Jumat, 23 Maret 2012

Pesantren, Benteng Terakhir Pendidikan Bahasa Sunda?



PENDIDIKAN bahasa Sunda di sekolah yang lebih menitikberatkan bahasa sebagai ilmu (pengaweruh) ketimbang sebagai alat untuk berkomunikasi, telah membuat anak-anak muda malas untuk berbahasa Sunda. Pengajaran bahasa jadi penuh hapalan yang memberatkan anak didik. Kurikulum pendidikan bahasa Sunda semacam inilah yang menjadi bagian dari kecemasan, jangan-jangan upaya ngamumule (merawat dan memelihara) bahasa Sunda justru adalah kita sedang membakar panggung dengan bensin kita sendiri. Satu-satu lembaga pendidikan yang kini masih mengajarkan bahasa Sunda sebagai alat berkomunikasi hanyalah pesantren. 


Demikian pandangan yang dilontarkan oleh Rektor Unpad Ganjar Kurnia ketika tampil sebagai panyatur (pembicara) dalam sidang pleno hari kedua, Kongres Bahasa Sunda IX di Hotel Grand Jaya Raya Cipayung Bogor, Selasa (12/7).

Ganjar mengatakan, ada banyak  yang dapat dilakukan untuk ngamumule basa Sunda, mageuhan diri bangsa, antara lain merevolusi kurikulum pendidikan basa Sunda, mengubah metode pengajaran dari bahasa Sunda terkesan sulit menjadi mudah. 

Caranya, kata Ganjar, dengan mengajarkan bahasa Sunda "beuki lila bueki resep" bukan "beuli lila beuki teu resep". Seperti mengajak siswa langsung ngawih. Isi kawih yang mendidik, bukan hanya akan menyenangkan siswa  dalam mempelajari bahasa Sunda tetapi juga akan mengubah perilaku anak.

Pada bagian lain  ia mengkritisi sejumlah upaya yang dilakukan demi apa yang dibayangkan bisa meningkatkan perkembangan bahasa, sastra, dan aksara Sunda. Dalam sastra Sunda ia tak melihat munculnya wajah-wajah baru dalam sastra Sunda. Hadiah Sastra Rancage dari tahun ke tahun hanya berputar pada nama yang itu-itu juga. Demikian pula dalam pemasyarakatn aksara Sunda, yang baginya cukuplah hanya dilekatkan di bawah nama-nama jalan ketimbang itu dijadikan mata pelajaran di sekolah.

Di sisi lain Ganjar juga merasa pesimis bahwa keluarga atau rumah bisa menjadi bagian dari upaya peningkatan bahasa Sunda bagi anak-anak muda. Karena itulah, kata dia, pesantren adalah benteng terakhir yang diharap bisa menjaga keberlangsungan bahasa Sunda sebagai alat komunikasi.

 "Pasantren satu-satunya benteng terakhir yang diharapkan akan menjaga keberlangsungan bahasa Sunda. Di pesantren komunikasi masih menggunakan bahasa Sunda. Terjemahan sumber-sumber pengajian seperti sapinah. Sulam taopek, dll menggunakan bahasa Sunda. Walaupun sudah banyak khutbah yang disampaikan dalam bahasa Indonesia,” paparnya. 

Tetapi, pandangan Ganjar Kurnia bahwa pesantren merupakan benteng terakhir bagi pendidikan bahasa Sunda, diragukan oleh Usep Romli ketika ia tampil sebagai panyatur di sidang komisi yang membahas dakwah Islam Kiwari.  Menurut Usep Romli, pesantren telah mengalami perubahan dari kodratnya sebagai lembaga pendidikan tradisi menjadi institusi pendidikan yang tak ubahnya dengan sekolah umum.

“Pesantren sekarang sudah berbasis kompetensi yang mengalami strandarisasi pendidikan umum. Akibatnya, pesantresn sekarang menginduk pada kurikulum yang tidak mengakomodasi pendidikan bahasa daerah. Ini terjadi sejak pertengahan tahun 1970-an,” ujar Usep Romli. (Ahda Imran, Pikiran Rakyat 13 Juli 2011)  

                                                                                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar