Jumat, 23 Maret 2012

Cihampelas (2), Perdagangan dan Denyut Warga

PERUBAHAN fungsi sebuah kawasan akan membawa sejumlah pengaruh pada masyarakat yang menghuni kawasan tersebut. Ini menjadi niscaya karena sebuah kawasan adalah juga sebuah ruang sosial. Pengaruh yang terjadi karena berubahnya fungsi sebuah kawasan, lambat laun akan mengubah karakteristik ruang sosial atau masyarakat di dalamnya. Ia bisa saja bergerak ke arah perubahan yang produktif, mengimbangi dan secara selektif mengontrol arah perubahan dengan segenap dampaknya. Atau, sebaliknya perubahan fungsi kawasan tersebut malah cenderung membawa dampak yang tak terkontrol dan kontra-produktif. 

Kenyataan ini tentu juga bisa dicermati pada perubahan fungsi kawasan Cihampelas, dari kawasan hunian menjadi kawasan perdagangan. Kawasan yang banyak disebut sebagai ikon wisata belanja Kota Bandung karena keunikan dan produk-produk fesyen yang ditawarkannya. Kesibukan yang telah jadi kesehari-harian sepanjang koridor Cihampelas niscaya telah memengaruhi masyarakat Cihampelas. Pengaruh ini semakin besar seiiring dengan tingkat kesibukannya sebagai kawasan perdagangan.


Tentu saja akan kelewat rumit mengurai bentuk-bentuk pengaruh tersebut, mengingat setiap perubahan yang berlangsung di suatu kawasan akan berpengaruh ke segenap aspek kehidupan.  Tapi paling tidak, itu bisa dimulai dari pertanyaan, sampai sejauh mana sebenarnya denyut Cihampelas sebagai kawasan perdagangan adalah juga denyut warga di sekitarnya? Apakah ia asyik dengan dirinya sendiri dengan jumlah perputaran uang yang mungkin dalam sehari bisa mencapai milyaran rupiah sambil membiarkan masyarakat sekelilingnya hanya menjadi penonton?

Dengan kata lain, sampai sejauh mana kawasan Cihampelas sebagai sentra perdagangan di Kota Bandung  tidak hanya sekadar menjadi tempat menumpuknya investasi di bidang komersial (perdagangan), tapi juga bisa menghadirkan fungsi sosial-ekonomisnya bagi warga sekitarnya?

Salah satu perubahan nyata akibat beralihnya fungsi Cihampelas dari kawasan hunian menjadi kawasan perdagangan tentu adalah sifatnya sebagai ruang yang tidak lagi seperti dulu. Ruang yang sebelumnya asri dan sejuk kini berubah menjadi sesak. Tak ada lagi sawah dan kebun sebagai ruang terbuka yang menjadi bagian utuh dari ruang sosial, sekaligus menjadi tempat anak-anak bermain. Sebagai kawasan perdagangan 

Cihampelas bukan lagi kawasan hunian seperti tahun 1960 atau 1970-an. Terlebih lagi proses peralihan fungsi Cihampelas menjadi kawasan perdagangan yang pada akhir 1980-an, bisa disebut lebih digerakkan oleh pertumbuhan mekanisme pasar  ketimbang dirancang oleh strategi perencanaan pemerintah kota (pemkot) Bandung.

Cihampelas kini adalah kawasan ruang yang penuh sesak oleh kesibukan perdagangan. Dereten Factory Outlet (FO), bank, hotel, rumah makan, supermall, kafe, tak lagi menyisakan apa pun bagi warga Cihampelas. Jika pun masih ada ruang terbuka, maka itu adalah kompleks sebuah mall. Ruang privat dan komersil yang maknanya sebagai ruang terbuka tentu berbeda dengan kebun atau sawah.

                                                                  **
“TAHUN 1970-an dulu, di sini masih kebun yang luas dan sejuk, di tanami palawija dan banyak pohon. Setiap sore pulang sekolah saya sering main di sini,” kenang Dadang (55)  warga Cipaganti yang sehari-hari bekerja sebagai satpam sebuah pertokoan di kawasan Cihampelas. 

Berbeda dengan dulu, kata dia, sekarang anak-anak yang tinggal di kawasan Cihampelas tumbuh di lingkungan yang sesak. Mereka seperti dipagari oleh toko, mall, hotel, dan , kafe, dan bank yang terus tumbuh sepanjang koridor Cihampelas. Tak ada lagi ruang bermain kecuali ke tempat-tempat permainan anak yang ada di sejumlah pertokoan. 

“Meski ada mall yang luas dan terbuka, tapi ‘kan anak-anak itu tidak bisa bebas main seenaknya di situ,” tambah Dadang.

Denyut Cihampelas sebagai kawasan perdagangan bagaimana pun memang telah mengubah struktur ruang. Karena itu, sesekali masuklah ke salah satu gang yang menyelip di antara deretan outlet di koridor Cihampelas. Menyusur ke dalamnya, kita akan menemukan kawasan hunian yang padat. Tak ada ruang terbuka kecuali jalan kecil yang berbelok-belok, di antara rumah-rumah yang juga berfungsi sebagai kos-kos-an dan sejumlah warung makan. 

Satu-satunya gang yang terbilang cukup lebar dan bisa dilalui oleh sepeda motor dari dua arah adalah gang lurus yang terletak di bagian bawah kawasan. Seperti cerita Dadang, kawasan hunian ini memang seolah terkurung oleh outlet,hotel, kafe, yang berderet di sepanjang koridor Cihampelas.     

Mungkin inilah risiko yang lazim terjadi pada suatu kawasan yang mengalami perubahan fungsi. Tapi soalnya adalah bagaimana perubahan fungsi kawasan itu tidak hanya mengubah struktur ruang, melainkan juga memberi kontribusi atau pengaruh yang produktif pada warga. Pada titik inilah soalnya bukan melulu jumlah perputaran uang  di Cihampelas dalam setiap masa liburan, tapi seberapa besar fungsi ekonomi kawasan itu memberi juga akses pada warga.

Tulisan “Toilet dan Mushala” dengan tanda panah yang menunjuk pada sebuah tempat beberapa meter dari mulut sebuah gang, agaknya bisa memberi sedikit indikasi ke arah itu. Minimnya ketersediaan sarana dan prasarana bagi pengunjung di Cihampelas, seperti toilet dan mushola, tampaknya menjadi hikmah terselubung (blessing in the guise) bagi warga, seperti Encum (36). Ia merombak sebuah bagian rumahnya untuk menjadi toilet umum dan mushola.

“Hampir setiap hari banyak sekali pengunjung menanyakan toilet dan tempat sholat. Ada sih, tapi ‘kan jauh, di mall. Lama-lama saya kepikiran untuk bikin,” ujar Encum yang sehari-hari juga membuka warung makanan kecil ini. Meski tidak mengenakan tarif, tapi penghasilan dari toilet dan musholanya ini terbilang lumayan, apalagi di hari-hari libur.

Sebagai kawasan hunian, Cihampelas memang menarik. Di satu sisi, ia sebelumnya telah berkembang sebagai kawasan kos-kos-an mahasiswa. Sedang di sisi yang lain, Cihampelas sebagai kawasan perdagangan juga memberi sejumlah peluang berikutnya. Termasuk membuka warung makan yang tak lagi hanya untuk para mahasiswa tapi juga para karyawan yang bekerja di banyak outlet.

Seperti siang itu, Minggu (26/9), lebih jauh menyusur ke dalam gang di kawasan hunian Cihampelas, tampak sejumlah gadis berseragam bertuliskan nama sebuah outlet sedang makan siang.  Menurut Ibu Ati (45) warga RW 04 Kelurahan Cipaganti, meski banyak sekali karyawan yang bekerja di Cihampelas tapi mereka jarang kos di situ. Kos-kos-an tetap lebih didominasi oleh para mahasiswa. Artinya, perkembangan kawasan Cihampelas tidak berpengaruh pada usaha kos-kosan warga.

“Tapi banyak juga warga di sini yang bekerja di Cihampelas, jadi pelayan toko, di SPBU atau di hotel-hotel,” ujar Ibu Ati.

Di pihak lain, keinginan melibatkan warga untuk turut mengakses fungsi ekonomi Cihampelas juga disadari oleh Surya Arga manajer operasional sebuah outlet. Bahkan ia menyebut hal itu sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Tak hanya memprioritaskan warga Cihampelas dalam setiap rekrutmen karyawan yang memenuhi syarat, tapi juga memberi sejumlah kemudahan pada warga untuk bersama-sama mencari rejeki di Cihampelas. “Misalnya, kami membiarkan parkir dikelola oleh warga. Begitu juga usaha jahit permak,” katanya. (Ahda Imran)


Kaos Bandung Sebagai Cinderamata

DI antara berbagai cendera mata yang dijajakan orang di Cihampelas, kaos oblong Bandung tampaknya selalu menjadi incaran para pengunjung. Lapak-lapak pedagang kaos ini dengan mudah kita temukan di kaki lima sepanjang koridor Cihampelas. Bagi para pengunjung, selain berbelanja di outlet tampaknya belumlah lengkap tanpa melengkapinya dengan kaos bergambar aneka rupa desain tentang Bandung.  

