Senin, 14 November 2011

DARSO, ”Aing Mah Lain Nanaon”


"DARI Polsek Cidadap belok saja ke kanan. Tanyakan pada tukang ojek. Malam ini saya ada di rumah jam sepuluh," begitu kami membuat janji untuk bertemu Darso. Dan malam itu Sabtu (6/8) berangkatlah saya ke arah Jalan Setiabudi Bandung dan menemukan sebuahjalan tak jauh dari Polsek Cidadap. Tukang ojek mengatakan jauhnya kira-kira 2 kilo meter dengan jalan menanjak. Saya jadi ngeri membayangkan bersepeda motor menempuh jalan seperti itu, belum lagi gerimis. SMS saya yang menanyakan apakah ia sudah ada di rumah atau belum pun tidak juga dijawabnya.

Siang keesokan harinya saya kembali kirim SMS. Meski ia kembali tidak menjawab, saya berangkat mencari rumahnya, berharap ia ada di rumah. Benar saja, jalan menuju rumahnya di Kampung Cirateun Peuntas Kab. Bandung itu benar-benar membuat saya takut. Jalan desa yang naik-turun berkelok-kelok dengan tanjakan dan turunan yang curam, dengan kondisi jalan yang buruk. Sampai di rumahnya, ia tidak ada.

Di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Bandung,

Minggu, 13 November 2011

Menatap Kembali Tayub



GATOT Wiradikusuma (Atot) sudah tak muda lagi, kelahiran 1927. Akan tetapi, ayah tiga anak dan tiga cucu ini seolah menemukan dunianya kembali di pakalangan tayub. Memakai kain batik, penutup kelapa khas para menak (bendo), berselempang selendang (soder) warna kuning, ia berjalan pelan menghampiri sinden dan para nayaga. Meminta lagu ”Gawir”, lalu dalam gaya tari halusan (leunyepan) ia duduk setengah bersila, khusyuk, sebelum lantas menghaturkan sembah hormat, dan mulailah ia ngibing tayub.

Meski tak bisa mengingkari usianya yang sudah sepuh, tetapi tampaknya tayub sudah menjadi bagian dalam sejarah tubuh Gatot Wiradikusuma. Ia mulai belajar ngibing tayub leunyepan di Rancaekek tahun 1943. Pada masa sebelumnya jenis tarian para bangsawan Sunda ini juga dikenal dengan Tari Keurses. Mengikuti pukulan kendang, tubuh Gatot Wiradikusuma bergerak tenang dan halus, gerak pergelangan tangan (ukel), pola lantai yang minimalis, dan tangan yang sesekali terbuka seraya mengibaskan sampurnya.

Penampilan Gatot Wiradikusuma merupakan bagian dari pertunjukan "Tayuban" di Gedung Kesenian (GK) Dewi Asri STSI Bandung, Sabtu (24/4). Pertunjukan yang diselenggarakan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) STSI Bandung ini diniatkan sebagai konservasi seni tradisi yang didokumentasikan, sehingga

ahdaimran: Peci, Riwayatmu Kini...

ahdaimran: Peci, Riwayatmu Kini...

Rilke, Kepada Penyair Muda

Engkau bertanya apakah sajak-sajakmu baik. Engkau bertanya padaku. Sebelum ini engkau telah menanyai orang lain. Kau kirimkan sajak-sajakmu ke berbagai majalah.  Kau bandingkan karyamu dengan sajak-sajak orang lain, dan engkau gelisah bila ada redaksi majalah yang menolak sajak-sajakmu. Sekarang kuminta agar kau jangan memperdulikan semua itu. Tidak ada orang yang dapat memberimu nasihat dan pertolongan, tidak seorangpun. Hanya ada satu jalan saja, masuklah ke dalam dirimu.

 DEMIKIAN Rainer Maria Rilke (1875-1926) mengawali esai kecilnya dalam bentuk surat,  “Kepada Penyair Muda” yang dimuat dalam Majalah Sastra Horison No.2 Thn.II Februari 1967 terjemaahan Taufiq Ismail,  yang diambilnya dari “Surat-surat Kepada Seorang Penyair Muda”. Sayang, dalam tulisan tersebut Rilke tidak menyebut nama siapa pun yang disebut atau dimaksudnya sebagai “penyair muda” itu.

Bahkan, dalam majalah sastra yang terbit 40 tahun yang lalu itu, ketimbang terbaca sebagai sebuah surat seperti yang menjadi sumber pemuatannya, tulisan itu lebih mirip sebuah esai yang penuh pesan kepenyairan ketimbang sebuah surat. Tapi jika hendak disebut sebagai sebuah surat, maka agaknya “surat” itu ia tujukan pada penyair muda di sembarang tempat dan waktu.

Seperti juga Goethe, Schiller, Heine, Holderlin, Brecht, atau Paul Celan, Rilke adalah seorang penyair yang karya-karyanya tak bisa disendirikan dari perkembangan kesusastraan Jerman. Dipengaruh oleh para tokoh simbolisme Prancis seperti Baudelaire, Rimbaud, dan Mallarme, dan filsafat eksistensialisme Kiekegaard, Rilke banyak disebut sebagai penyair Jerman terbesar dalam abad ke-20.  Penyair yang juga dinilai sebagai pembaharu perpuisian Jerman ini bahkan dipandang sebagai raksasa puisi Jerman.

Yasraf Amir Piliang, “Kampung Halaman sebagai Akar Diri”

MUDIK Lebaran di tengah ledakan komunikasi dan budaya konsumsi hari ini sesungguhnya menjadi tantangan serius pada apa dan bagaimana identitas itu mesti dipertahankan. Ledakan komunikasi dengan berbagai medianya termasuk tentunya jejaring sosial, sedikit banyaknya memengaruhi identitas diri seseorang. Seluruhnya membawa setiap individu ke dalam keragaman identitas, sehingga identitas semata menjadi pilihan ketimbang dianggap sebagai akar yang tetap. Dalam kondisi inilah identitas primordial seseorang menjadi terguncang, bahkan terancam.

Kondisi semacam ini amat mudah ditemukan pada orang-orang kota  yang hidup di tengah persaingan kebendaan, gaya, pencitraan, status dan gengsi. Karena itu makna identitas dalam diri manusia kota cenderung cair, dinamis, mudah berpindah, dan rapuh. Kerapuhan ini bersebab pada efek dari posisi mereka dalam dunia informasi, ledakan komunikasi, konsumsi hiburan, atau gaya hidup yang bergerak liar tanpa henti. Maka mudah dipahami jika konsep identitas manusia kota tak bertautan lagi dengan konsep identitas primordial. Ia sudah dicemari oleh aneka ajakan identitas dari berbagai sumber budaya.

“Akan tetapi, manusia tidak bisa tercabut sepenuhnya dari identitas primordial itu. Mudik lebaran merupakan tradisi kultural yang dapat menjaga “ikatan primordial” seseorang dengan “yang asal”, “yang asli”, yang “otentik”. Antusias para pemudik di antaranya karena alasan primordial ini. Kampung halaman merupakan “akar’ diri seseorang yang memberinya identitas otentik setelah merantau,“ ujar Yasraf Amir Piliang, penulis dan pemikir yang intens mengkaji berbagai fenomena masyarakat kontemporer.

MONJU DAN PANGGUNG BAMBU


KEBERADAAN panggung bambu di plaza Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat  (Monju) menjelaskan betapa sesungguhnya pemerintah tak penah memiliki konsep dan visi yang jelas ihwal apa dan bagaimana sesungguhnya makna dari sebuah ruang publik. Apa yang mereka asumsikan sebagai ruang publik, selalu dibangun atas selera kekuasaan dan uang. Maka, selalu akhirnya ruang publik yang mereka ciptakan hanyalah bentuk dari kehadiran fisik yang tidak berkorelasi dengan sejarah, etika dan estetika ruang di sekelilingnya.

Keberadaan panggung bambu sejak Desember 2010 di plaza Monju jelas menghalangi pemandangan orang ke arah monumen. Desain Monju yang dikerjakan oleh seniman pematung Sunaryo tahun 1995 dengan biaya 22 Milyar rupiah di atas areal seluas 4. 100 meter itu, tentu dikerjakan dengan berbagai perhitungan yang cermat. Termasuk perhitungan jarak pandang ruang ke arah monumen.
                                        
Keberadaan panggung bambu itu telah menjadi interupsi yang tidak berkorelasi dengan estetika ruang yang telah ada sebelumnya, yakni, garis lurus yang menghubungkan puncak Gedung Sate, monumen, dan Gunung Tangkubanparahu di arah Utara. Panggung dengan biaya 600 juta rupiah itu seolah ditaruh begitu juga tanpa mempertimbangkan struktur visualnya yang seirama dengan estetika elemen-elemen yang telah ada sebelumnya. Terutama di siang atau sore hari, di atas plaza Monju, panggung bambu yang dibangun oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jabar itu seolah benda asing yang ujuk-ujuk ada di situ.

Gedung Merdeka, Jejak Gaya Hidup Kaum Elite

PADA awalnya mereka biasa berkumpul di Warung De Vries. Minum teh sambil mendiskusikan berbagai urusan. Mereka itu orang-orang kelas elite Eropa di Kota Bandung. Para pengusaha atau juragan perkebunan, saudagar, pedagang, perwira militer, dan tentu saja pembesar Hindia Belanda. “Societeit Concordia”, begitu nama perkumpulan mereka, didirikan tahun 1879 dengan tujuan “ de bevordering van gezellig verkeer” atau meningkatkan hubungan sosial di kalangan orang-orang Eropa di Bandung.

Atas prakarsa para pengusaha Belanda pemilik perkebunan teh, tahun 1895 didirikanlah sebuah gedung di seberang Warung De Vries. Mereka lalu pindah berkumpul di gedung yang lalu diberi nama Gedung Concordia. Tak jelas benar mengapa para Meneer itu merasa harus memindahkan tempat berkumpul mereka dari Warung De Vries, padahal Gedung Concordia itu masih berupa bangunan sederhana. Alasan yang paling mungkin adalah jumlah anggota perkumpulan yang semakin banyak dan memerlukan tempat berkumpul yang lebih luas. Tahun 1920 Gedung Concordia kembali disempurnakan.

Keberadaan Gedung Concordia jelas berhubungan dengan kebutuhan komunitas orang-orang Eropa di Bandung. Tak hanya sebagai tempat berkumpul dan bersantai, tapi juga sebagai tempat untuk melayani gengsi dan hasrat gaya hidup borjuis mereka. Terlebih lagi ketika tahun 1928 gedung ini untuk terakhir kalinya kembali disempurnakan bentuknya lewat rancangan Van Gallen Last dan C.P. Wolff Schoemaker, seperti yang kita lihat sekarang sebagai Gedung Merdeka. Nama yang diberikan oleh Presiden Soekarno menjelang berlangsungnya KAA.

Ajat Sudrajat, Legenda "Si Pangeran Biru"

TAHUN 1979 ketika itu dan usianya baru tujuhbelas tahun. Ia mendapat panggilan untuk bermain di Persib Yunior. Memakai kostum Persib adalah sesuatu yang sudah lama diidam-idamkannya, dan semua tentu tidaklah terjadi begitu saja. Maka wajar jika panggilan itu membuatnya tak bisa tidur saking gembiranya. Dan sepanjang periode 1980 dan 1990-an, publik sepakbola Indonesia, khususnya bagi urang Bandung dan Jawa Barat, namanya ketika itu selalu disebut dengan rasa bangga, Ajat Sudrajat.

Mustahil memisahkan nama Ajat Sudrajat dari persib, seperti juga kemustahilan memisahkan Persib dari Kota Bandung.Banyak orang masih ingat, bagaimana

Braga, "Perempuan Tua yang Malang "

Jalan Braga jalan intelek...

BEGITU lirik pertama lagu "Jalan Braga" yang dinyanyikan oleh Hetty Koes Endang. Lagu pop Sunda ciptaan Nano.S ini  populer tahun 1988. Tak jelas apa maksud"jalan intelek" dalam lagu tersebut untuk menyebut jalan yang memang tak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan Kota Bandung ini. Tapi yang jelas, Braga memang jalan yang berbeda dengan jalan-jalan lainnya di Bandung. Jalan yang sangat "berbau" Eropa.

Tak hanya karena desain bangunan-bangunannya, tapi juga jalan yang dulunya hanyalah digunakan sebagai perlintasan pedati (pedati weg) itu, memang memancarkan aura jejak sejarah kota yang eksklusif. Mungkin inilah yang dimaksud Braga sebagai "jalan intelek" dalam lagu tersebut. Meski awalnya Braga hanyalah jalan becek

PELAJARAN DARI SHENZHEN



Membangun China seperti menyeberangi sungai 
dengan merasakan bebatuan yang terinjak kaki...

UNGKAPAN Deng Xiaoping (1904-1997) di atas seolah menjadi penjelasan ihwal apa dan bagaimana China bisa tumbuh menjadi negara dengan kekuatan ekonomi yang mengagumkan. Ungkapan pemimpin China generasi kedua yang juga terkenal dengan “lompatan jauh ke depan” itu mengarah pada sebuah konsep perubahan yang dilakukan secara perlahan, terukur dan memerhitungkan banyak aspek. Reformasi ekonomi dan pemerintahan yang dilakukan dengan sangat hati-hati, memadukan spirit sosialisme dan konfusianisme.

Bahkan, demi reformasi ekonomi itu China memilih bersikap pragmatis, termasuk dengan segala sesuatu yang sebelumnya diharamkan oleh komunisme sebagai ideologi negara, sebagaimana ungkapan Deng Xiaoping, “Saya tidak peduli apakah kucing itu berwarna hitam atau putih, yang penting kucing itu bisa menangkap tikus”.

Dan hasilnya adalah China yang hari ini terus tumbuh sebagai negara industri dan raksasa ekonomi yang mencengangkan. Beijing, Shanghai, Guangzhou, Shenzhen, hanyalah sedikit dari sejumlah kota di China yang telah berubah menjadi kawasan zona ekonomi dan kota metropolitan yang terpandang di dunia.
 
Kota-kota itu tumbuh sebagai zona ekonomi dengan supra dan infrastruktur yang mengagumkan. Pembangunan berbagai pusat industri di kota-kota metropolitasn itu berpadu elok dengan penataan kota dan lingkungan, moda transportasi, dan juga pembangunan infrastruktur kota lainnya. Termasuk dalam pembangunan di bidang seni-budaya bagi kepentingan turisme (pariwisata).

Shenzhen merupakan salah satu kota metropolitan

INDIA DI ATAS KANVAS



 SORE, mendekati malam, dalam hari yang gerimis di sudut Kota Kalkuta. Langit berkabut, membuat bayangan di kejauhan. Puncak-puncak gedung tua dengan arsitekturnya yang unik, menara atau kubah. Sebuah gedung tua di sisi jalan tampak berdiri dengan agung, terasa murung. Di atas jalanan itu kabel-kabel listrik merentang kaku dari berbagai arah. Di kejauhan, samar oleh kabut, kabel-kabel berjuntaian bersama rentangan tali di antara kedua sisi jalan yang mengikat sebuah kain, seperti spanduk.  

Jalanan basah memantulkan cahaya lampu dan bayangan tubuh orang yang berjalan di antara riuh kendaraan. Sebagian mereka berpayung. Dalam kabut di kejauhan, payung-payung itu menyerupai cendawan. Di bawah gerimis dan langit yang berkabut, jalanan tetap menghadirkan gerak keriuhan, meski seakan-akan mengendap dalam cuaca dingin yang menggigit. Sebuah trem melintas. Sinar lampunya memantul pada batang-batang besi rel.

Suasana seperti itulah yang divisualkan Ananta Mandal dalam beberapa lukisannya bertajuk "Feel the Child". Pada beberapa karyanya, Ananta terkesan mengambil objek yang sama, namun dengan sudut pandang dan waktu berbeda. Seri ini tampil dengan style pendekatan realistik yang memikat, termasuk ketika ia menampilkan juga citraan realisme ekspresif yang secara kuat memberi aksentuasi dan efek karakter suasana objeknya. Objek tampak dihadirkan tanpa keinginanan menampilkan detail, namun lebih menekan pada gerak dan nafas suasana. 

Adegan orang berjalan di tengah kendaraan yang padat di bawah siraman gerimis, ditampilkan dengan karakter garis dan volume yang menyaran pada suatu gerak. Begitu pula, bagaimana ia menggarap efek pewarnaan untuk menciptakan pantulan cahaya lampu di jalanan yang basah.

BUNGA DARI YUNIZAR



BUNGA-bunga itu terlihat aneh. Ia tumbuh dengan garis batang dan reranting yang kaku, jauh dari lentur sebagaimana mestinya, bahkan tak ada selembar pun daun. Bunga-bunga itu pun terlihat tidak tumbuh di ujung ranting, tapi seolah menclok begitu saja. Alih-alih memamerkan kelopaknya yang indah dan lembut, bunga itu terlihat kaku. Kelopak-kelopaknya tampak keras dengan bentuknya yang terlalu sederhana untuk menyebutnya kelopak bunga.

Tak ada apapun di kelopak-kelopak bunga itu, embun, sisa air hujan, semut, kupu-kupu, bahkan juga gerak angin yang membuat kelopak bunga itu bergerak atau jatuh. Warna bunga-bunga itu pun aneh. Ia hanya mempunyai satu warna seperti batang dan rantingnya, bahkan juga seperti warna pot tempat ia tegak tumbuh.

Inilah bunga yang dihadirkan oleh Yunizar di atas selusin kanvasnya dalam pameran tunggalnya bertajuk “Jogja Psychedeli Flowers from Yunizar”, di Galeri Soemardja Bandung, selama hampir satu bulan (3-30 Agustus 2010) yang lalu. Sebagaimana judulnya, pameran yang dikuratori oleh Aminuddin T.H. Siregar ini memang seluruhnya mengusung bunga sebagai subjek matter-nya. Sebuah seri yang dilengkapi oleh satu karya objek berupa ribuan lebah.

Nietzsche, Puisi, dan Keabadian

Tak pernah kutemukan perempuan
            yang ingin kujadikan ibu anak-anakku,
 kecuali perempuan yang kucintai ini:
  karena kucintai kau, oh Keabadian!

  Karena kucintai kau, oh Keabadian!


BEGITU  Friedrich Nietzsche (1844-1900) selalu menyeru dalam bait terakhir, menutup setiap bagian dalam puisi “Tujuh Materai (Atau Lagu Ya dan Amin)”. Puisi yang termaktub dalam bukunya yang terkenal Also Sprach Zarahustra (Demikian Zarahutra Bersabda) ini, terdiri dari tujuh bagian. Dan dalam setiap akhir bagiannya, seruan ihwal keabadian yang dipujanya itu selalu muncul. 

Seruan dalam perulangan ini tampaknya bukan sekadar menjadi semacam komposisi estetis dalam bangun persajakan, tapi juga memberi tekanan pada betapa ia mencintai keabadian. Keabadian  yang dipersonifikasikannya sebagai seorang perempuan. Dan sebelum bait itu, ia pun selalu menulis bait yang sama; oh, bagaimana aku tak syahwatkan keabadian/dan cincin kawin segala cincin/-cincin Sang Keberulangan

Dari Batujaya Sampai Atlantik

DALAM pengertian harfiahnya reinventing adalah menemukan kembali. Dan ketika ia dijadikan frasa “Reinventing Sunda” bagi keperluan sebuah konferensi dalam konteks budaya, maka konferensi tersebut hendak diandaikan sebagai upaya untuk mencari dan menemukan kembali sejarah atau identitas budaya Sunda yang (dibayangkan) hilang. Meski tentu saja disadari bahwa hasrat besar semacam itu terlalu sederhana dicapai hanya dengan sebuah konferensi, tapi paling tidak konferensi tersebut bisa dianggap sebagai permulaan untuk menggagas kesadaran ihwal perlunya dilakukan proses pencarian demi menemukan kembali sesuatu yang hilang itu. Sesuatu yang menjadi hasrat setiap komunitias budaya yang menganggap bahwa ada sesuatu yang lenyap dalam sejarah dan jatidiri budayanya.

Acep, Perlawatan dan Pertemuan



DALAM khazanah perpuisian Indonesia modern, puisi yang melukiskan pengembaraan penyair ke suatu tempat yang jauh dan asing amatlah banyak kita temukan. Sebutlah, bagaimana Sitor Situmorang merekam jejak pengalaman bathinnya di Paris Perancis dalam kumpulan “Surat Kertas Hijau” dan “Dalam Sajak” ; perenungan-perenungan Subagio Sastrowardoyo di Leiden dan Paris dalam  “Hara dan Hari”;  pertemuan Taufiq Ismail dengan berbagai pengalaman dalam perlawatannya  di Amerika Serikat dalam “Sajak Ladang Jagung”; atau kerinduan Ajip Rosidi akan kampung halamannya selama ia berada di Jepang sebagaimana terungkap dalam “Teringat Topeng Cirebon”.

Di luar itu tentu masih banyak puisi yang lahir dari peristiwa pertemuan penyair dengan berbagai kesadaran pengalaman dalam perjalanan, perlawatan, dan pengembaraannya ke berbagai tempat yang jauh dan asing. Tak hanya dalam sajak-sajak W.S. Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M.,  Afrizal Malna, Agus R.Sarjono, atau Dorothea Rosa Herlyani.  Jauh ke belakang, puisi perlawatan semacam ini pun kita jumpai dalam karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Fanzuri, Sanusi Pane, J.E.Tatengkeng, Mohammad Yamin, Sutan Takdir Alisyahbana, Rustam Effendi, dan sejumlah karya penyair lainnya. Bahkan lebih jauh lagi, dalam tradisi sastra dunia klasik di berbagai khazanah kebudayaan, banyak puisi-puisi yang lahir dari perlawatan dan pengembaraan para pujangga ke berbagai tempat yang asing dan jauh.

Penyair, puisi, perjalanan, perlawatan, dan pengembaraan,  memang menjadi suatu  keniscayaan. Bahkan ia telah menjadi semacam tradisi. Hasrat penyair untuk memasuki dan menyerap serta meluluhkan dirinya ke dalam berbagai pengalaman memang akhirnya telah membuat puisi lahir dari banyak pertemuan sebagai peristiwa. Dan kiranya memang begitulah selalu kodratnya puisi lahir dan dilahirkan.

Ajip , Orang Sunda, dan Indonesia



Urang Sunda anu kungsi dijajah ku Mataram (1624-1708), kapangaruhan ke feodalisme Jawa, lain ngan nurutan make undak-usuk, tapi dina kahirupan sapopoe deuih. Ka nu saluhureun pangkat atawa wibawana, pura-pura ngahormat, ari ka sahandapeun ngaleyek-ngekesek. Ka luhur teu wani nyarita satarabasna atawa nepikeun kahayangna, basana “heurin ku letah” da henteu acan sadar kana hak-hakna warganagara republik demokratis

DEMIKIAN mengutip orasi ilmiah Ajip Rosidi  yang disampaikannya dalam penerimaan anugerah Doktor Honoris Causa (HC) bidang Ilmu Budaya Fakultas Sastra Universitas Pajajaran, di Aula Sanusi Hardjadinata Bandung, Senin (31/1). Di hadapan Sidang Terbuka Komisi Guru Besar Senat Universitas Pajajaran yang dihadiri oleh seniman, budayawan, dan para inohong itu, Ajip menyampaikan orasi ilmiahnya bertajuk “Urang Sunda di Lingkungan Indonesia”.   

Orasi ilmiah ini menarik karena, mungkin, inilah kali pertama orasi dalam prosesi pemberian gelar akademis sebuah institusi pendidikan disampaikan dengan menggunakan bahasa daerah (Sunda). Hal ini, sebagaimana dikatakan Ajip, demi membuktikan bahwa bahasa ibu bisa menjadi bahasa ilmu.

Dan lebih dari sekadar itu, seperti kutipan di atas, dalam orasinya Ajip banyak mengkritisi watak dan etos orang Sunda di tengah budaya demokrasi dan lingkungan modern yang bernama negara Indonesia. Membaca peran atau posisi orang dan budaya Sunda di tengah keragaman Indonesia, inilah yang menjadi tema dasar orasi Ajip. Sebuah tema yang hingga hari ini masih terasa aktual, terlebih di tengah munculnya semacam perasaan keterpinggirian budaya dan orang Sunda di tengah budaya dan etnis lainnya. Hal ini dianggap

Godi dan Pemanggungan Puisi











SETELAH  Neng Peking menyuguhkan nomor tarian “Samping Kebat”, ia muncul dari sayap kanan panggung dan langsung duduk bersila. Membelakangi penonton dengan sepasang sapu lidi, menghadap bidang putih berupa susunan rebana. Dia Godi Suwarna. Suara tepuk tangan penonton yang memenuhi Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung,  Senin (23/5), seolah isyarat bahwa kehadirannya memang sudah ditunggu.  Menjadi puncak dari seluruh rangkaian acara yang bertajuk “Ngalang Karya Godi Suwarna” yang diselenggarakan oleh Komunitas 7 Damar.  

Malam itu panggung sepenuhnya menyajikan jagat perjalanan Godi Suwarna. Jagat yang tak hanya menampilkan karya-karyanya dalam pemanggungan puisi dan carpon, tapi juga biografi dan perjalanan kepenyairannya dalam khazanah sastra Sunda, lewat sebuah film dokumenter.

Di depan ratusan rebana yang disusun menjadi semacam latar, layaknya seorang dalang, Godi membuka penampilannya dengan “Jagat Alit”.

Sabtu, 12 November 2011

Sanento Yuliman: Laut, Gerak Alam, dan Semesta Manusia

DALAM khazanah perpuisian Indonesia modern ada banyak penyair yang menghamparkan laut dalam karya mereka. Lewat laut sebagai perlambangan, terbaca juga di situ gagasan yang hendak dan tengah dihadirkan. Juga terasa bagaimana di baliknya penyair menyelami dan memaknai dunia serta memaktubkan gagasannya. Meskipun umumnya citraan laut banyak hadir dalam sajak sebagai strategi puitik yang dilakukan penyair untuk meyimbolisasikan kenyataan dunia yang luas dan bergerak, namun sikap, cara pandang, dan gagasan kesadaran yang diusungnya menyimpan sejumlah perbedaan.


Wayang dan Bayang Keberagaman










KERUSUHAN terjadi di Kerajaan Hastina. Bukan lagi perkara agar kerajaan itu dikembalikan pada Pandawa, lima bersaudara putera Pandu yang berhak atas kerajaan tersebut.   
Tapi, gara-gara rencana pembangunan gedung lilin Bale Sigala-gala yang dirancang oleh Durna dan Sengkuni, sebagai bagian dari strategi untuk membunuh Pandawa. Pembangunan gedung itu ditentang oleh Durmagati.

Ia menilai pembangunan gedung mewah itu adalah pemborosan dan penuh dengan muslihat korupsi. Sikap Durmagati ini tentu saja tidak disukai oleh Durna dan Sengkuni sehingga keduanya memfitnah Durmagati. Ia difitnah sebagai provokator berbagai unjuk rasa yang menentang rencana pembangunan gedung super mewah tersebut.

Bandung, Patung dan Monumen yang Bisu


Pantura dalam Sandiwara



DEKOR panggung adalah lukisan di sebuah pantai ketika purnama. Bulan yang bulat semu merah, awan-awan tipis, bentangan laut, dan pohon-pohon nyiur. Sesekali dekor yang terbuat dari kain itu digerak-gerakkan sehingga menimbulkan efek gerak ombak pada air laut. Tapi dalam suasana yang romantis itu terjadi perdebatan yang lalu menjadi pertengkaran sengit, antara perempuan cantik Nyi Ageng Jemeti dan Suro Panglawen, seorang panglima perang Banten-Lebak.  


Panjang Sprei dari Kelambu


SETELAH membaca tulisan Ajip Rosidi,  "Bandung dan Kehidupan Intelektual" ( Pikiran Rakyat 4 Mei 2005), mendadak saya ingat pada peribahasa orang kampung saya di Payakumbuh sana,  panjang sprei dari kelambu. Sebuah peribahasa untuk melukiskan sikap, pemikiran, perangai atau suatu keadaan yang melupakan apa yang semestinya didahulukan, dan sebaliknya mendahulukan apa yang seharusnya dikemudiankan. 

Meski tentu saja ungkapan dan pengertian peribahasa itu tidak sepenuhnya tepat diberlakukan terhadap tulisan Ajip, namun Ajip dalam tulisannya itu secara terang-terang sedang mendahulukan hasratnya  menilai, tanpa penilaian itu diberinya kelambu sejumlah argumen dan data.


Identitas Islam di Luar Kaligrafi










SETELAH menyampaikan sambutan untuk membuka pameran, diantar oleh sejumlah panitia, Menko Perekonomian Hatta Rajasa memasuki galeri. Melihat banyaknya sandal sepatu yang berderet ditangga, seperti halnya pemandangan di batas suci masjid, Sang Menteri pun segera hendak melepas sepatunya. Beruntunglah seorang panitia berbisik bahwa sandal dan sepatu itu adalah bagian dari karya, jadi ia tak perlu membuka sepatunya. Tapi, tidak demikian keesokkan harinya, Kamis (28/7), ketika sejumlah siswa SMP berkunjung ke galeri. Beberapa di antara mereka memasuki galeri dengan mencopot sepatu, menderetkannya bersama sandal dan sepatu yang sebenarnya adalah sebuah karya!

Deretan sandal dan sepatu itu merupakan instalasi karya Wiyoga Muhardanto berjudul “Study Forum for Certain Case”. Sebuah karya yang hanya terdiri dari deretan sandal dan sepatu yang disimpan di anak tangga galeri, tapi langsung memprovokasi ingatan orang pada batas antara ruang sakral dan ruang profan. Satu dari 200 karya yang dipamerkan dalam Pameran Besar Seni Rupa Kontemporer Islami dengan tajuk “Bayang”, yang berlangsung di Galeri Nasional Jakarta, 27 Juli-14 Agustus 2011 dikurator oleh Rizki A.Zaelani.

Karya Wiyogya di pintu masuk seakan jadi semacam sambutan yang berisyarat pada pengunjung ihwal bagaimana sebenarnya pameran ini melabeli dirinya dengan kata “kontemporer islami”. Sebuah frasa yang ingin menawarkan berbagai kemungkinan di luar apa yang selama ini

Peci, Riwayatmu Kini...



“...gambar Bung Karno yang berpeci sambil memegang dagu, menjadi model yang suka ditiru pemudan dan dengan tiada sengaja menjadi alat reklame peci juga. Perasaan persatuan semakin kokoh. Cara berpakaian kedaerahan terdesak dan diganti oleh cara berpakaian nasional, ialah berpeci”

KUTIPAN di atas berasal dari cerita pendek (cerpen) “Peci” karya Mas Saleh Sastrawinata. Cerpen yang dimuat dalam Mimbar Indonesia No.34, 21 Agustus 1948 ini mengisahkan sejarah peci (kopiah) sejak masa Hindia Belanda, jaman pendudukan Jepang hingga awal kemerdekaan. Dalam cerpen itu dikisahkan perjalanan peci dan hubungannya dengan orang Indonesia yang tak sekadar berfungsi sebagai penutup kepala. Mulai dari peci sebagai identitas kelas masyarakat, gaya hidup, sampai identitas bangsa. Aneh juga memang, karena cerpen itu tidak sekalipun menyinggung hubungan peci dengan identitas agama (Islam).

Tapi, mungkin juga tak aneh. Karena memang begitulah kodratnya peci di Indonesia dan umumnya bangsa Melayu (Malaysia dan Brunai). Meskipun peci tak bisa dipisahkan dari identitas busana kaum lelaki muslim. 

Dan Bung Karno adalah nama yang tak bisa dilewatkan dalam mengangkat trend peci di kalangan pergerakan hingga menjadi busana formal bangsa Indonesia

Kecuali tentunya Megawati Soekarnoputri, tak ada satu pun potret resmi presiden dan wakilnya yang tidak memakai peci. Demikian pula foto resmi para menteri, gubernur, sampai walikota. Bahkan di Negara Bagian Johor Malaysia, memakai songkok atau peci, menjadi syarat mutlak pakaian resmi yang mesti dipatuhi termasuk oleh setiap anggota parlemen seperti Dewan Majlis Johor. Pelanggaran atas kepatuhan ini adalah

Dunia adalah Rumah Sakit



SEBUAH ambulan meraung memasuki halaman Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Jl. Perintis Kemerdekaan 5 Bandung. Dari pintu belakangnya seorang pasien diturunkan, disambut oleh para perawat yang langsung membawanya dengan brankar. Orang-orang masuk mengikutinya setelah mendaftar terlebih dulu. Di ruang bagian depan siapapun yang masuk harus mendaftar sekayaknya di rumah sakit. Suasana agak semerawut, berbaur dengan suara tukang roti, tukang koran, dan para pedagang lainnya.

Masuk ke ruang utama, orang-orang dipersilahkan duduk di ruang tunggu. Di sini pun suasana sama saja, semerawut. Mereka yang hendak berobat dan para pelayat berbaur di tengah kesibukan para suster dan dokter. Lampu agak redup. Sesekali di tengah lorong yang serba sempit itu melintas brankar membawa pasien atau perawat membawa obat-obatan. Belum lagi suara para pedagang, aneka rupa obrolan, pasien yang hilir mudik, dan tak ketinggalan para calo.

Suasana yang lebih mirip di sebuah pasar ketimbang di rumah sakit. Ada suster yang sibuk menerima handphone dengan berbagai bahasa, dari Cina, Jepang, sampai Arab. Ada

Jumat, 11 November 2011

Pesona Tarian China



PARA penari itu menampilkan komposisi gerak lembut yang melukiskan suasana musim gugur. Mereka adalah perempuan-perempuan dengan tubuh langsing dan rambut tergerai, mengenakan gaun panjang berwarna hijau yang lembut. Sebuah opera China yang syahdu mengiringi tarian mereka. Antara tarian di panggung dan opera seolah terpisah, tapi sekaligus juga menjadi kesatuan. Dan pada sebuah adegan, ketika musik memperdengarkan nada tinggi, tiba-tiba latar panggung menampilkan citraan (gambar) daun-daun hijau yang berjatuhan.


Khazanah Sastra 2010




SEPANJANG tahun 2010, halaman sastra suplemen budaya Khazanah Pikiran Rakyat telah memuat 24 cerpen dan 68 puisi penyair. Dengan hanya muncul dua kali dalam sebulan (dua mingguan), secara kuantitas jumlah ini tentu saja hanya separuh dari jumlah cerpen dan puisi yang terdapat di halaman sastra di berbagai koran lain yang terbit setiap hari Minggu. Tapi lepas dari perbandingan semacam itu, jumlah tersebut bisalah menjadi semacam bayangan untuk menatap beberapa gejala yang terjadi dalam konteks kekaryaan. Mulai dari kuantitas naskah-naskah yang masuk, kecenderungan tematik, pencapaian estetis sejumlah penulis yang telah dikenal, hingga kemunculan para penulis muda (usia).

Pada yang terakhir ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, hampir tujuhpuluh persen para penulis yang karyanya dimuat merupakan penulis muda (usia). Mereka umumnya kelahiran 1980-an yang

Karim Raslan, “Malaysia Harus Belajar Pada Indonesia”

ALIH-alih menganggap bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang gagal, Malaysia semestinya mau melihat dengan objektif bagaimana Indonesia pelan-pelan mulai bangkit dari keterpurukannya. Di bidang ekonomi, liberalisasi politik pasca reformasi 1998 secara perlahan telah mulai membangkitkan kembali kegairahan dunia usaha dan iklim investasi di sejumlah kota besar di Indonesia. Dan lebih dari sekadar itu, liberalisasi politik secara perlahan telah membawa Indonesia ke dalam sebuah fase demokrasi yang lebih matang dibanding sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Malaysia.

Terbukanya ruang bagi perbedaan politik, agama, budaya, juga kebebasan pers, merupakan bagian paling penting dari perkembangan demokrasi di Indonesia. Inilah yang semestinya diapresiasi oleh publik Malaysia tentang Indonesia ketimbang

Imajinasi Anak di Kanvas Ahmad Su’udhi



DI Jln. Sudirman Jakarta,  harimau, kuda zebra, kerbau, kuda, bison,dan macan tutul memasuki kota. Di atas punggung mereka puluhan anak duduk dengan gembira tanpa rasa takut, bahkan ada yang melambaikan tangannya. Sedangkan di Moskow Rusia, seekor harimau putih melintas ditunggangi empat orang anak. Sedangkan di kota-kota yang lain anak-anak itu menunggangi dinosaurus, juga menclok di punggung Superman. Dan di tembok raksasa China tampak anak-anak itu berkumpul duduk dipinggirannya.  Juga di Mesir atau London. Anak-anak ada di mana-mana, bahkan di dahan pohon dan lembaran daun.
Itu semua ada di atas kanvas Ahmad Su”udhi dalam pameran tunggalnya bertajuk “Journey of Love” di Galeri Zola Zulu Bandung, 23-27 Juli 2011. Sebuah pameran yang turut  menandai peringatan Hari Anak Nasional, yang dibuka oleh anggota DPR RI Komisi VII yang membidangi perlindungan anak dan wanita Ingrid Kansil. Dalam pembukaan pameran ini juga diluncurkan buku “The Art of Ahmad Su’udi” yang ditulis oleh kritikus seni rupa Agus Dermawan T. 

Pameran menyuguhkan 35 lukisan yang dipajang memenuhi galeri seluruhnya menampilkan panorama imajinasi dunia anak. Satu hal yang langka dalam perkembangan seni lukis Indonesia modern. Dan itu bukan hanya demi menandai peringatan Hari Anak Nasional, tapi karena memang Ahmad Su’udhi merupakan pelukis yang intens menyuntuki tema anak-anak. Sebuah tema yang tak banyak menarik perhatian para pelukis Indonesia. Jika pun ada, maka itu hanya sekadar peminjaman style gambar naif anak-anak seperti yang dilakukan oleh Erika Wahyuni.

Berbeda dengan itu, kanvas Ahmad Su”udhi merupakan panorama dunia anak yang dihadirkan dalam style realis. Di sini, lukisan Ahmad Su’udhi adalah lukisan orang dewasa yang  memandang dunia anak, bukan peminjaman gaya menggambar anak-anak untuk menyoroti dunia orang dewasa.  Dan lebih dari sekadar sebagai figur, di tangan Ahmad Su”udhi  imajinasi dunia anak juga dihadirkan sebagai simbol atau metafora ihwal realitas kekinian.

Sebutlah, “Shopping Maniac” yang menampilkan sosok seorang perempuan cantik duduk di atas troly di antara belanjaannya, troly itu didorong oleh seorang anak dan beberapa anak lainnya merangkak di lantai. Lukisan ini merupakan sebuah ungkapan satire tentang realitas budaya konsumsi di tengah kultur urban. Demikian juga dengan “Kalpataru” yang menyoal isu lingkungan dan masa depan anak-anak. Pada karya itu sekelompok anak duduk mengelilingi pohon kalpataru yang telah dipenuhi oleh kendaraan mewah dan apartemen. 

Jika pun hendak disebut sebagai kritik sosial, karya-karya Ahmad Su’udi semacam tetaplah menghidangkan keindahan visual dunia kanak. Ia tak terasa sebagai kecaman apalagi perlawanan. Karena itulah karyanya tetap disukai anak-anak. Bagi Ahmad Su”udhi anak merupakan simbolisasi dari kemurnian universal yang ada dalam diri manusia. Karena itu bisa dipahami jika figur anak dalam karya-karya Ahmad Su’udhi umumnya sama, tubuh dan wajahnya masih yang itu-itu juga.

“ Pada dasarnya objek karya-karya Ahmad Su’udhi adalah boneka. Ini untuk mengungkapkan bahwa semua anak di dunia ini sama. Mereka hidup di bawah langit yang sama, dan sama-sama tidak pernah minta dilahirkan jadi bangsa itu atau ini. Inilah universalitas kemurnian yang ada dalam dunia manusia. Kami memamerkan karya-karyanya untuk mencari peminat yang bisa mengapresiasinya dengan mata dan hati tentang apa makna yang ada di balik dunia anak, ” ujar Hingkie Direktur Galeri Zola Zulu.

Sedangkan di mata Agus Dermawan T., pelukis yang karyanya masuk sebagai nominasi Jakarta Art Award International Painting Competition 2010 dan finalis The 1st UOB Painting of the Year 2011 ini, karya-karyanya menghadirkan gagasan ihwal anak-anak sebagai warga negara dunia. “Warga negara yang tidak bisa lagi dikategorikan oleh nasionalisme yang sempit, yang sering menyebabkan pertengkaran dan permusuhan,” katanya. (Ahda Imran)


Kapitalisme yang Meletihkan

zine.rukukineruku.com
DALAM  pendahuluan bukunya The Challenge og Global Capitalism (2002), Robert Gilpin & Jean Millis Gilpin menyebut bahwa kapitalisme merupakan sistem ekonomi kesejahteraan paling berhasil yang pernah dikenal dunia. Dan demi kesejahteraan itulah produktivitas mesti terus ditingkatkan dengan sandaran pada kecanggihan teknologi. Proses ini meniscayakan penghancuran segala sesuatu yang sudah tua untuk digantikan oleh hal-hal baru. 

Dalam tabiat kapitalisme, proses penghancuran yang tua berlangsung sebagai sebuah proses penghancuran yang kreatif  demi menghasilkan pemenang sekaligus juga pecundang.

Sungai Kapuas



---Markunyang


aku telah meminum air Kapuas
dan kau telah datang ke dalam tubuhku
maka kau akan kembali padaku
                                    
Memandangmu dari sini—
dari teras kamar hotel dekat pelabuhan
sungai bergerak pelan. Langit putih, nafas
dan badanku dalam angin. Menghembus
atas air, menyentuh punggung ikan-ikan

Pada kayu dermaga aku mencium bau
tubuhmu. Ruang silam yang tak menyerupai
apa dan siapa pun. Namamu adalah sepasang
mata yang terbuat dari kelopak air

Sore menjelang. Sungai berkelok
perlahan. Di kejauhan jembatan
seperti bayang

Di depanku sebuah kapal melintas
mungkin itu kapal dulu yang membawamu
meninggalkan ibu, ladang, sungai dan hutan kecil
di belakang rumah 

Graham Hains kembali mengajariku
memotret lanskap langit sore atas dermaga—
rumah-rumah kayu seberang sungai atau perahu
terapung pada bidang cahaya kuning. Tapi
aku lebih senang mengarahkan kamera ke arah kapal
yang melintas itu. Lensa kameraku mendekat
mencari-cari sepasang matamu

Langit putih. Sepasang burung enggang
melayang di seberang sungai. Degup
jantungnya kudengar menggema
ke dalam air. Gema yang sampai
ke lubuk muara 

Memandangmu dari sini—
dari putih langit, sore yang membawa
gelagat hujan, dan pelabuhan bersiap lenyap
ikan-ikan kembali menyelam. Dalam angin
badanku masih berayun-ayun di atas air. Mengurai
batas ruang dan alun air

Sungai ini dihuni oleh seekor ular raksasa
warnanya hitam, seperti waktu. Seperti kini
aku menemukan segala permulaan
dari sepasang matamu

Kapuas terus menghilir ke arahku
sekaligus meninggalkanku. Berkelok 
perlahan di bawah jembatan, terus
ke lubuk muara. Ke tempat suaramu
menggema
                             
aku telah meminum air Kapuas
dan kau telah datang ke dalam tubuhku
maka kau akan datang kembali padaku
                                    
2011


Dalam Peti Kayu

Seperti ular yang melata di hutan
yang berembun. Begitulah suaramu
lalu aku mengetahui sebuah negeri—
rumah-rumah dasar danau dan ikan
keramat. Gerimis menyelubungi rawa
sebuah jembatan gantung di kejauhan

Kelaminmu yang dalam
menyerupai peti kayu dengan ukiran
bunga teratai. Di dalamnya aku hidup
bersama seseorang yang tak bisa lagi
kuingat kapan kami pernah saling
mencari. Matanya putih. Sepasang
kakinya terbuat dari kulit pohon

Sepasang matamu
adalah gerbang yang menyimpan
bahasa manusia dan kutukan-kutukannya
setiap hari orang-orang memasang perangkap
menangkap burung-burung gagak. Mengutusnya
ke dalam kata-kata

Setiap hari kutiup seruling
sambil terus berjalan lebih dalam
ke dalam tubuhmu

Seperti seekor ikan yang terdampar
dan ditinggalkan. Begitulah suaramu
lalu aku mengetahui kisah sebuah negeri—
langit yang hilang di dasar danau, mahluk jahat
yang berdiam di balik kata-kata, dan peti kayu
yang terapung-apung. Di dalamnya aku hidup

Mataku putih. Sepasang kakiku
terbuat dari kulit pohon


2010-2011









Kaki Angin


Kaki angin yang putih
berjalan pelan di daun teratai
tenang dan berwibawa. Air dan ikan-ikan
terdiam.  Langit dan pohonan menyiapkan
lagu pujian. Burung-burung gereja terbang
ke arah hilang. Sebuah lonceng dibunyikan

Lalu ada juga yang berjalan ke arah hilang
berselubung kain hitam. Suara orang berbisik
ringkik kuda dan desis ular. Di angkasa hujan
seperti sebuah kerajaan dan para penyerbu
yang menyeru namamu. Mereka memburu
para pemberontak dengan pahala
dan hukum perang suci

Kaki angin yang putih
berjalan pelan di pecahan kaca
tenang dan berwibawa. Bayang tubuhmu
atas air—menyelinap ke lubuk lenyap
membasuh percik darah di tubuh ikan-ikan
pohonan bergerak melepaskan ribuan burung
lonceng kembali dibunyikan. Tapi tak ada
apa dan siapapun

Lalu ada yang berjalan berselubung kain hitam
menjauhi lagu pujian. Kakinya berdarah penuh
pecahan kaca. Tangannya ditumbuhi kelopak bunga
teratai. Diberkatinya hujan, para pemberontak dan kuda
yang menderu ke padang jauh

Pada hari keramat
di jalan setapak seorang anak
menemukan jejak kakimu yang putih—

di luar barisan jemaat..


2010-2011







Jalan Tan Malaka, Payakumbuh

Lurus jalan menuju Suliki
di ujungnya persimpangan—
Koto Tangah dan Koto Tingi
keduanya menuju ke dalam lembah
pegunungan, rimba raya, deretan
pohon pinus, ladang-ladang kopi
dan tembakau

Liuk jalan
dan pendakian

Ini jalan orang dulu..

Jalan lurus panjang
gerbang menuju kerajaan gunung
orang dulu pergi keluar, membawa
jantung seekor burung. Pergi ke musim
yang lain, ke negeri di mana dunia
bisa disebutkan dengan berbagai
nama  

Surau dan lepau tepi jalan. Balai adat,
rumah lama dengan parabola, satu dua kedai
penjual handphone. Dari depan, udara dingin
menyongsong. Bau lengang dari jenjang rumah
dan sayup suara menyeru—

Bila pulang?

Lurus jalan menuju Suliki
di ujungnya persimpangan

Ini jalan orang dulu


2009


SUMBER: Kompas, 19 Juni 2011