Kamis, 15 Maret 2012

Simulakra China


SUATU hari, dalam sejarah China ketika kerajaan-kerajaan saling bertempur.  Kedua pasukan kuda berhadapan di sebuah areal yang luas. Di depan sebuah benteng yang sedang diperebutkan. Pasukan kuda hitam yang gagah, bendera-bendera merah dan kuning, lalu pertempuran yang penuh teriakan, dan kuda-kuda yang menderu.  Di atas kuda hitam mereka yang gagah, para prajurit mengayunkan pedang, menebas, memanah, dan saling berkejaran.  Suara terompet, ledakan mesiu, dan lambaian bendera di atas benteng. 


Kedua pasukan saling menyerbu. Debu dan asap. Satu dua prajurit saling memacu kuda mereka sambil saling menebas. Pertempuran di atas kuda yang mendebarkan. Merebut dan mempertahankan.
Lalu teriakkan panjang yang penuh komando. Benteng itu tampaknya tak bisa lagi dipertahankan. Pasukan musuh menyerbu dan mendesak hingga ke gerbang, sedang pasukan yang harus memertahankannya lenyap ke balik pepohonan. Dua orang jenderal dengan tenang duduk di atas kuda yang gagah. Saling mengacungkan bendera.

Menyaksikan pertempuran pasukan berkuda di depan sebuah benteng yang tengah diperebutkan, ingatan banyak orang akan dibawa pada adegan dalam film China yang mengisahkan Tiongkok pada masa kekuasaan berbagai dinasti. Terlebih pertempuran itu diiringi dengan ilustrasi musik yang mendebarkan. Jeritan penyanyi opera, narasi dalam bahasa China, lalu efek suara-suara kaki kuda yang menderu. 

Seluruhnya itu membawa penonton untuk menyaksikan langsung bagian dari sejarah China semasa kekuasaan tentara Monggol, dan peperangan di antara berbagai dinasti. Inilah yang disuguhkan  di Horse Batle kawasan China Culture Village, Shenzhen (17/6). Pertunjukan yang berlangsung di ruang terbuka seluas dua lapang sepakbola ini berlangsung setiap hari sebagai sajian turistik yang unik sekaligus menakjubkan. Sebuah benteng yang menjulang menjadi latar utama, dengan lapangan luas di depannya sebagai areal pertempuran.

Penonton yang memenuhi 2000 tempat duduk hari itu pun tak hanya disuguhi berbagai adegan pertempuran. 
Tapi juga ketangkasan para penunggang kuda dengan kostum orang-orang Monggolia. Tradisi para kstaria Monggol semasa kejayaan Kubilai Khan dan Jengis Khan, memang hendak dijadikan penanda dalam pertunjukan ini. Tak hanya dari kostum para penunggang kuda, tapi juga dari sejumlah tenda khas Monggolia yang berada di sekitar areal pertunjukan.

Ketangkasan berkuda dalam suatu kecepatan inilah yang menjadi daya tarik dalam adegan pertempuran. Beberapa adegan menyuguhkan duel pedang di atas kuda yang melaju dengan cepat. Mereka saling menebas dan mengelak. Suara pedang berbaur dengan ledakan asap dan suara kaki-kaki kuda, juga jeritan penyanyi opera. Sedang di menara benteng, bendera-bendera merah dan kuning terus dikibarkan. Seluruhnya menjadi panorama visual yang memadukan keindahan dan kengerian. Sejarah masa lalu yang mendebarkan ihwal darah dan kekuasaan, dihadirkan dengan kemasan visual yang indah. Dan inilah kemasan bagi para turistik.
                                                                     **
KEBUDAYAAN atau sejarah, dalam kepentingan pariwisata, adalah sebuah simulakra. Kenyataan palsu  ihwal masa lalu yang dihadirkan kembali semata-mata demi tontonan. Di areal Horse Batle itu, mengusung kembali bagian dalam sejarah Tiongkok masa lalu ke dalam kekinian, bukanlah untuk membebani penonton dengan pemikiran-pemikiran rumit perihal apa yang terjadi sebenarnya di balik sejarah tersebut. Jika untuk kepentingan semacam itu, banyak buku bisa menjelaskannya. Seluruhnya diusung memang melulu hanya sebagai tontonan.

Dan penonton duduk untuk dibuat tercengang menyaksikan panorama pertempuran di depan benteng tersebut. Pasukan berkuda dengan kostum para ksatria Tiongkok dan Monggol yang gagah. Mereka berbaris dengan bendera dan panji-panji bewarna terang, memulainya dengan semacam upacara penghormatan. Lalu suara narator dalam bahasa China, opera, dan kuda-kuda yang saling menyerbu. Suara dentingan pedang, ledakan, dan asap mesiu.

Simulakra inilah yang seolah menyihir penonton menatap sebuah bagian dari peristiwa dalam sejarah Tiongkok yang panjang. Sebuah peristiwa yang seolah-olah kini terjadi di hadapannya,  dan ia hadir di situ. Simulakra semacam ini tentu bukanlah barang baru. Hanya saja yang menjadi unik, bagaimana simulakra pertempuran kuda ini dihadirkan dengan konsep kemasan yang menarik, megah, kolosal, dan tidak terasa dibuat-buat.

Akhirnya, pertempuran pasukan kuda di depan benteng itu adalah sebuah teater turistik yang memukau. Bukan lantaran kemampuan atau kepiawaian para pemainnya yang tak ubahnya dengan permainan akrobat. Tapi juga pada bagaimana semuanya disiapkan sebagai dengan konsep simulakra yang tidak terasa hanya sebagai tontonan. Usai pertunjukan, dalam benak penonton seolah mengendap ingatan tentang sejarah yang menjadi peristiwa tontonan, dan mereka hadir langsung di situ. Mendengar suara pedang beradu, saling menebas, deru pasukan kuda yang menyerbu, ledakan mesiu, asap, dan benteng yang diserbu. (Ahda Imran)     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar