Jumat, 23 Maret 2012

Menyoal Film Biografi



SAMBUTAN masyarakat yang menggembirakan atas film “Sang Pencerah” tampaknya menjadi sinyal mencerahkan dalam mencermati gejala berikutnya dari perkembangan film Indonesia. Kesuksesan film yang mengisahkan perjuangan pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan ini, seolah mengirim isyarat baik pada agenda produksi film Indonesia yang berangkat dari kisah hidup para tokoh.

Sejumlah film biografi berikutnya akan segera hadir dan berharap bisa mengikuti kesuksesan “Sang Pencerah”.  Isyarat yang sebelumnya telah dikirim sejak tahun 2005 oleh “Gie”, film garapan Riri Reza yang mengisahkan perjuangan mahasiswa dan aktivis Soe Hok Gie. Film ini menyabet Film Terbaik FFI 2005.  
Dan tak lama lagi, selepas “Sang Pencerah” masyarakat pun akan disugugi beberapa produksi film yang mengusung kisah perjuangan atau penggalan hidup sejumlah tokoh Indonesia yang lain. Sebutlah, film “Inggit Ganarsih” yang menampilkan sosok mantan istri pertama Ir. Soekarno yang akan diperankan oleh Mawdy Koesnadi. 


Demikian pula dengan sisi lain dari kisah hidup Ir. Soekarno,  yang di tahun 2010 beredar kabar akan diangkat ke layar film. Seperti kisah cinta Soekarno dan Fatmawati  yang diproduksi oleh Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi (Dishubkominfo) Provinsi Bengkulu dan melibatkan artis Lola Amarlya. Bersamaan dengan itu juga muncul rencana pembuatan film tentang kisah Soekarno yang lain, yakni, kisah cinta Soekarno dan Yurika Sanger yang akan diproduksi oleh “BQ” Film.

Lepas dari bagaimana kabar terakhir kedua film tentang kisah cinta Soekarno itu, tapi hal ini menunjukkan adanya kegairahan untuk yang lain dalam perkembangan Indonesia dua atau tiga tahun terakhir ini. Termasuk sebuah film animasi “Pangeran Diponegoro The Movie” (2010) produksi  Misty Cinegram & Rimus Animation.

Tak hanya tokoh sejarah, kisah atau penggalan hidup tokoh yang masih hidup pun akan segera bisa disaksikan di layar film. Seperti film  “Si Anak Kampoeng” yang menuturkan kisah hidup tokoh Muhammadiyah Buya Syafii Maarif, atau yang teranyar kisah cinta mantan Presiden RI Habbie dan almarhumah istrinya Hj. Ainun Habbie yang rencananya akan diproduksi oleh MD Entertainment.
                                                          **
SEBENTAR menengok ke belakang, genre film biografi bukankah sesuatu yang baru dalam perkembangan film Indonesia. Hanya saja, berbeda dengan kini,  sosok tokoh yang difilmkan melulu mereka yang lekat dengan sejarah perjuangan bersenjata.  Di tahun 1961, misalnya, Usmar Ismail pernah mengangkat kisah heroisme Moh.Toha dalam film “Toha Pahlawan Bandung Selatan”,  kisah Pangeran Diponegoro dalam “Pangeran Goa Selarong”(1972), atau “ Tjoet Nyak Dhien” (1988). Film laga “Mat Peci” (1978) yang mengisahkan gembong penjahat terkenal yang dibintangi oleh Rachmat Hidayat bisa dimasukkan ke dalam genre film biografi.

Dalam khazanah film dunia,  genre film biografi setidaknya telah dimulai sejak film bisu di tahun 1898 ketika Georges Milies mengangkat kisah hidup pahlawan perempuan Joan D’Arc dalam film “Joan D’Arc”,  menyusul kemudian film “Joan The Women” (1916) tentang aktivis perempuan Joan C. Demile. Sejak tahun 1900 hingga hari ini beragam film biografi diproduksi. Mulai dari kisah hidup para raja dan ratu, presiden, ilmuwan, satrawan, seniman, aktivis politik dan agama, gembong penjahat, sampai atlit terkenal.

Hal ini jelas menunjukkan bahwa genre film biografi memiliki peluang animo masyarakat yang tak kecil. Lewat media film, masyarakat tak sekadar mendapatkan informasi ihwal kehidupan seorang tokoh tapi sebagai penonton mereka seakan menjadi saksi dari biografi tokoh tersebut. Terlebih hal-hal yang selalu menimbulkan rasa ingin tahu yang biasanya berhubungan dengan sisi kemanusiaan si tokoh.

Tapi dibanding genre film lainnya, di Indonesia film biografi bisa disebut belumlah menjadi penanda yang signifikan, terutama dari segi jumlah. Padahal, “Tjoet Nyak Dhien”  banyak dipandang sebagai film yang memuncaki film Indonesia dekade 1980-an, selain juga menjadi film Indonesia pertama yang diputar di ajang Festival Film Cannes tahun 1989. Tapi, selepas “Tjoet Nyak Dhien” (1988) nyaris tak ada lagi film biografi yang diproduksi sampai munculnya film “Gie” (2005). Artinya, diperlukan waktu tujuhbelas tahun.

Ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Selain dianggap kurang menguntungkan secara komersil, faktor kebijakan politik rejim Orde Baru ketika itu juga turut memengaruhi sepinya produksi film biografi. Ketika itu film biografi lebih cenderung mengangkat kisah para pahlawan yang berjuang mengangkat senjata ketimbang tokoh pergerakan. Hal ini sangat berurusan dengan cara pandang sejarah a la Orde Baru, sebagaimana sosok kepahlawanan Soeharto ditampilkan dalam film “Serangan Fajar”.  “Serangan Fajar”, “Janur Kuning, dan “Pemberontakan G 30S/PKI”.
                                                            **
PERUBAHAN politik dan kerinduan masyarakat pada sosok tokoh yang bisa menjadi teladan serta memberi inspirasi, tampaknya menjadi peluang bagi genre film biografi. Di samping juga keingintahuan masyarakat ihwal sisi lain kehidupan tokoh tersebut sebagai manusia biasa. Dari konteks inilah agaknya kesuksesan film “Sang Pencerah” bisa dicermati, juga kehadiran sejumlah produksi film biografi yang dalam beberapa tahun ini menjadi gejala yang menarik.

Hal ini menggembirakan sekaligus mencemaskan. Menggembirakan karena menunjukkan harapan pada adanya perluasan dan keberagaman tema, terutama dalam genre film biografi. Tapi,  harapan semacam ini akan kandas jika ia terjebak ke dalam apa yang selama ini menjadi penyakit laten industri film Indonesia, yakni, trend tanpa kreavitas alias kelatahan.

Jika itu terjadi,  maka akan munculah film biografi sejumlah tokoh yang tak memberi inspirasi apapun, selain hanya menampilkan sensasi tanpa kecerdasan menggali sisi kemanusiaan si tokoh. Malah, bukan tidak mungkin munculnya film biografi pesanan demi berbagai kepentingan, termasuk politik. Tentu, tak  ada isyarat pencerahan apapun dalam film biografi semacam itu. (Ahda Imran, Pikiran Rakyat tahun 2011, tanggal dan bulan pemuatan tak terlacak)    

1 komentar: