Jumat, 23 Maret 2012

Gilang Cempaka, “Perempuan Tidak Punya Hak Atas Tubuhnya”



BUDAYA patriaki adalah suatu masyarakat lelaki dengan norma-norma yang mengatur bagaimana perempuan mesti mengatur tubuhnya. Budaya ini diam-diam telah menjadi semacam sistem nilai, baik seperti apa yang dipahami sebagai tradisi, maupun yang kemudian hadir dalam masyarakat industri. Tubuh perempuan di situ di atur atas nama kepatutan norma-norma tradisi juga atas nama keperluan masyarakat industri. 

Pada keduanya selalu diciptakan ukuran-ukuran ihwal kesempurnaan tubuh perempuan dan kecantikannya. Jika ukuran itu muncul dalam masyarakat industri, maka sebenarnya masyarakat industri itu sendiri adalah wajah lain dari masyarakat lelaki yang mensubordinasi perempuan.


Perempuan akhirnya tidak pernah menjadi subjek otonom atas tubuhnya. Tubuh perempuan adalah milik keluarganya, suaminya, dan anaknya. Dalam situasi inilah perempuan mesti bergulat “merebut” hak atas tubuhnya sehingga ia bisa hadir sebagai seorang “aku” di ruang publik yang menjadi hak masyarakat lelaki. Ia bekerja dan berkarir di antara tarik menarik kewajibannya di ruang domestik dan di ruang publik; antara mengurus anak dan keluarga, bekerja dan berkarir. Sebaliknya, tarik menarik semacam inilah yang tak pernah terjadi pada seorang lelaki. Seorang lelaki sepenuhnya memiliki hak atas tubuhnya. Ia leluasa bekerja dan leluasa menentukan banyak hal atas tubuhnya.

Meski terasa sebagai soal lama, tapi diakui atau tidak, situasi inilah yang masih dirasakan oleh banyak perempuan di negeri ini. Termasuk ketika ia menentukan pilihan hidupnya sebagai seniman. Apapun pilihan karirnya, seorang perempuan haruslah patuh pada kodratnya sebagai perempuan, sebagai ibu dan istri. Di sisi lain ia harus berhadapan dengan berbagai ukuran berikutnya ihwal bagaimana semestinya perempuan mengatur tubuhnya sehingga ia bisa kategorikan cantik. Berdandan menjadi ritual perempuan yang disadari bukanlah untuk dirinya melainkan demi mematuhi ukuran-ukuran tersebut.

Untuk siapa sebenarnya seorang perempuan berdandan? Itu menjadi kalimat yang selalu luput ditanyakan, bahkan oleh perempuan itu sendiri. Benarkah ia berdandan untuk dirinya sendiri? Atau jangan-jangan secara tak sadar ia berdandan demi memenuhi segenap ukuran agar ia tampak cantik?        

 “Kepercayaan bahwa perempuan itu harus cantik dengan ukuran-ukuran tertentu, akhirnya diam-diam diterima oleh perempuan karena itu sudah ditanamkan sejak kecil. Dan bagi saya berdandan menjadi situasi yang paradoks, antara menikmati dan konflik yang menggelisahkan; mengapa saya harus cantik, mengapa tubuh saya tidak terserah saya? Dan sekali lagi, ini menjelaskan bahwa perempuan tidak memiliki hak atas tubuhnya,” ujar pelukis Gilang Cempaka.

Sebagai seniman perempuan, Gilang merasa digelisahkan oleh berbagai pertanyaan ihwal tubuh perempuan dalam masyarakat patriaki. Dan kegelisahan inilah yang dituangkan oleh perempuan yang sejak kecil telah dikenal sebagai pelukis yang banyak mendapat penghargaan internasional ini. Perempuan selalu menjadi tema yang hadir dalam lukisan-lukisan Gilang. 

Di atas kanvas pelukis lulusan FSRD ITB yang mengajar di Universitas Paramadina ini, perempuan selalu tampil dalam sosoknya yang murung dengan warna yang cenderung gelap. Berikut petikan wawancara bersama perempuan kelahiran 30 Januari 1975 dan ibu dari dua anak ini
                                                                 **
 Anda banyak mengangkat tema perempuan. Apa sebenarnya yang ingin Anda sampaikan?

Awalnya tentu berangkat dari pengalaman personal, juga melihat realitas itu sendiri ketika perempuan terus menjadi subordinat dari lelaki. Saya akui,  memang perempuan berbeda dengan lelaki. Terutama dalam cara pandang dalam menghadapi persoalan keseharian. Misalnya, buat lelaki sesuatu itu bukan soal yang penting, sebutlah, soal perasaan. Tapi buat perempuan itu soal besar. Di lain sisi saya menemukan kenyataan bahwa dalam masyarakat patrikis seolah-olah perempuan tidak pernah memiliki tubuhnya sendiri. Tubuh mereka berada di bawah kuasa hukum atas nama lelaki (budaya patriaki). Awalnya dari situ, kemudian berkembang juga. Termasuk perasaan dan pengalaman pribadi. Dan memang umumnya sepanjang yang saya tahu, seniman perempuan itu dalam membuat tema karya, selalu berawal dari masalah pribadi dulu. Mungkin bisa dianggap ecek-ecek, tapi buat mereka sebenarnya itu masalah besar karena perspektif lelaki dan perempuan itu pasti berbeda dalam memandang dunia.

Dalam perjalanan keseniman Anda, sejak kapan tema perempuan itu muncul?

Sewaktu saya kuliah belum. Tapi lama kelamaan dari berbagai wacana yang saya geluti dan juga pengalaman pribadi saya sebagai perempuan, saya mulai tertarik dengan masalah itu.

Dalam karya-karya Anda yang lain, ada yang disebut dengan perempuan dalam ritual berdandan. Apakah ini bisa dikaitkan dengan apa yang Anda katakan tadi, bahwa tubuh perempuan bukanlah milik dia?

Saya melihat berdandan dalam dua sisi, antara kebutuhan dan tuntutan. Sudah umum bahwa perempuan itu diharuskan menjadi cantik, dan ada paradigma bahwa perempuan itu harus ideal putih dalam pandangan putih, juga langsing, rambut lurus panjang, pinggang kecil dan dada. Jadi ada nilai tertentu yang memang sudah diyakini umum bahwa itu adalah idealnya perempuan. Wajah harus cantik dan jangan jerawatan, kalau tidak begitu kamu tidak akan dipandang sebagai perempuan utuh di masyarakat jika berada di luar nilai-nilai itu. Dan yang kedua, nilai-nilai akhirnya terserap dan menjadi internalisasi dalam diri perempuan. Ukuran itu diam-diam diterima oleh perempuan dan berdandan menjadi situasi yang paradoks, antara menikmati dan konflik dalam dirinya; mengapa saya harus cantik, mengapa tubuh saya tidak terserah saya? Nah, itulah, akhirnya parameter kecantikan ditentukan oleh budaya industri yang merupakan corong dari budaya patriaki.

Kalau begitu perempuan selalu berada dalam tarik-menarik antara kesadaran individu dia dan kesadaran kolektif masyarakat lelaki?

Ya, kesadaran pada diri perempuan bahwa ia tidak memiliki hak atas tubuhnya sendiri akhirnya menimbulkan pemberontakan yang ia ekspresikan lewat karya. Tidak hanya dalam karya-karya seni rupa tapi juga dalam karya sastra atau seni-seni yang lain.
                                                                **
TAPI,  bagi Gilang Cempaka menghadirkan sosok perempuan dalam karya-karyanya bukanlah sebuah pemberontakan. Ia hanya hendak mengekspresikan apa yang terjadi dalam dunia perempuan di tengah masyarakat patriaki. Dengan mengekspresikan semua itu, ia tak hanya mengungkap berbagai segi ihwal situasi perempuan sebagaimana itu muncul dalam pengalaman personalnya sebagai perempuan. Melainkan sekaligus mencoba mengkritisi budaya patriaki. 

Dalam proses kreatifnya, pelukis yang dalam usia delapan tahun diundang NASA untuk menghadiri peluncuran satelit Palapa sebagai hadiah menjuarai lomba lukis internasional di Jenewa Swiss ini, berbagai ide tentang nasib perempuan juga muncul dari pengalaman-pengalaman perempuan lain yang membuatnya terenyuh.

Dan ini amat berpengaruh pada karya-karyanya. Nyaris tak akan kita temukan satu pun lukisan Gilang yang menampilkan figur perempuan yang berada dalam suasana bahagia. Perempuan dalam lukisan-lukisan Gilang tampak selalu berada dalam situasi yang menyedihkan.    

