Kamis, 22 Maret 2012

Erotisme Dalam Seni Tradisi




MARILAH kita mulai dari akhir tahun 1980-an, ketika tari Jaipongan karya Gugum Gumbira marak di Jawa Barat. Maraknya jenis tarian pergaulan yang lincah ini  ketika itu merupakan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam apresiasi masyarakat terhadap tari tradisi. Ketika itu,  jaipongan tak hanya seolah-olah telah jadi pertunjukan wajib di pesta-pesta hajatan, di tepi jalan hingga dalam gang, atau yang kemudian diikuti oleh bermunculannya  berbagai group-group jaipongan di banyak kota.

Melainkan juga dibarengi oleh munculnya banyak kursus jaipongan yang diminati oleh remaja-remaja perkotaan, dan itu tak hanya terjadi di Jawa Barat. Jaipongan agaknya, ketika itu, seakan-akan tengah menjadi representasi dari resistensi seni tradisi terhadap gempuran seni-seni (Barat) modern.

Namun ternyata ada juga berbagai pihak yang mengkritisi jaipongan atas nama kepatutan
moral yang memandang bahwa gerak tari yang meletakkan kelincahan dan keindahan geraknya itu pada pinggul, bahu, dan ekspresi penari yang penuh senyum, terutama ketika ditarikan perempuan, sebagai sejenis tarian yang digolongkan vulgar dan erotis. Dengan unsur tiga G-nya, geol, gitek, goyang, jaipongan ketika itu membuat cemberut para istri pejabat, terlebih ketika penari jaipongan itu ngibing dengan suaminya, dengan kerling mata dan senyumnya.

Akhirnya semasa Gubernur Aang Kunaefi (alm) ketika itu, Gedung Pakuan (Gubernuran) tertutup bagi jaipongan untuk tampil dalam berbagai seremonial penting yang mengundang tamu-tamu yang juga tak kalah pentingnya. Namun ini ternyata tak mengurangi minat dan antuasiasme masyarakat pada jaipongan.

Terutama yang terjadi di masyarakat pesisir Jawa Barat seperti Subang. Jaipongan, merujuk pada penelitian Dr. Endang Caturwati,  telah digunakan sebagai nama seni pertunjukan hiburan rakyat serupa ronggeng tempo dulu, yaitu kliningan-jaipongan setelah sejak tahun 1963 terkenal dengan sebutan kliningan bajidoran.

Tak hanya menjadi jenis hiburan rakyat, kliningan jaipongan bahkan telah menjadi bagian utuh dari sistem sosial  masyarakatnya dengan jejak historitas kultur di belakangnya.

Jika banyak seni tradisi di berbagai daerah di Jawa Barat terengah-engah menghadapi gelombang maraknya panggung dangdut dan orgen tunggal, sebutlah Ronggeng Gunung di Ciamis atau bahkan Topeng Cirebon, maka di Subang itu tidak berlaku bagi kliningan-jaipongan ataupun doger.  Paling tidak tanggapan terhadap jenis tari tradisi seni hiburan rakyat yang penuh erotisme ini masih kuat menjadi ciri khas panggung-panggung hajatan di Subang,  dengan kemandirian survivalitasnya yang dihidupi oleh masyarakatnya itu sendiri.       

Ingatan terhadap peristiwa itu harus diangkat kembali untuk mengantarkan pemikiran ke dalam kenyataan,  betapa seni tradisi (mungkin juga seni umumnya) merupakan entitas yang tak bisa dipisahkan dari konteks karakter kultur masyarakatnya. Tak hanya ukuran estetika yang terdapat di dalamnya, melainkan juga yang menekan pada bagaimana  citraan estetika itu berhubungan dengan parameter moralitas, kesantunan, hingga ukuran dan cara pandang terhadap makna serta pengertian erotisme.

Dalam konteks ini, perbedaan ukuran nilai itu bisa dicermati dari sikap pandangan ibu-ibu pejabat di Bandung (Priangan) dan masyarakat luas umumnya terhadap jaipongan. Alih-alih seperti ibu-ibu pejabat yang cemberut masam melihat penari jaipongan, para ibu dari kalangan masyarakat luas dengan senang hati mengijinkan anak-anaknya kursus jaipongan,  bahkan mengantar dan menungguinya dengan bayangan di panggung malam 17-Agustusan nanti Si Neng mentas.  
                                                                        **
NAMUN perbedaan ukuran dalam menilai norma kesantunan, moralitas,  dan sikap pandang terhadap erotisme dalam konteks fenomena tari tradisi yang telah menjadi genre seni hiburan rakyat, yang kemudian terhadapnya dikenakan citraan moralitas tertentu---bahkan juga terhadap para perempuan penarinya--- seperti kita maklum, tak hanya terjadi pada jaipongan, kliningan-jaipongan, ronggeng, dombret dan doger di Jawa Barat.  

Melainkan juga terjadi dan dialami oleh sejumlah tari tradisi seni hiburan rakyat lainnya di berbagai konteks kulturnya, sebutlah, tayub, gandrung, gambyong, cokek di Betawi, atau tari-tari hiburan (balih-balihan) di Bali, seperti oleg sebagaimana mengemuka dalam novel Oka Rusmini “Tarian Bumi”.

Citraan buruk terhadap jenis tari seni hiburan rakyat ini, dan perempuan yang menarikannya, sekali lagi seolah menjelaskan bahwa erotisme memiliki semacam keniscayaan dalam dirinya, bahwa ia bukanlah definisi yang berhenti di suatu ukuran nilai tertentu.
Tak hanya dalam konteks perbedaan kulturnya, namun juga dalam berbagai ruang psiko-sosial masyarakatnya. Terutama pada yang pertama, akan tampak bagaimana erotisme itu bisa diandaikan adalah juga representasi dari keberbagaian. Tak hanya keberbagaian setiap orang atau komunitas budaya tertentu dalam memberi pengertian terhadapnya, melainkan keberbagaian dalam memahami manusia.

Dalam hal ini hendak dikatakan bahwa setiap kultur memiliki ukuran dan nilai-nilainya sendiri dalam memahami erotisme atau bahkan seksualitas, jika memang antara keduanya tak bisa dipisahkan, yang seluruhnya itu direpresentasikan dalam seni dan peristiwa seni. Pada keadaan inilah erotisme sesungguhnya tidak melulu menghadirkan pengertian yang serba dangkal dan rendah.

Sebutlah, Tari Bedhoyo, yang dibawakan oleh sembilan orang perempuan yang masih gadis dan tidak sedang haids. Betis yang terbuka dan kelihatan saja bisa menimbulkan rasa erotis yang luar biasa bagi orang-orang tua ketika itu. Tarian itu sendiri sesungguhnya lebih merupakan samadi dan doa sultan. Masuknya sultan ke dalam emosi erotis haruslah dipahami sebagai Simili Similipus,  kemiripan yang berpengaruh pada apa yang kita tirukan. Artinya, di situ sultan tengah menggali nilai kesuburan dan manusia berusaha mempengaruhi alam.

Deskripsi historis dan filosofis tentang Tari Bedhoyo sesungguhnya memiliki korelasinya dengan tayub, ronggeng, atau kliningan bajidoran, yang juga pada mulanya merupakan ritual kesuburan masyarakat petani. Dalam konteks tayub, penyajiannya diyakini memiliki kekuatan Magic Simpatetis dan berpengaruh pada upacara sesembahan .

Melalui upacara bersih desa, dipercaya bahwa semakin erotis tarian yang disajikan semakin menjanjikan keberkahan dan kesuburan hasil tanam. Laki-laki di situ disimbolkan sebagai benih tanaman yang siap tumbuh, sedang perempuan adalah simbol lahan yang siap ditanami.

Hal yang lebih kurang sama juga terdapat pada apa yang ada dibelakang tari ronggeng dan kliningan japongan. Seluruhnya merupakan guidence untuk sebuah kesadaran kehidupan dalam konsep harmoni, yang menjadi filosofi budaya masyarakat tradisi.  Kesuburan di situ bukan semata kultural, tapi juga untuk mentransformasikan makna baru tentang kesatuan manusia dan alam.

Upacara ritual semacam itu memang tidak lagi diperbolehkan sejak masuknya agama Islam. Tapi di Subang,  demi kepentingan kapitalisme perkebunan pada masa VOC ronggeng kembali dihidupkan untuk menarik perhatian para kuli kontrak sehingga mereka merasa betah. Dan di sinilah terjadi perubahan itu. Ronggeng yang semula bermakna sakral berubah menjadi semata-mata sebuah hiburan rakyat yang profan

Namun, di tengah situasi kenyataan itu pula fenomena yang lain tak kalah menariknya. Ketika  perempuan penari menunjukan eksistensinya sebagai subjek, bukan objek yang dieksploitasi. Merekalah dengan kemandirian ekonominya mampu menjadi pimpinan group-group kliningan jaipongan atau bajidor. Sebagai sinden penari, sesungguhnya mereka jugalah subjek yang mengeksploitasi lelaki untuk ngibing dan nyawer. Paling tidak, di sini batas antara pihak yang menjadi subjek dan objek menjadi kabur.                                                                    

                                                                   **
DALAM ruang profan inilah erotisme seni tradisi dipandang dengan mata sinis, bahwa ia tak lebih dari sekadar dalih untuk mengekspolitasi hasrat-hasrat libidinal ketimbang itu didefinisikan sebagai kesenian. Namun sesungguhnya juga terdapat sebuh sudut pandang yang lain, betapa peristiwa pertunjukan semacam itu hendaklah juga dibaca sebagai ruang ketika kultur tradisi memberi tempat pada hasrat-hasrat kasar manusia.

Pelepasan tersebut dalam setiap kultur berbeda-beda karakter ruang publiknya. Di Pantura seluruhnya hadir dalam ruang yang terbuka, setiap orang bisa masuk, namun tidak setiap orang bisa dan merasa berhak menilainya dengan ukuran serta definisinya sendiri. Di sinilah erotisme jadi sangat kompleks ukurannya. Bukan semata soal goyang. Tubuh harus dilihat secara utuh. Dalam Tari Bedhoyo betis saja menjadi sangat erotis, lalu bagaimana dengan yang ada di Papua? Konteks erostismenya berbeda.   

Persoalan erotisme, akhirnya, adalah persoalan kemanusiaan sejak jaman purba, seperti halnya Tantra yang bukan melulu berarti seksualitas tapi berkonotasi spritual. Erotisme dalam seni tari tradisi sesungguhnya adalah representasi dari pluralisme kultural yang kita miliki. Di situ, tampak bagaimana setiap komunitas budaya memiliki cara pandangnya yang berbagai-bagai terhadap naluri-naluri paling dasar dari manusia, serta bagaimana mereka mengakomodasinya lewat seni tanpa kehilangan ruh spritualnya.

Dan keberbagaian ini tentunya akan hilang jika politik kebudayaan negara mengaturnya lewat ukuran nilai yang tunggal dan berlaku buat semua kultur lewat RUU Anti pornografi dan Pornoaksi (RUAPP). Di situ moral seakan-akan menjadi sesuatu yang universal lewat tafsir yang tunggal. Erotisme harus dilihat sebagai sebuah kultur yang spesifik di setiap tempat. Ini persoalan yang sangat kompleks.  Tapi sayangnya, salah satu kebiasaan buruk bangsa ini adalah menyederhanakan persoalan.   

Kompleks dan tak sederhananya persoalan erotisme ini agaknya akan menjadi soal yang terus berkembang. Sebab bagaimanapun ia berhubungan dengan keberbagaian dan pluralisme identitas tradisi serta budaya yang telah menjadi karakter sistem sosial masyarakatnya.

Dan bukankah ini yang selalu dianjurkan agar kita mempertahankannya dalam banyak
pidato yang berbusa-busa itu? (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, tahun dan bulan pemuatan tak terlacak)**




     
  







     







  





  
  








  





     
    




























Tidak ada komentar:

Posting Komentar