Misalnya, orang lebih sering menyebut BIP,  BTC, BSM, Ciwalk, PJV, BCW, ketimbang Studio 21 Megaplex, atau Megablitz.   

Di Bandung tak lagi ada bioskop. Bangunan tersendiri yang bukan bagian dari mall. Mall telah mengambil alih fungsi bioskop, dan hanya menyisakan maknanya sebagai ruang sosial dalam kenangan warga kota.  Bioskop Regent di Jl. Sumatera dan bioskop Astor di Ujungberung merupakan pertahanan terakhir sejarah bioskop di Bandung. Tapi, kita tahu, sejak akhir tahun 2011, akhirnya kedua bioskop itu harus tutup karena orang lebih suka menonton film di mall.

Keduanya (Regent dan Astor) adalah akhir sejarah keberadaan bioskop di Bandung. Sejarah yang berawal dari kawasan Alun-alun Bandung tahun 1907. Lokasi didirikannya dua bioskop pertama, yaitu, de Crown Biosccop dan Oranje Electro Bioscoop. Sebagai sebuah kota yang berjuluk “Paris van Java”, sejarah perkembangan film pada masa Hindia-Belanda tidaklah bisa dipisahkan dari Kota Bandung.

Selanjutnya, Bandung merupakan kota yang tak bisa disendirikan dari perkembangan film di Indonesia. Keberadaan bioskop di Bandung karena itu menjadi hal yang niscaya. Hingga tahun 1970-an, terdapat sekira 30 bioskop di Bandung. Dari mulai yang bergengsi, seperti, Capitol, Dallas, Nusantara, Paramount, sampai yang tak beratap alias misbar (gerimis bubar) yang murah meriah. Sebutlah,   “Taman Hiburan” dan “Liberty/Tjahaya” (Cicadas), “Taman Senang” (Pagarsih), “Taman Siliwangi” (Astana Anyar), “Warga” (Cihaurgeulis), “Taman Riang”, “Tjoblong”, “Setia”, “Taman Sahati”, “Marga Senang”, “Wargi”, dan “Taruna”, “Nusantara” dan “Harapan” (Cimahi).

Menjawab Musabab
Sebagai ikon modernitas di awal abad 20, keberadaan bioskop telah menjadi bagian penting dari sejarah sosial warga kota. Bioskop bukan melulu soal fungsi. Tapi juga makna sejarah dan perubahan sosial yang terjadi yang di dalamnya. Lenyap dan tak ada lagi bioskop di Bandung dengan begitu menunjukkan telah terjadinya sebuah perubahan. Perubahan yang gelagatnya muncul sejak pertengahan tahun 1990-an. 

Dan berbagailah pemikiran orang ihwal musabab nasib malang yang banyak menimpa bioskop. Ada yang mengatakan bahwa musabab hal ini karena regulasi tata niaga peredaran film kurang sehat baik. Atau, seperti yang pernah dilontarkan Edison Nainggolan Ketua Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GBPSI) Jabar di sebuah media,  bahwa penurunan jumlah bioskop sebagai akibat membanjirnya produk film bajakan dalam format VCD pada pertengahan 1990-an.

Regulasi peredaran film dan banjirnya film bajakan DVD/VCD mungkin saja benar menjadi musababnya. Tapi, bagaimanapun bioskop memiliki sensasi yang berbeda dibanding menyaksikan film di rumah atau via layar komputer. Karena itu juga sulit menemukan alasan dari hubungan nasib bioskop dan regulasi peredaran film. Termasuk ramainya kemunculan industri stasiun TV swasta.

Paling tidak, seluruhnya bukanlah musabab yang utama. Musabab ini agaknya mesti dilacak dari perubahan budaya menonton. Perubahan yang salah satunya dibentuk oleh inovasi konsep bioskop. Inilah yang ditawarkan oleh konsep sinepleks di tahun 1987. Konsep gedung bioskop yang memiliki lebih dari satu layar. Berbeda dengan bioskop klasik yang tak memberi pilihan pada masyarakat selain satu film yang diputarnya, sinepleks menawarkan lebih dari satu film. Penonton diberi kebebasan untuk memilih film yang disukainya.

Konsep sinepleks pun lebih “demokratis”. Sinepleks tak mengenal pembagian kelas tempat duduk berdasarkan perbedaan harga karcis seperti bioskop klasik. Malah, penonton diberi kebebasan memilih posisi dan nomor tempat duduk yang diinginkannya. Juga berbeda dengan ruang bioskop yang massif, sinepleks hadir dengan konsep ruang yang minimalis.

Mall Menjadi “Ruang Publik”
Dan gelagat perubahan budaya menonton ini lebih telak terjadi manakala dihubungkan dengan perkembangan konsep mall yang mengidentifikasi dirinya sebagai “ruang publik”. Sebenarnya sejak tahun 1980-an, di Bandung terdapat beberapa bioskop yang telah berada di pusat perbelanjaan, seperti bioskop Galaxi di Jl. Daumkaum/Kepatihan atau bioskop Nusantara di Palaguna alun-alun.

Namun bioskop-bioskop itu perlahan ditinggalkan seiring dengan munculnya mall-mall baru dengan konsep yang tak sekadar sebagai tempat belanja. Ini sama nasibnya dengan sejumlah sinepleks Studio 21 yang pada awalnya berada terpisah dari mall. Dan ini juga sebabnya mengapa bioskop Regent ditinggalkan penontonnya meski ia adalah bioskop dengan konsep sinepleks.  

Sampai tahun 1990-an dan awal 2000, watak arsitektur ruang kota pun kian bersifat komersil. Konsep ruang publik perlahan diambil alih dan diidentifikasi oleh ruang-ruang komersil seperti mall. Di dalamnya tersedia berbagai aktivitas publik. Belanja, mempercantik diri, olah raga, mengasuh anak, makan, nongkrong, jalan-jalan, menyaksikan pertunjukan musik. Bukan pusat perbelanjaan yang melulu berfungsi sebagai tempat belanja.

Mall segera menjadi habitat baru bagi sinepleks yang letaknya di lantai paling atas. Malah, orang lebih mengidentifikasi mall tersebut ketimbang nama sinepleknya. Di dalam mall sensasi menonton film menjadi peristiwa yang sama maknanya dengan belanja, jalan-jalan, dan nongkrong. Karena itulah, di Bandung, tak ada Cinema 21 atau Megablitz di Pasar baru atau di ITC Kebon Kalapa.

Semua berawal dari kata. Halnya dengan bioskop, kata itu perlahan hilang karena perubahan budaya menonton masyarakat. Perubahan karena inovasi konsep bioskop dan terlebih lagi bersebab pada pemaknaan ruang publik yang telah dihegemoni dan dimanipulasi oleh ruang-ruang komersil. Seluruhnya inilah yang telah mengubah budaya menonton masyarakat. Sekaligus mengakhiri riwayat sejarah bioskop.

Di Bandung  kata “bioskop” muncul kali pertama di kawasan alun-alun tahun 1907. Kawasan yang ketika itu menjadi pusat ruang publik. Dan kini mall telah menjadi “ruang publik”. Kata “bioskop” tengah proses menuju lenyap dari memori kolektif masyarakat. Berganti dengan nama berbagai mall, seperti yang selalu kita baca di banyak penunjuk arah di Kota Bandung.  Dan kelak anak-anak kita akan bertanya, “Dupi bioskop teh naon?” (Ahda Imran)      
   

“Kayak Nyonya dan Tuan di Gedongan”
Malam minggu aye pergi ke bioskop/Bergandengan…ama pacar
nonton koboi/Beli karcis, tau tau kehabisan/Jaga gengsi terpaksa
beli catutan//Aduh emak asyiknya/Nonton dua-duaan/Kayak nyonya
dan tuan di gedongan...