“Ya, samalah kalau kita ke Yogjakarta, kita ‘kan pasti beli kaos Dagadu bergambar atau bertuliskan Yogjakarta di Maliboro,” kata seorang ibu yang sedang asyik memilih kaos itu di sebuah lapak.

Ya, seperti banyak kaos cendera mata yang banyak dijajakan di lapak kaki lima Maliboro Yogjakarta, kaos ini tentu saja bertemakan segala ihwal tentang Bandung dengan berbagai desain yang menarik. Mulai dari desain gambar yang meniru tokoh revolusi Kuba Che Ghuevara yang diganti wajahnya dengan wajah Si Cepot, desain gambar Gedung Sate, mobil Volkswagen dengan teks “Bandung Paris van Java”, dan banyak lagi desain yang seluruhnya tentang Bandung.

Sebuah kaos oblong di sebuah tempat yang dikunjungi, tentu bukan hanya sekadar kaos dalam pengertiannya yang fungsional. Tapi juga memberi makna hubungan antara pemakainya dan tempat itu. Semacam citraan tempat yang dilekatkan pada si pemakai. Dengan kata lain, memakai kaos yang dibeli di Cihampelas tak hanya sekadar menjelaskan bahwa ia pernah ke Bandung. Tapi juga ingin menegaskan hubungan citraan antara dirinya dan Kota Bandung.

“Kaosnya keren, lucu-lucu,  dan harganya juga murah-murah dibanding beli di outlet,” kata seorang pembeli yang datang dari Semarang, yang baru pertama kalinya berbelanja di Cihampelas.   

Kaos Bandung bukanlah barang baru. Sebelumnya telah banyak desain kaos yang mengambil tema tentang Bandung. Hanya saja, kaos-kaos itu amat jarang dijajakan di lapak-lapak kaki lima seperti yang kini banyak ditemukan di Cihampelas. Lepas dari kualitas bahan dan  kerapihan desainnya, kaos Bandung di kaki lima ini bagaimana pun menjadi bagian yang utuh dari denyut ekonomi di Cihampelas.

“Dulu sih masih sedikit yang dagangnya, sekarang sudah banyak. Jadi tidak seramai dulu yang belinya, habis jadi banyak saingan,” kata Ibu Entar (45) warga asli Cihampelas yang sehari-hari berdagang kaos di kaki lima di depan sebuah outlet bergaya bangunan klasik.

Meski begitu Ibu Entar mengaku paling sedikit dalam sehari ia bisa menjual enampuluh kaos. Belum lagi pada hari libur ketika pengunjung ramai, di mana penjualannya bisa mencapai duaratus potong kaos. Dengan variasi harga Rp. 15.000,00 sampai Rp. 53. 000,oo (untuk ukuran dewasa), silahkan hitung sendiri berapa omset Ibu Entar di hari-hari libur itu.

Bersama anak dan suaminya, Ibu Entar sudah dua tahun berdagang kaos di tempat itu. Ia mulai membuka lapak sejak pukul 8.00  sampai pukul 22.00 malam, atau sampai toko-toko tutup. “Banyak warga Cihampelas yang dagang kaos. Tapi ada juga warga dari luar, seperti dari Garut dan Tasik. Tapi kalau ibu mah asli Cihampelas,” paparnya.

Kaos Bandung sebagai cendera mata tak hanya diminati oleh para pembeli yang datang dari berbagai kota di Indonesia. Tapi juga bahkan dari manca negara. “Pembelinya ada juga dari Malaysia, Singapura, India, dan Jepang,” tutur Ibu Entar.

Mungkin karena dianggapnya sebagai “rahasia dagang” Ibu Entar enggan menyebutkan tempat di mana kaos-kaos Bandung itu diproduksi. Tapi yang jelas kaos itu diproduksi di Bandung dan bukan di Cihampelas.  Membayangkan kaos-kaos itu diproduksi langsung oleh warga Cihampelas tentu alangkah baiknya,  sehingga bisa lebih jauh memberi nilai tambah pada warga ketimbang hanya sekadar menjadi pedagang. Sehingga akses warga pada fungsi ekonomi kawasan Cihampelas menjadi lebih terbuka.

Memandang kaos-kaos Bandung di sepanjang koridor kawasan Cihampelas, akhirnya, adalah juga memandang sebuah potensi ekonomi bagi warga di sekitarnya. Dan potensi itu tak akan pernah beranjak dari hanya sekadar menjadi pedagang sepanjang tak ada pihak yang bersedia memulainya sebagai sebuah program yang produktif bagi warga, demi lebih terbukanya akses ekonomi bagi mereka (Ahda Imran) 
















      

    

   




   














     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar