Sabtu, 24 Maret 2012

"Kita" dan “HORISON Kita”



 
                 
“Selalu aku berdoa kiranya HORISON kita tidak sampai menghadapi kebangkrutan. Namun tampaknya majalah sastra ini tidak maju-maju juga, bahkan tidak lebih baik isinya ketimbang tahun-tahun tujuhpuluhan dulu----kalau tidak dikatakan lebih buruk”


BEGITULAH awal sebuah surat, datang dari Bandung, 20 tahun kemudian setelah majalah sastra itu lahir, bulan Juli 1966. Surat cerpenis Aliefya M. Santrie itu dimuat dalam rubrik “Surat-surat” Majalah Horison No. 6 Tahun 1986. Semangat surat itu mempertanyakan, bahkan memperkarakan, ukuran penilaian redaksi antara cerpennya yang dimuat dan cerpennya yang tidak juga dimuat, sambil juga mengkritisi sejumlah hal tentang kualitas majalah sastra tersebut.

Meski surat tersebut penuh gugatan, namun cerpenis produktif yang kini entah ke mana itu, mengakhiri suratnya seperti bagaimana ia mengawalinya, “Dengan begitu aku berdoa untuk kejayaan HORISON kita di tengah-tengah relatifnya kriteria penilaian sastra.”

Tapi siapakah “kita” yang dimaksud Aliefya M. Santrie dalam suratnya itu? Apakah ia sebagai cerpenis dan para sastrawan lainnya yang duduk di meja Redaksi Majalah Horison? Atau ia hendak mewakili  para sastrawan, peminat, dan pembaca sastra yang dibayangkan ikut merasa memiliki dan terlibat dengan nasib serta mutu majalah sastra itu?

Tapi apapun, frase “HORISON kita” yang digunakan Aliefya M. Santrie seolah-olah hendak atau tengah menjelaskan posisi Horison di tengah perkembangan sastra Indonesia ketika itu atau di tahun-tahun 1970-an.  

Lalu, 21 tahun setelah surat itu dimuat41 tahun setelah kelahiran Majalah Horison
masihkah kata “kita” atau frase “HORISON kita” itu memiliki pemaknaannya? Lalu siapakah “kita” dan “HORISON kita” yang dimaksud pada hari ini itu? Apakah ia makin meluas dan menawarkan keberbagaian, atau justru mengkerut di tengah berbagai konteks perubahan, sebutlah massifikasi teknologi media sehingga majalah yang dulu banyak dipercaya sebagai “pusat” legitimasi itu kini kehilangan sugestinya?        

Tentu saja akan terlalu panjang menjawab dan mengurai pertanyaan semacam itu. Tapi apapun jawabanya, majalah sastra ini masih bertahan sampai sekarang dengan “sepak-terjang”-nya untuk menjawab berbagai fenomena yang terjadi di lapangan kesusastraan.

Berbeda dengan dulu ketika para redaktur hanya menyuntuki naskah yang masuk dengan kecemasan tentang biaya penerbitan, kini mereka melakukan semacam “jemput bola”. Datang ke sekolah-sekolah, menerbitkan karya-karya sastra, atau membuat sayembara cerpen.  Bahkan di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM), (27/1), majalah yang didirikan oleh para “alumnus manifes” itu menggelar acara syukuran 40 Tahun (seharusnya Bulan Juli 2006 yang lalu) usianya, dan 10 Tahun usia Sisipan Kakilangit. Selain itu juga diluncurkan Buku “Mengantar Sastra ke Tengah Siswa”.

Horison adalah jejak yang menyimpan perannya sebagai sebuah majalah sastra. Majalah ini juga lahir sebagai bagian dari jejak-jejak keriuhan sosial-politik selepas rezim Soekarno dijatuhkan. Ia lahir di muka pintu perubahan, ketika pintu itu sebelumnya tertutup amat kuat dan tak memberi tempat pada karya-karya sastra selain yang konon sekehendak dengan kuasa politik.

Kelahirannya ketika itu seolah menjadi ruang yang dimaksud oleh Keith Foulcher (Prisma: 1988) dalam menyebut karya sastra terpenting awal periode Orba, sebagai pemekaran energi yang tidak mempunyai tempat kemungkinan dalam iklim tahun 1965.

Majalah ini didirikan oleh dua orang sastrawan, seorang pelukis, pengusaha media, dan seorang sosiolog; Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, Zaini, P.K. Ojong, Zaini, dan Arief Budiman, yang lalu bersatu dalam Yayasan Indonesia sebagai lembaga yang menerbitkan Horison.

Nomer awal Horison tentu sangatlah sederhana. Hanya berupa kertas koran dan hitam-putih. Menurut Taufiq Ismail ketika itu rumus yang mereka pakai adalah meneribitkannya 3000 ekspsemplar, seluruhnya dibiayai oleh P.K. Ojong dan belum menggunakan mesin off-set.

Tak ada keterangan lebih jauh tentang nomer awal ini kecuali bahwa telah lahir sebuah majalah sastra yang baru. Artinya, Bulan Juli tahun 1966 itu Horison baru menjadi penanda bagi kelahirannya sendiri. Namun sebulan kemudian dalam No. 2 Agustus 1966, Horison mulai memperlihatkan kehadirannya dalam mengusung isu perkembangan sastra Indonesia ketika itu.  Itu ditandai dengan tulisan H.B. Jassin sepanjang 5 halaman; “Angkatan 66 Bangkitnya Satu Generasi”   

Tulisan Jassin ini dalam Horison Nomor 2 itu seakan sebuah janji, bahwa kehadiran majalah ini akan memperkaya khazanah pemikiran dan karya-karya sastra yang selama Orde Lama tak mendapat tempat. Bahkan Horison pun mulai memberi Hadiah Sastra Horison pada beberapa sastrawan yang karya-karyanya ketika itu dianggap menonjol, seperti Rendra (1968). Terlebih lagi kemudian di tahun 1960-an itu sejumlah majalah kebudayaan lainnya bangkrut, sebutlah Majalah Cerpen (1968) dan Sastra (1969).

Sepanjang periode 1970-an, banyak disebut sebagai masa di mana Horison makin menegaskan sugestinya sebagai majalah yang memiliki legitimasi nilai. Selain munculnya nama-nama seperti Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Hamid Jabbar, Sutardji Calzoem Bachri, Danarto, Soebagjo Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono---untuk menyebut sejumlah nama---atau pemuatan Kredo Puisi Sutarji Calzoem bahcri yang terkenal itu---pada periode ini legitimasi nilai  Horison pun mulai diperkarakan.

Terutama oleh kalangan penyair,  lewat apa yang mereka sebut dengan selera estetika tunggal, Horison, dianggap telah menjerumuskan perpuisian Indonesia mutakhir ke dalam suasana yang penuh manipulasi. Lalu para penyair pun berkumpul di Bandung tanggal 8 September 1974 dan menggelar Pengadilan Puisi.

Dengan galak, sebagai penuntut umum, Slamet Sukirnanto ketika itu menyebut Horison telah terjerumus menjadi majalah keluarga, sambil menyebut gaya perpuisian Goenawan Mohamad, Abdul hadi WM, dan Sapardi Djoko Damono sebagai anutan tunggal yang mengabaikan berbagai perkembangan lainnya.

Peristiwa “Pengadilan Puisi” bisa saja dianggap peristiwa “jeprut” para penyair. Tapi di sebalik itu adanya pengakuan tak sadar tentang keberadaan dan sugesti Horison. Meski yang diadili adalah puisi, namun Horison adalah representasi dari puisi itu sendiri.

Memasuki periode 1980-an Horison mulai menunjukkan gejala-gejala sekarat. Meski berusaha terbit setiap bulan, namun makin tak tentu, kerap terlambat, dan halamannya makin tipis. Bahkan, mutunya pun dianggap jauh menurun dibanding periode 1970-an seperti mengemuka dalam surat Alifya M. Santrie. Ketika itulah, perlahan berbagai koran mingguan pun mulai merebut perhatian para sastrawan dan publik sastra. Di tahun 1980-an itu isi Horison tak melulu hanya sastra, tapi juga berisikan tulisan tentang seni rupa, tari, dan musik. 

Periode tahun 1990-an, Horison tak bisa lagi mengelak dari hukum besi kebudayaan, yakni perubahan. Perubahan berlangsung tak hanya dalam konteks media-media massa (koran) yang makin mengambil tempat dalam perkembangan kesusastraan. Tapi juga terjadinya proses perubahan dan pergeseran banyak kalangan dalam memaknai dikotomi pusat dan daerah. “Pusat” tak lagi dipercaya sebagai mitos dan legitimasi nilai, bahkan dicurigai melulu sebagai kekuasaan yang harus dilawan.

Bersama Jakarta dan TIM, Horison dikategorikan sebagai pusat itu. Atas nama semangat inilah, misalnya pernah muncul gerakan yang menamakan dirinya “Revitalisasi Sastra Pedalaman”. Sastra, terutama puisi, ketika itu menjadi kemeriahan yang tumbuh di berbagai daerah. Tapi Horison terus terbit, bahkan dengan halaman yang lebih tebal dan perwajahan yang lebih menarik. Demikian pula kualitas materinya, sejumlah generasi baru sastrawan bermunculan, juga eskplorasi pemikiran tentang seni dan budaya yang riuh oleh pesta pora post-modern.

Namun Horison tetap megap-megap. Masih seperti dulu, modal majalah ini tetap seret. Pada periode inilah di tahun 1993 terjadi rencana perubahan pengelolaan, yang akhirnya berujung pada “kekisruhan” sehingga sejumlah orang yang pernah duduk sebagai pendiri, anggota Yayasan Indonesia dan redaktur, dari mulai Ali Audah, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, dan Aristides Katoppo “berjamaah” mengundurkan diri.

Tapi di tahun 1996, dalam usianya yang ke-30 Horison mulai membuat ancang-ancang bagi sebuah agenda panjang. Dimulai dengan nomer penerbitan Bulan Nopember 1996, untuk pertama kalinya muncul penambahan halaman berupa Sisipan Kakilangit yang berisikan apresiasi sastra bagi para pelajar. Tak hanya itu dibawah komando Taufiq Ismail, demi kesadaran meningkatkan apresiasi sastra siswa di sekolah-sekolah promosi dan kerjasama dengan berbagai pihakpun gencar dilakukan.

Kerja keras ini tak sia-sia. Lewat bantuan dari The Ford-Foundation, Horison melakukan “jemput bola” memboyong para sastrawan ke sekolah-sekolah. Tak hanya itu sejumlah buku juga diterbitkan. Tentu saja banyak kemudian yang mulai memperkarakannya. Termasuk dalam penerbitan Horison Sastra Indonesia tahun 2002 yang terdiri dari 4 kitab, yang memaktubkan karya-karya 110 penyair, 71 cerpenis, 82 novelis, dan 27 dramawan.

Polemik pun muncul di Koran Tempo, bahkan sampai perlu didiskusikan di Teater Utan Kayu (TUK). Polemik dan diskusi ini menarik karena membawa ingatan orang pada dua kubu yang selama ini dikesankan “berlawanan”. Tapi diskusi itu ternyata tak melahirkan apapun, kecuali pertanyaan-pertanyaan standar mengapa Si A dimasukkan dan Si B tidak?

Lepas dari berbagai asumsi yang ditujukan padanya, termasuk yang dihubung-hubungkan dengan mereka yang kini duduk di jajaran redaksi, akhirnya tetaplah menjadi niscaya, bahwa Horison tak bisa disendirikan dari sejarah perkembangan sastra Indonesia selama 40 tahun ini.

Tapi soalnya, sejarah itu sendiri ternyata adalah sebuah entitas, sebuah organisme yang tak menghendaki kekakuan, kebekuan, apalagi penokohan. Di hadapan generasi sastra dan publik sastra dengan berbagai fenomenanya hari ini, Horison rasanya masih harus menjawab pertanyaan tentang siapakah “kita” dan “HORISON kita” dalam surat Aliefya M. santri duapuluh tahun yang lalu itu.  Tabik! (Ahda Imran, Pikiran Rakyat Th. 2006, bulan dan tanggal pemuatan tak terlacak)**
   
    
  



            





   

                                                                 
  
  






Tidak ada komentar:

Posting Komentar