BEGITU potongan lirik lagu “Malam Minggu” ciptaan Bing Slamet. Lagu ini populer sekira awal tahun 1970-an. Selain oleh Bing Slamet, Benyamin Sueb pernah juga mempopulerkannya. Lagu ini membayangkan bagaimana ketika itu bioskop dimaknai. Bukan sekadar tempat menonton film dan membawa pacar di malam minggu. Bioskop juga menjadi ruang yang bersangkut dengan ihwal klas atau prestise sosial. Di ruang itulah menonton menjadi peristiwa orang kecil membayangkan dirinya “Kayak nyonya dan tuan di gedongan”.

Sejak awal kedatangannya di Batavia tahun 1900, film dan bioskop telah menjadi ikon modernitas. Ikon budaya urban yang menggoda sebagai suatu prestise. Datang ke bioskop artinya bukan sekadar menyaksikan film, tapi menjadi bagian dari peristiwa mengidentifikasi citraan diri. Identifikasi citraan ini acapkali menjadi naif dan kocak seperti dalam petikan lirik lagu di atas.

Pada masanya, bioskop adalah ruang bagi seseorang untuk mengidentifikasi atau membayangkan diri menjadi modern. Terlebih lagi bagi mereka yang hidup dalam budaya urban Makna citra atau bayangan seperti inilah yang dikenakan pada sejumlah bioskop di Bandung pada tahun 1920-an. Bioskop-bioskop bagi kalangan eksklusif, seperti Concordia di kawasan Braga. Juga bioskop kalangan atas Elita Biograph, Radio City, dan Oriental di alun-alun. Sedangkan di Kebonjati ada bioskop Luxor, dan Oranye di Cikakak.

Tapi pada suatu masa di belakang itu, terutama sejak tahun 1960-an di Bandung, bioskop adalah juga ruang perayaan. Semacam ritual gaya hidup urban yang tak hanya milik lapisan kalangan berpunya. Inilah jejak ingatan yang ditinggalkan bioskop-bioskop misbar (gerimis bubar), terutama di Sabtu malam. Sebuah tempat bagi kalangan bawah untuk merayakan haknya mendapatkan hiburan.

Tak ada pretensi sosial. Yang ada hanyalah kebersamaan dan kemeriahan di bawah langit malam. Menyaksikan film India, silat, seks atau film hantu Indonesia.  Bioskop dan jenis filmnya juga menyangkut selera. Dan yang namanya selera biasanya berurusan dengan klas-klas sosial.

Tapi, tak ada kebudayaan atau peradaban yang bisa menolak hukumnya sendiri. Hukum besi yang bernama perubahan. Dan perubahan itu selalu berlangsung menyeluruh. Terjadinya perubahan budaya menonton sehingga masyarakat perlahan meninggalkan bioskop, tak bisa dilainkan dari berlangsungnya perubahan dalam bagaimana budaya konsumsi mengemas dirinya.

Jika dikatakan di awal abad 20 bioskop merupakan ikon modernitas yang lekat dengan budaya urban, maka dalam hari ini ikon itu telah diambil oleh mall. Mall adalah ikon seterusnya dari masyarakat kontemporer. Ikon yang seolah tak lagi mengenal klas-klas sosial. Di dalam mall yang desa dan urban atau ngota sama dikemas menarik demi budaya konsumsi. Mall telah mencitrakan dirinya sebagai “ruang publik” tempat di mana semua keberbagaian hadir.

Dan kini bioskop ada di situ dengan nama sinepleks. Terletak di lantai atas dengan lobi yang nyaman. Orang tinggal memilih film yang disukainya. Tak ada calo (tukang catut) seperti lirik lagu Bing Slamet itu. Duduk di sofa yang empuk dalam ruang sinepleks yang tidak begitu besar dibanding bioskop. Tak ada orang berteriak, bertepuk tangan, apalagi ber-suit-suit.  Tapi, meski kini ada di dalam mall lirik lagu Bing Slamet di atas tampaknya masih saja relevan, Aduh emak asyiknya/Nonton dua-duaan/Kayak nyonya dan tuan di gedongan... (Ahda Imran, Pikiran Rakyat 29 Maret 2012)




       


   





1 komentar:

  1. Nice mas.. iya saya dulu sering ke astor saat masa2 smp. Hhehe .

    BalasHapus