“Ya. Karena mungkin saya pesimis dalam melihat kenyataan perempuan di Indonesia yang masih diposisikan sebagai subordinat lelaki. Banyak norna-norma dalam budaya masyarakat kita yang seolah-olah membuat perempuan itu dipaksa bungkam,” ujarnya.  

Lalu apa yang Anda rasakan sendiri sebagai perempuan yang memilih menjadi seniman?

Dalam perjalanan saya sejak selesai kuliah, saya sadar bahwa melukis itu kebutuhan saya. Bahkan sampai saya menikah dan punya anak. Di antara mengurus anak dan keluarga, sekaligus berkarir, pilihan menjadi seniman, seperti yang saya rasakan adalah sesuatu yang sulit. Seorang seniman lelaki hal yang saya alami bukanlah sesuatu yang sulit bagi mereka. Dia bisa saja meninggalkan anak dan istrinya ketika sedang ada mood untuk berkarya. Dia lapar makanan sudah tersedia, tidak capek dengan urusan anak dan rumah. Pokoknya dia berkarya dari pagi sampai subuh. Kalau perempuan tidak bisa. Perempuan dalam posisi sebagai seniman situasinya lebih kompleks. Dia harus memikirkan anaknya, misalnya, ketika saya melukis anak saya menangis. Begitu juga kalau suami pulang, saya harus menyambutnya meski suami saya tidak terlalu menuntut hal itu.

Tapi sebagai perempuan yang memilih menjadi seniman kebahagiaan apa yang Anda rasakan yang mungkin tidak dimiliki oleh seniman lelaki?

Saya cukup bahagia karena saya merasa bisa membagi waktu. Saya masih berkarya, masih bisa mengajar, bisa melihat anak-anak saya. Dan memang banyak pandangan umum terhadap seniman perempuan bahwa setelah berumahtangga itu ia tidak lagi berkarya. Tapi memang kenyataannya memang sulit membagi waktu antara keluarga dan keseniman.

Anda sejak kecil sudah melukis, tapi sejak kapan Anda memilih jadi pelukis?

Meski waktu kecil sudah melukis tapi cita-cita saya masih berubah-ubah. Saya pernah jadi desainer setelah lulus S1. Lalu menikah dan punya anak. Tapi ketika punya anak kebutuhan melukis terus muncul, saya menggambar pakai pulpen. Begitu juga ketika menyelesaikan pasca sarjana proses saya melukis tetap berjalan. Begitu juga ketika saya mengajar, meski memang terasa berat juga jika sambil berkarya. Tapi akhirnya saya realistis saja, karena mengajar saya bisa melukis, karena mengajar saya beli cat.

Apa obsesi Anda seterusnya sebagai seniman?

Tetap berkarya dan pameran, sambil tetap realistis bahwa saya punya anak, keluarga, dan karir. Bagi saya, saya mending menjadi ibu yang biasa-biasa saja tapi saya bisa menangani semuanya, ketimbang saya jadi ibu yang hebat tapi orang lain yang handle.

Tapi sebagai seniman sampai di mana Anda berkompromi dengan kewajiban-kewajiban Anda sebagai ibu dan istri?

Kalau saya harus ada waktu untuk melukis, dan itu tidak bisa diganggu gugat. Seminggu taruhlah ada dua tiga hari saya full melukis. Dan waktunya itu jam kerja, dari jam sembilan sampai jam setengah enam. Saya tidak bisa lagi bicara mood karena saya harus bekerja profesional. Saya tidak bisa bekerja dengan mood yang muncul, misalnya, jam delapan. Itu tidak bisa karena itu waktu saya mengurus anak. Kalau seniman lelaki mungkin bisa bahkan lebih leluasa. Akhirnya proses berkarya saya memang mirip jam kerja kantoran, dan itu tertib dalam dua tiga hari setiap minggu.  

Anda punya target dalam sebulan harus menghasilkan berapa karya?

Pastinya. Paling tidak sebulan satu atau dua karya. Tapi kadang-kadang meleset juga. (Ahda Imran, Pikiran Rakyat tahun 2010, bulan dan tanggal pemuatan tak terlacak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar