Senin, 24 Maret 2014

Esai Penutup "Rusa Berbulu Merah"




Mythopoesis, Urban Pastoral
Suatu Kemungkinan Membaca “Rusa Berbulu Merah”

                                                          ---TIA SETIADI

A myth was an event which, in some sense, had happened once, but which also happened all the time.
(A Short History of Myth, Karen Amstrong)

These fragments I have shored against my ruins.
( The Waste Land, T.S.Elliot)

/1/
         
Bisa dikatakan bahwa kumpulan sajak Ahda Imran yang terbaru bertajuk Rusa Berbulu Merah adalah sajak-sajak yang sadar diri, puisi-puisi yang tertegun merenungkan dirinya . Bagian pertama dan bagian terakhir dari kumpulan ini adalah sajak tentang sajak, bagaimana sajak dibuat, bagaimana perannya dalam menemukan diri dan melampauinya, menemukan universum yang lain dan merekonsiliasinya, membersihkan dan menciptakan bahasa dan defleksi-defleksinya, kutukan-kutukannya. Kata-kata seperti bergulung pada dirinya, dan seraya demikian juga menyucikan dan membeningkan dirinya. Maka dengan begitu  kumpulan sajak Ahda ini ibarat sirkuit, suatu putaran melingkar yang awalnya adalah juga akhirnya. Di tengah-tengahnya si aku lirik menjelma desisan ular, rusa berbulu merah, burung-burung, kaki angin dan malam dan kelok jalan, orang lain dan makhluk lain. Dan pada akhirnya—menyitir kalimat Octavio Paz—“citra tentang manusia menjadi terlahirkan dalam manusia.” Si aku lirik menjelma citra yang merekonsiliasi—dan mentranformasi—segala anasir yang bersitentang, puisi yang menciptakan dirinya, dan berbicara kepada dirinya, dengan dan melalui dirinya.
            Ruh kumpulan sajak ini agaknya terkondensasi dalam bagian akhir Empat Pelajaran Menulis Puisi. Kredo puisi yang ditulis dengan puisi, sekaligus membabarkan stasi-stasi yang ditempuh penyair dalam menulis puisi. Saya mendapati bahwa stasi-stasi ini ham
pir paralel dengan Jalan yang ditempuh seorang mistikus, atau alur pencarian yang disusuri oleh seorang pecinta. Hanya saja bila kerinduan terdalam seorang mistikus adalah unifikasi dengan Tuhannya, hasrat si pecinta adalah menyatu dengan kekasihnya, sementara  yang dicari seorang penyair adalah dirinya yang lain, makhluk halus dibalik kata-kata, liyan yang merupakan bagian dari manifestasi keutuhannya, kembarannya:

Pelajaran Pertama Menulis Puisi

Yang kau perlukan adalah menyeru mahluk halus
yang berdiam di balik kata-kata. Tapi kau hanya
akan mendapati kata-kata jika ia tahu kau mencarinya

Serulah dia tanpa ia mendengar suaramu

            Revelasi puisi, seperti halnya revelasi mistik dan asmara, dimulai ketika seseorang melompat keluar dari dirinya, menemukan realitas yang lebih tinggi dimana kita berubah dan terubah menjadi diri-diri yang lain dan bersamaan dengan itu menemukan sumber mata air yang asali. Namun ada yang enigmatik dalam kalimat terakhir sajak itu: Serulah dia tanpa ia mendengar suaramu. Pertemuan dengan makhluk halus itu, dengan liyan itu, bisa dicapai hanya dengan tindakan pasif yang aktif: Menyeru dalam keadaan hening, mencari dalam sonya-ruri. Paradoks semacam ini acapkali dijumpai dalam sajak-sajak Ahda Imran, dua tarikan yang saling berlawanan, legiun yang karib dengan yang garib, dua dinamika gerak puitik yang merupakan perkawinan elemen-elemen yang oposisional: antara menulis dan melupakan, antara mendatangi dan meninggalkan:

Pelajaran Kedua Menulis Puisi

Tulis puisi dan lupakan
serupa mendatangi dan meninggalkan
pada keduanya dunia tak tampak, kecuali   
serupa kelok bayang separuh batang lidi

yang kau julurkan ke dalam perigi
 
            Jika neuron-neuron eksistensi yang mengitari dan membentuk manusia sudah terkonsiliasi, jika musik-musik yang saling bersitentang sudah terorkestrasi, maka stasi berikutnya adalah momen mikraz, naik menapaki dan melampaui jenjang kata menuju realitas yang tak berkejadian dan tak berkarena. Di sinilah terjadi iluminasi puitik yang menyeramkan sekaligus menakjubkan, mencengangkan sekaligus menggigilkan laiknya iluminasi profetik, serupa Musa menuju Thursina:

Pelajaran Ketiga Menulis Puisi

Naik ke jenjang kata
yang tak berkejadian tak berkarena

Menggigil kakimu ke puncaknya
serupa Musa menuju Thursina

                Tetapi stasi ketiga bukanlah puncak, melainkan persiapan menuju stasi keempat: sebuah pesta, suatu perjamuan dengan Kata, hilang bentuk di dalamnya, menemukan dan meminum darahnya. Inilah momen yang ditunggu-tunggu itu, momen perayaan itu, pertemuan dengan bukan seseorang dan bukan bayang itu, yang akan membentuk ulang sekaligus menciptakan kembali, memperbaharui sekaligus memperkaya manusia.

Pelajaran Keempat Menulis Puisi
           
Kata adalah tubuhKu
yang bukan seseorang
yang bukan bayang

Hilang dalam kata
temukan darahKu

Minumlah!

/II/
            Bukan kebetulan kalau dalam sajak Ahda tentang iluminasi puitik ada alusi terhadap iluminasi profetik yang dialami Musa di bukit Thursina: alusi-alusi terhadap tokoh-tokoh arketip-arketip maupun peristiwa-peristiwa mitologis sangat sering kita jumpai bertimbulan dalam sajak-sajak Ahda. Mengapa demikian? Dan apa signifikansinya meresonansikan kembali mitologi di sebuah dunia yang hampir sepenuhnya dikuasai Logos atau apa yang disebut dengan logika instrumental?     
            Justru di situlah soalnya. Semenjak abad enam belas, Barat memulai revolusi besar terakhir dalam pengalaman manusia, dan selama abad sembilan belas dan dua puluh revolusi tersebut telah menyebar pula ke seluruh jagat raya. Revolusi itu adalah spirit saintifik dan pragmatik, dimana efisiensi adalah panglima. Gagasan baru atau suatu penemuan baru harus diuji dengan bukti rasional dan dikonfrontasikan dengan dunia eksternal. Logos harus berkorespondensi dengan fakta-fakta, dia harus praktis: suatu mode berpikir yang kita gunakan ketika kita ingin sesuatu bekerja dengan efektif. Logos, seperti ditunjukan Amstrong dalam studinya yang bernas The Great Western Transformation: Terus-menerus melihat ke depan untuk mendapatkan kontrol yang lebih besar terhadap lingkungan kita atau untuk menemukan sesuatu yang segar. Pahlawan baru bagi masyarakat Logos adalah para ilmuwan dan penemu, yang menjelajahi wilayah-wilayah yang belum terpetakan demi kemajuan masyarakat yang lebih pragmatis dan rasional. Fondasi-fondasi bagi masyarakat Logos itu sudah ditegakkan di antaranya oleh Francis Bacon dan Isaac Newton.
            Francis Bacon dalam In the Advancement of Learning (1605) mendeklarasikan bahwa sains harus independen dari hambatan-hambatan mitologis, dan dengan begitu sebuah era baru yang jaya menyingsing. Hanya sains yang bakal mengakhiri dukacarita manusia dan menyelamatkan dunia. Segala bentuk mitologi harus dibuang sebab kontradiktif dengan fakta-fakta. Hanya Logos yang bisa mengakses kebenaran. Etos ini beroleh kepenuhannya dalam pemikiran Isaac Newton (1642-1727): Dia mensintesakan penemuan-penemuan para pendahulunya dengan metode eksperimen dan deduksi. Dia percaya bahwa dia telah menemukan sistem kosmik yang selaras dengan fakta-fakta, dan seraya demikian juga membuktikan eksistensi Tuhan, sang “Mesin Akbar” yang membawa kepelikan mesin jagat raya ke dalam kanvas kenyataan. Tuhannya Newton sama sekali steril dari mistik dan mitologi: Ia sepenuhnya tunduk pada hukum-hukum logis. Kebenaran telah dipiuhkan menjadi apa yang bisa didemonstrasikan.
            Tetapi abad dua puluh sudah menyiratkan bahaya dan kegagalan-kegagalan besar dari waham-waham yang dievokasi oleh Logos: Tenggelamnya kapal Titanik pada 1912 menunjukkan rapuhnya teknologi, Perang Dunia Pertama menyingkapkan bahwa sains bisa juga diaplikasikan untuk menciptakan senjata yang mematikan, peristiwa Auschwitz, Gulag, pembantaian di Bosnia, pemboman Hirosima dan Nagasaki, sampai penyerangan World Trade Center adalah ilustrasi dari kegagalan akbar Logos dalam membebaskan manusia. Itulah epifani gelap: Ketika kita gagal mengenali penderitaan diri sendiri kita akan mudah mengabaikan begitu saja penderitaan orang lain.
            Tak mengherankan kalau para pemikir kemanusiaan dan terutama para seniman dan sastrawan mengingatkan akan pentingnya menghadirkan kembali mitologi, bahkan andaikata mitologi itu hanya ditenun dari puing-puing. Sebab manusia yang menganggap bahwa dia bisa hidup tanpa mitos, atau hidup di luar mitos, kata Carl Jung, bagaikan seorang yang tanpa akar, tak punya pertautan baik dengan masa lampau, atau dengan kehidupan nenek moyang yang terus berlanjut dalam dirinya, atau bahkan dengan masyarakat manusia kontemporer. Permainan rasional semata tak akan merangkum hal-hal asali dari dirinya.
Dengan menghadirkan kembali mitos, manusia bisa menghadapi prospek kehancuran dan kehampaan yang menghampar luas di hadapannya. Tanpa bantuan mitos, yang ada hanya keputusasaan, ketersesatan dalam dunia yang gersang dan kerontang, seperti seorang yang ngungun dan ditinggal sendirian di hadapan ngarai dan jurang eksistensi, telanjang dan tanpa harap. Mitos menyelamatkan manusia dari bahaya kepunahan. Lewat mitos manusia terangkat melampaui—dan menerobos—penjara hidup sehari-hari yang memboyakan, menggapai visi masa depan dan merealisasikannya.
            Mitos juga menjadi penting lantaran ia, seturut Rollo May dalam The Cry for Myth (1991): menyatukan antinomi-antinomi dalam kehidupan, yang sadar dan tak sadar, yang dulu dan yang kini, yang individual dan yang sosial. Ini dibentuk ke dalam narasi yang diturunkan dari masa ke masa. Sementara bahasa empiris merujuk pada fakta-fakta objektif, maka mitos merujuk pada intisari pengalaman manusia, makna dan kebermaknaan dari kehidupan umat manusia. Seluruh manusia berbicara pada kita, bukan hanya pada otak kita.  Dengan perkataan lain, cakrawala mitos mendedahkan kebenaran eternal di hadapan gurun pasir bahasa empirik.
            Seluruh manusia berbicara pada kita: Indera-indera kita, naluri-naluri kita, hasrat-hasrat terdalam kita, depresi dan kekecewaan kita, kebuasan dan kelembutan kita, kengerian dan cinta kita. Dengan demikian, bisa kita kenali dalam layar mitologi itu, lantas ditranfigurasinya, ditrandensikannya, dibawanya ke dalam terang cahaya dan iluminasi. Sayap-sayap mitos tidak menyentuh secara parsial makna keberadaan kita melainkan secara penuh seluruh. Dalam terang dan cakrawala inilah muncul apa yang disebut dengan istilah mythopoeia atau mythopoesis, yakni, genre naratif dalam literature modern dan film (dan dalam beberapa hal juga lukisan) dimana jagat mitologi fiksional diciptakan oleh para seniman. Mythopoeia berasal dari bahasa Yunani yang artinya penciptaan mitos. Dalam penggunaan awalnya istilah ini merujuk pada penciptaan mitos dalam masyarakat purba. Istilah ini lantas diadopsi oleh salah satu puisi Tolkien dan kemudian istilah mythopoeia pun menjadi tera bagi genre dan ikhtiar-ikhtiar artistik yang berusaha menggemakan kembali mitologi dalam masyarakat yang hampir seluruh kakinya tersaput dalam banjir bandang pragmatisme. Kilasan-kilasan mythopoesis itu bisa kita jejaki misalnya dalam film Platoon yang disutrdarai Oliver Stone, lukisan Guernica Pablo Picaso dan puisi besar TS.Elliot The Waste Land.
            Film Platoon mengejawantahkan pengalaman yang mengerikan dan nyaris mustahil. Adegan demi adegan dibombardir dengan kegaduhan yang menulikan, belantara rimba yang tak putus-putusnya, ular, semburan darah, tubuh yang mati dan dimutilasi, segala yang profane dan kejam yang masih bisa dibayangkan dan dihadirkan dalam imajinasi visual. Tokohnya, Chris Taylor baru saja keluar dari kampus dan menjadi sukarelawan dalam tugas militer di Vietnam. Di sana dia mengalami pelbagai kejadian yang menyeramkan, horor, keputusasaan. Film ini tak semata menyerakkan simbol-simbol dan adegan-adegan tragis: Ia adalah kisah yang berbicara pada kesadaran—dan bawah sadar kita, seraya menghadirkan apa yang disebut Jung dengan “bayang-bayang.” Perjalanan mitos dihadirkan dengan mengudar esensi narasi yang mengguncangkan jiwa, seperti ketika seorang tokohnya yang mengalami momen epifani, berbisik: “Kita tak berperang dengan musuh kita melainkan dengan diri kita sendiri.” Di ujung cerita Taylor memang selamat, namun ketika dia dipulangkan, dari atas heli, dia menatap ke bawah dan menangis, untuk tumpukan mayat-mayat yang dilihatnya, yang tak ada bedanya antara mayat-mayat temannya maupun musuhnya. Tiba-tiba, dalam tatapan sekilas, dia mengalami perasaan menyatu dengan seluruh duka manusia.
            Lukisan Guernica karya Pablo Picasso mengudar penyaliban sekuler dan modern yang sangat mengguncang bagi masyarakat kontemporer. Sebuah antidote terhadap kekejaman dari salah satu aspek modernitas. Guernica juga merupakan tangisan massal yang terus-menerus mengingatkan tragedi yang diakibatkan oleh perang. Picasso memamerkan lukisan tersebut hanya beberapa bulan setelah terjadi pemboman yang dilakukan oleh pesawat-pesawat Italia dan Jerman pada puncak Perang Sipil Spanyol di bawah komando Jendral Franco. Pemboman itu membunuh 1654 dari 7000 penduduk Guernica.
            Dalam Guernica, warna hitam putih dan kelabu menggelayutkan suasana muram, duka, dan khaotik. Ia memercikkan agoni dan perasaan sepenanggungan, juga membantun mitos. Lihat: Manusia dan binatang, semuanya tak berbeda ketika menjadi korban, dengan kepala terpenggal, terbaring bersama dalam timbunan dan tumpukan yang berbaur: Tengkorak manusia bertumpang tindih dengan tubuh kuda, kepala banteng, tembok hitam yang rubuh. Seorang ibu meraih tubuh anaknya yang hancur, dan menjerit tanpa suara. Di belakangnya seekor banteng mengawasi. Sebuah figur wanita lain terhuyung-huyung, menatap kosong dan ngeri ke arah lampu bohlam yang menyala seram, menyerupai mata iblis. Dalam lukisan ini Picasso merepresentasikan simbol banteng, yang punya akar dalam upacara pengorbanan purba. Tetapi bantengnya Picasso tak terlihat buas: Banteng itu, simbol brutalitas itu, adalah juga korban yang dikorbankan di sini, dalam kekerasan dan penghancuran diri peradaban modern.
            Sajak The Waste Land  karya TS.Elliot memotret kekalutan spiritual masyarakat Barat. Tanah Gersang adalah tempat dimana manusia menjalani hidup yang tak otentik, kompromis dan membebek pada apa pun yang dicekokkan masyarakat mereka, tanpa tapisan pemahaman yang mendalam. Puisi ini meruyakkan keterputusan, fragmentasi , dan alusi dan perbauran dari pelbagai budaya dan peradaban. Ia juga menggebyarkan perubahan yang cepat dan terus-menerus yang disebabkan Abad Mesin. Walhasil, terjadi keterpenggalan dengan kontinuitas dan ketanakaran kehidupan. Apa yang bisa dijadikan pegangan di sebuah dunia yang terfragmentasi dan terputus-putus? Tidak ada, yang diketahui manusia modern hanyalah setumpukan citra yang hancur, terik matahari yang sengangar, pohon mati yang tak memberi perlindungan, serangga yang tak memberi kelegaan, dan batu gersang sonder suara air.
            Ada kehausan akan air keimanan dan penyembuhan, kemudian petir relijius pun menyambar di tengah-tengah kegersangan sajak. Tetapi petir itu hampa dan steril tanpa mengandung hujan: Tak ada kebangkitan dan pembaharuan, maka nada sajak itu pun kembali mendengungkan hilangnya rasa akan keutuhan yang tak bisa diperbaiki, porak-porandanya segala bentuk dan citra:

Di sini tak ada air hanya batu
Batu dan tak ada air dan jalan berpasir
Jalan membelit di atas di antara pegunungan
Pegunungan batu tanpa air
             
            Salah satu yang mencengangkan dari puisi The Waste Land adalah kayanya alusi dan perujukan pada mitologi dari tradisi dan budaya lain: Eropa, Sangsekerta, Buddhis, Yunani, Romawi—bayang-bayang mitologi itu terselip di antara alenasi, nihilism, kehampaan, kekosongan, egoism, keputusasaan yang merebak di tanah gersang. Dalam dunia yang terfragmentasi, mitologi pun menjadi terfragmentasi, bercampur baur, saling melimpahi, ikut bertumpuk menjadi citra-citra yang hancur. Namun demikian dengan sayatan-sayatan kearifan dari masa lalu ini, dengan potongan-potongan mitologi dari pelbagai tradisi ini: di situlah harapan kita satu-satunya, dan bersamanya kita bisa menanggungkan kembali tanah gersang kita, kehampaan kita, di hadapan destruksi total: “Fragmen-fragmen yang telah kuhimpun menyelamatkan kehancuranku.”
            Menyisipkan kembali mitologi, meresonansikan lagi suara-suara purba dan energi-energi primordial  itulah yang dengan kuat menyeruak dalam sajak-sajak Ahda dalam kumpulan ini. Sajak-sajak mythopoeis yang mendenyarkan kelampauan dalam kekinian, keangkeran dalam kecerahan, keutuhan dalam keterputusan. Suatu meditasi di tengah puing-puing. Dia menampilkan kembali binatang-binatang mitis seperti ular dan rusa dan kalajengking, figur-figur adimanusia seperti Adam atau Isa atau Buddha atau membantun tokoh-tokoh dari legenda seperti Hermes, dan sebagainya dan seterusnya. Maka membaca sajak-sajaknya kita penaka menerobos lapisan-lapisan waktu, bolak-balik antara alam kenyataan dan alam kasunyatan. Sajak-sajak mythopoesis Ahda—meminjam ungkapan Mario Vargas Llosa—adalah godaan yang mustahil (the temptation of the impossible). Kita berada di sini dan sekaligus di sana, di mana-mana sekaligus tak di manapun.
            Salah satu makhluk mitis yang kerap membayang dalam sajak-sajak Ahda adalah ular. Memang hampir seluruh kebudayaan kuno di dunia mengenal ular sebagai binatang yang melambangkan pelbagai manifestasi: kebajikan dan kebejatan, kelahiran dan kematian, misteri dan kekekalan, energi vital dan godaan membahayakan, bisa sekaligus penawarnya, maskulin sekaligus feminin. Ularlah yang menggoda Hawa di kebun Surga dalam tradisi Injil, melambangkan Vinata dewi India, atau menyimbolkan kaki Cernunnos dewa kesuburan Celtik. Dalam Hinduisme kundalini atau api naga beristirahat di pangkal tulang belakang. Manakala manusia telah bertumbuh matang secara emosional dan spiritual, energi kundalini tersebut bangkit, mengaktivasi cakra-cakra yang merupakan pusat energi mental dan spiritual. Di Mesir ular menjadi simbol bagi imortalitas, sekaligus juga memancarkan visi batin. Orang-orang Celtik terkadang menyebutnya Druid, sang guru dalam puisi, musik, hukum, kearifan dan penyembuhan. Ketika ular mengganti kulitnya maka metamorfasa pun terjadi: ular itu dilahirkan kembali menjadi mahkluk baru. Pelbagai ilusi dan pembatas ditanggalkan, adat dan selubung keyakinan lama yang sudah usang dilungsurkan agar transformasi menggapai stasi yang lebih tinggi bisa terealisasi.
Ular dalam sajak Ahda juga mengandung kemenduaan dan daya-daya yang ambivalen: Keindahan sekaligus kejahatan. Ular adalah juga tenaga primitif yang merupakan mata air penciptaan: Ia bergelung di lubuk kata dan ketika dibangkitkan dia akan terus membesar melampaui ruang cahaya dan bayang. Ular dalam sajak bertajuk  Lubuk Kata menyemburkan bisa bagi keledai pesolek, menggigit dan membunuh mereka yang menggunakan kata-kata hanya untuk justa, atau sekedar penghias bibir belaka. Puisi adalah racun mematikan bagi pesolek kata:

Di lubuk kata
aku ular yang memancarkan sisiknya
lebih berkilauan dari mahkota seorang pembesar
tubuhku terus memanjang. Melampaui ruang,
cahaya, dan bayang

Berlindunglah dariku
aku mimpi buruk bagi keledai pesolek
yang memuja dirinya di permukaan air

Pada batu-batu karang kemerahan
aku menaruh telurku. Menetaskannya
dengan dendam dan kesedihan. Aku telah
membunuh seekor hiu dengan gigitan
yang paling lembut  

....
Pada air menggenang dan buah pohonan
aku menaruh telurku. Kata-kata dan tubuhku
terus membesar. Melampaui ruang, cahaya, dan bayang
tak ada tempat berlindung dariku. Dari lubuk ini
aku mengutukmu menjadi keledai pesolek
yang memuja dirinya di permukaan air
lalu membunuhmu dengan gigitan
                                                 
yang  paling lembut...    

            Kemenduaan itu, daya-daya ambivalen itu teremanasi dalam sajak lain bertajuk Kalajengking. Kalajengking adalah juga makhluk mitis: dalam masyarakat Afrika Utara dan Asia Selatan kalajengking dipersepsikan sebagai manifestasi iblis dan serempak dengan itu sebagai kekuatan pelindung dari iblis. Dalam konteks lain, kalajengking membiaskan seksualitas manusia. Ia juga  racun sekaligus penawarnya. Saat terekspos gelombang cahaya ultraviolet kalajengking itu akan berkilauan dalam cahaya biru gelap, laksana saat ketika sebuah sajak tercipta:

Tak usah kau bertanya bila aku menyengat
sebab bisaku sudah berada di balik jangat

Tubuhku menyala dalam gelap
aku bisikan paling senyap

Serupa bilangan yang terbuat dari waktu 
tak bisa kau menampik ingatan padaku

Kematian adalah hukuman yang lembut
sengatku puncak senggama yang memagut 


           Puisi menjadi pengalaman purgatori, dimana kata-kata yang mati, dahan-dahan bahasa yang kering, dibabat, dibersihkan. Di sinilah pergulatan seorang penyair: Dia harus bergumul untuk menyemburkan kembali bisa kata-kata itu, mengairi lagi tanah gersang pengalaman manusia modern yang sonder misteri dan ketakjuban. Visi dunia yang steril dan gelap dan hampa, digenangi dengan visi mythopoesis dengan membangkitkan kembali energi purba bahasa yang laten dan tersembunyi. Puisi menjadi suatu perayaan dengan menghidupkan dan menggerakkan dan mentransformasi benda-benda, citra-citra, makhluk-makhluk yang lembam atau usang atau mati. Hal ini dilakukan penyair dengan mengulang ritus purba Adam sang manusia pertama: yakni memberi nama-nama kepada benda-benda itu, citra-citra sekejapan itu, pengalaman iluminasi itu. 
         Ritus pemberian nama-nama oleh penyair itu mungkin bisa diperbandingkan dengan karakteristik  proses kreatif dari visi mythopoesis purba, yakni, apa yang disebut oleh Ernst Cassirer sebagai “hipostatisasi kata,” sebuah titik balik tatkala persepsi tereduksi ke dalam titik tertentu dan kata ditransformasi ke dalam citra yang kongkrit—muncul dan menghilangnya citra dari “tuhan sekejapan.” Menurut Cassier, ekspresi ini tidaklah merujuk kepada entitas relijius-mistis melainkan alih-alih kepada visi mental yang sekejapan, “objektivikasi” dari sesuatu yang hadir seketika dalam momen pengalaman yang intens. Citra dan objek membaur, tak bisa dipisah-pisahkan lagi satu sama lain. Dalam visi mythopoesis ini “Apa pun yang telah dipatri oleh sebuah nama, maka selanjutnya ia bukan hanya real, melainkan menjadi Realitas.” Hanya dengan ritus penamaan dunia luar dan dunia dalam terjembatani, jarak dan ketegangan antara subjek dan objek terekonsiliasi:

Nyanyian Bagi  Adam

….
Di daun telingaku dunia menempel
menyerupai lintah. Hari masih dipenuhi hujan
dan kota ini terapung-apung di atas air. Kunyalakan
rokok dan kuhisap, seperti dunia menghisap tubuhku
di sebuah tikungan kubiarkan kau menyelinap ke dalam
pikiranku, merogoh ke dalam ingatan, dan bernafas
ke dalam nafasku

Sejak itu, tak bisa lagi kuingat
siapa namamu yang sebenarnya. Setiap hari
kau membawa kata-kata ke dalam tubuhku
lalu dengan kata-kata itu kutemukan
kesepian berikutnya yang lebih
menakutkan dari kematian

….

Di sebuah tikungan, diam-diam aku menemukan
siapa namamu yang sebenarnya. Lalu beranjak
dan memakai kembali sisa-sisa pakaian

yang kau tinggalkan



Ular Hitam


Ular hitam itu selalu mendesis
saat aku mengingatmu. Saat kau menyelubungi
pundakku. Menyentuh suaramu sebuah menara
tampak gemetar. Pohon-pohon menjadi putih,
angin mengelupas pada kulit kayu. Di udara
burung-burung gereja berjatuhan

Aku melihat tubuhmu
keluar dari sungai yang tak bersuara
lalu lewat sebuah ciuman kau penuhi
mulutku dengan kata-kata

Setiap hari
kau memberiku sebuah nama
lalu dengan nama itu aku mencari
siapa namamu yang sebenarnya

Aku hidup dalam cahaya tanpa ruang—
di antara bayangan, suara-suara dan kebosanan
kuhindari orang saleh yang mengikat tubuhnya
di menara-menara purba. Wajah mereka yang pucat
dengan sepasang kaki yang lumpuh. Bagiku kau lebih
dari sekadar kitab atau air suci

…..

Setiap hari ular hitam itu
mengajariku sebuah kata
lalu dengan kata itu
aku mencari manusia

Tengah hari.  Di sebuah kota yang gemetar
kita berciuman. Air liur kita menetes membasahi
leherku. Setiap malam kau mengutus ular hitam itu
menjilatinya sambil mengajariku bagaimana mengucapkan
sebuah nama dengan satu kata

yang tak pernah kau ajarkan padaku

           Tak selalu seperti itu. Ada saat ketika pengalaman purgatori itu menolak untuk dinamai, pemandangan menyihir itu terlalu menyilaukan untuk diejawantahkan, dipatrikan: Suara yang menggema di dalam air, bau kulit pepohonan, bayangan putih yang mendengung atas semenanjung. Pada momen seperti ini yang dibutuhkankan justru visi yang hening dan tumarima: Dibiarkan saja pengalaman itu, lanskap itu, tegak di kakinya sendiri. Lanskap itu, perkenankan saya menukil permenungan Susan Sontag yang sangat indah dalam The Aesthetics of Silence: “Tak meminta pemahaman dari si pelihatnya, tak menuntut waham-waham pemaknaannya, kecemasan dan simpatinya, alih-alih justru menuntut ketiadaannya sehingga dengan demikian dia tak menambah apa pun padanya.” Lanskap itu sudah penuh seluruh, negeri itu sudah berlimpahan justru tanpa pemeriksaan manusia. Dalam ketiadaan si subjek yang menamai, dalam rasa tumarima yang rendah hati,  mungkin justru jejak misteri agung itu akan atra terlihat. Menamainya, mematrikannya, membekukannya  justru merupakan suatu tindak kekerasan dan kebiadaban:

Negeri Tak Bernama

Di negeri yang tak bernama
aku menemukan jejakmu. Di luar apa
yang terbuat dari kata-kata. Pada suara
yang menggema di dalam air. Pada bau
kulit pepohonan. Pada bayangan putih
yang mendengung di atas semenanjung


Tengah hari, dalam badai pasir
yang ganas. Aku mencium bau angin
menghembus dari jazirah jauh: bau tubuhmu
tapi orang-orang  membuat kesibukan yang lain
setiap hari mereka berebut menciptakan nama-nama 
untuk menyebutmu

Setiap hari mereka mengusungnya
ke dalam tubuhku dengan suara  
yang jelek dan menakutkan

Jejakmu kutemukan sebagai nama
lalu dengan nama itu, orang-orang
menutup dan membanting pintu 

Lalu dengan nama itu
mayat-mayat terus berjatuhan
dari tiap helai rambutku

Ada banyak hari ketika kumahkotai
kesendirianku. Kutinggalkan kenanganku
tentang bahasa manusia dan seluruh kutukannya
seperti aku melupakan setiap hasrat demi menetapkan
sebuah kata untuk menamaimu

Kau adalah di luar apa
yang terbuat dari kata-kata

/III/

            Dalam epilog kumpulan buku puisi pertama Ahda Imran, Penunggang Kuda Negeri Malam (Akar, 2008), Bambang Sugiharto menyatakan bahwa seringkali Ahda terjebak dalam dilema antara frasa-frasa yang bernas temuannya dengan kerangka luas puisinya. Hal itu terjadi lantaran sementara frasa-frasa itu kuat muatan kognitifnya sedang dalam sapuan luas puisinya Ahda lebih menyukai pelukisan suasana, sehingga ia lebih berfokus pada resonansi afektif dan asosiasi atmosferik. Walhasil, dalam kata-kata Bambang:

“Bila dilihat dengan kacamata konvensional yang menuntut koherensi, puisi-puisi Ahda tampak kurang koheren, kurang terasa solid, cenderung obscure, kabur; bahkan sekalipun struktur puisi itu agak diperjelas, misalnya dengan pengulangan bait awal pada bait akhir. Sedang sebagai puisi suasana, atmosfer yang terbangun pun jadi kurang terasa utuh dan optimal. Tiap frasa sungguh bagai adegan film yang menawan, seringkali bersifat surealis mengejutkan, namun sebagai keseluruhan seperti tak saling berkaitan.”

            Bagaimanakah sajak-sajak Ahda dalam kumpulan terbarunya ini berkaitan dengan kritik Bambang di atas? Sebelum saya menakik soal ini, perkenankan saya mempertajam dan memperluas sekilasan ihwal pokok dan dilema yang dibicarakan oleh Bambang.
Bolehlah dikatakan bahwa secara sederhana ada dua spektrum yang saling bersitentang tentang puisi dan bahasa dalam jagat kepenyairan Indonesia saat ini. Spektrum pertama, menganggap bahwa sajak adalah alat komunikasi belaka, bahasa adalah penyampai pesan. Yang terpenting adalah pesan itu, bukan alatnya. Yang berpandangan demikian di antaranya Emha Ainun Najib, yang menganggap bahwa sajak dan bahasa adalah alat untuk berdakwah dan menyampaikan pesan-pesan  sosial dan ajaran profetik terhadap masyarakat. Spektrum kedua menganggap bahwa puisi dan bahasa ada untuk dirinya sendiri. Yang terpenting adalah bahwa puisi itu bisa membuat kita mengalami the pleasure of the texts, pengembaraan—dan perumitan dan pencanggihan—bahasa. Bahasa adalah suatu dunia yang tersendiri dan mandiri, terpisah dari dunia. Suasana-suasana menjadi lebih mendesak ketimbang isi, seperti misalnya kita baca pada sajak-sajak Nirwan Dewanto dalam kumpulan Jantung Lebah Ratu.
          Saya agak terkejut mendapati bahwa atmosfer yang hampir-hampir serupa ternyata terasa juga dalam panorama jagat kepenyairan di Amerika. Biarlah saya menukil pembabaran kritikus Susan Stewart secara agak terperinci:

Menulis puisi pada saat ini umumnya terperangkap antara surplus subjektivisme Romantik dan kehampaan bentuk modernis. Ganjaran dari Romantisisme yang lemah dalam lirik—sentiment dan empati—tampak remeh dan anakronis…Tetapi para penyaitr yang terus memformulasikan konvensi-konvensi modernis menderita setidaknya dua hal. Pertama, Ada ironi dalam mentradisikan proyek modernis, sebuah proyek yang melakukan pemutusan radikal dengan kontinuitas tradisi lirik. Kedua, mendekati warisan modernis terutama hanya sekedar persoalan eksperimen-eksperimen formal yang mempromosikan estetika kebaruan dan gimmick…”
           
            Puisi yang hanya dijadikan sebagai alat komunikasi akan kehilangan daya sihir kata-kata: Petualangan dan pencarian ke wilayah yang belum terpetakan, kemungkinan-kemungkinan baru yang belum dijelajahi dan dimasuki. Membayangkan bahasa hanya sebagai alat—untuk tujuan yang baik maupun buruk— bisa berakibat membayangkan dunia hanya terdiri dari sehimpunan koleksi objek yang siap dipergunakan. Adorno mengingatkan kita bahwa seni terkadang menjadi musuh bagi budaya, sebab budaya seringkali membunuh seni dengan cara memumikannya, entah atas nama selera atau tanggung jawab sosial dan politik. Maka puisi terkadang harus merobek konsensus selera itu, dan menampilkan serta membagikan ingatan kolektif yang tak tergapai dan terlupakan.
            Puisi yang mempromosikan permainan bahasa dan penuh gimik—dalam sajak Lubuk Kata penyair yang menulis puisi serupa ini ditahbiskan sebagai pesolek kata yang memuja dirinya di permukaan air—pada akhirnya akan berujung di jalan hampa: Apa yang dipertaruhkan oleh eksperimen-eksperimen bentuk itu selain sekadar memamerkan kekenesan diri dan mendemonstrasikan betapa pintarnya Si Penyair? Suasana-suasana itu, kepintaran dan kepiawaian menyusun kata-kata dan mempermainkan diksi itu tak bertujuan apa pun selain untuk memenuhi rasa benar diri dan puas diri Si Penyairnya. Bukankah puisi yang sejati tidak hanya menciptakan kemungkinan dalam bahasa tetapi juga kemungkinan dalam dunia? Ujung-ujungnya yang menjadi pokok bukan hanya apa yang bisa diucapkan oleh puisi melainkan apa yang bisa dilakukan oleh puisi.
            Dalam latar semacam ini dapatlah saya katakan: Sebahagian besar sajak-sajak Ahda Imran yang terhimpun dalam Rusa Berbulu Merah sudah keluar dari dilema yang diutarakan oleh Bambang. Solusinya bukan dengan menulis sajak pendek—bukan berarti Ahda tak lagi menulis sajak pendek—seperti disugestikan Bambang, melainkan dengan: Pancaran visi. Visi itulah—yang diantaranya diiluminasikan dengan mythopoesis—yang memproyeksikan dan membuat koherensi sajak-sajak Ahda terjaga. Sajak-sajak Ahda juga menghadirkan kesetimbangan dan suspensi antara yang emosional dan yang intelektual, yang mungkin dan yang mustahil, yang di sini dan yang di sana dan yang tidak di mana pun. Puisi-puisi Ahda bukan hanya melukiskan suasana-suasana yang tak bertujuan: Suasana-suasana itu adalah persiapan—atau bahagian—dari realisasi dan transformasi dan revelasi. Coba kita simak sajak berikut:

Sajak Tan Malaka di Jakarta, 1945

Kucurigai setiap orang melangkah
karena aku rusa berbulu merah

Kubuat sarang
tak berjejak tak berbayang

Di hari kemerdekaan
tubuh dan namaku tak berkejadian
tubuh dan nama yang berselisih jalan
           
Gelagat ke hari jauh
kubur tak bernama tak bertubuh
    
Lalu revolusi itu
meja yang penuh ludah
muslihat memilin lidah  

Kucurigai mereka yang bimbang
kubuat sarang seluas sawang   

Kucintai mereka yang berdarah
karena aku rusa berbulu merah

            Puisi di atas mengandung citraan-citraan yang kuat di satu sisi dan di sisi lain citraan-citraan itu, frasa-frasa itu, saling berkait-kelindan satu sama lain, saling menyiratkan dan menguatkan. Pelukisan suasananya tak merobohkan muatannya melainkan menegakkannya. Kontras-kontras dalam puisi ini juga terasa sangat kuat: Antara kekerasan dan kebrutalan revolusi dengan kelembutan dan welas asih salah seorang pemimpin dan penggeraknya: Tan Malaka. Tan Malaka disepadankan dengan rusa berbulu merah: Dalam khazanah mitis, rusa berbulu merah adalah perlambang kesanggupan untuk mendengarkan, memberkati dan menghargai indahnya keseimbangan. Ia juga pemahaman tentang apa yang dibutuhkan untuk bisa bertahan, kekuatan rasa syukur dan kekuatan memberi, kesanggupan untuk berkorban demi kemaslahatan yang lebih besar, serta kemampuan untuk menemukan jalan-jalan alternatif.
          Rusa berbulu merah juga suatu godaan agar manusia keluar dari selubung peradaban material dan mulai mengeksplorasi hutan ajaib yang belum terpetakan, yang membentang di dalam dan di luar diri. Puisi memang berbeda dari sejarah: Sementara sejarah berbicara dengan mengurai fakta-fakta, puisi menangkap esensinya, apinya. Tetapi dalam satu hal puisi dan sejarah punya kesamaan, terutama ketika sajak dan sejarah itu menggelar tokoh atau peristiwa yang terlupakan, yakni, sama-sama menyelamatkan ingatan:

Sajak Tan Malaka
Kepada Harry A. Poeze

Poeze, waktu itu tak bertubuh tak berkejadian
orang sekaumku telah membunuhnya. Mengubur
mayatnya di bawah bayang gardu tentara. Waktu
yang berbaju merah. Waktu yang menulis revolusi
dengan tangannya yang sakit. Revolusi

dengan tubuh yang tak utuh

Ingatan itu, Poeze, tak berkaki tak berkejadian
orang sekaumku telah menebasnya. Ingatan
yang tak mengenal lagi bau jasad tubuhnya
ingatan yang merangkak-rangkak mencari
sisa jejak kakinya

di ruang kerjamu

            Dalam sajak-sajak terbaiknya Ahda mengeksplorasi pelbagai potensi bahasa serta kutukan-kutukannya dan seraya demikian juga bergulat-gumul dengan dilema-dilema dan persoalan-persoalan yang menjadi tema dan warkah bagi zaman kita. Puisi-puisinya terlibat dalam apa yang disebut Pound sebagai “sensuous thought” : Teknik dan bentuk menghaluskan dan mengintensifkan visiun dan passion, visiun dan passion memberi ruh dan jiwa kepada teknik dan bentuk—dengan demikian puisi menjadi petualangan dan tamasya bahasa serempak juga mendenyarkan momen revelasi. Dengan demikian, bila dalam kumpulan Penunggang Kuda Negeri Malam Bambang Sugiharto mengatakan bahwa sajak-sajak Ahda tergelayuti momen dan suasana melankoli yang panjang dan gelap, maka dalam sebahagian besar sajak-sajak Ahda yang terbaru ini melankolia memang masih terasa namun tak berhenti sebagai melankolia. Undertone melankolia ini, bisa saya katakan, adalah stasi menuju momen penyingkapan atau pewahyuan—atau, seperti sudah saya kemukakan di muka: Mari kita khidmati dan tapaki puisi yang sangat indah dan mendalam  dan membawa kita ke pelbagai arah dan kemungkinan ini:

Kaki Angin

Kaki angin yang putih
berjalan pelan di daun teratai
tenang dan berwibawa. Air dan ikan-ikan
terdiam.  Langit dan pohonan menyiapkan
lagu pujian. Burung-burung gereja terbang
ke arah hilang. Sebuah lonceng dibunyikan
 

Kaki angin yang putih
berjalan pelan di pecahan kaca
tenang dan berwibawa. Bayang tubuhmu
atas air—menyelinap ke lubuk lenyap
membasuh percik darah di tubuh ikan-ikan
pohonan bergerak melepaskan ribuan burung
lonceng kembali dibunyikan. Tapi tak ada apa
dan siapapun

Lalu ada yang berjalan berselubung kain hitam
menjauhi lagu pujian. Kakinya berdarah penuh
pecahan kaca. Tangannya ditumbuhi kelopak
teratai. Diberkatinya hujan, para pemberontak
dan kuda yang menderu ke padang jauh. Pada
hari keramat—di jalan setapak—seorang anak
menemukan jejak kakimu yang putih

Di luar barisan jemaat

            Ada atmosfer yang mengerikan dalam sajak ini, semacam suasana lengang sehabis pembantaian. Ada suasana berkabung. Percik darah, pecahan kaca, perang suci. Tapi entah mengapa saya merasakan—atau mungkin lebih tepat menantikan—saat penebusan, tindakan purgatori yang diinsinuasikan dengan hadirnya sosok misterius yang berjalan berselubung kain hitam. Siapakah dia? Kita tidak tahu, mungkin Isya atau Buddha, atau siapa saja yang bisa menebus kebuasan itu, percik darah itu, kemanusiaan kita yang dibantai. Maka kengerian suasana diiringi rekahnya janji revelasi: angin itu putih, tangan itu ditumbuhi teratai. Saya jadi ingat dalam fragmen sajak The Waste Land Elliot juga menghadirkan janji iluminasi itu dengan menampilkan figur si lain:

Siapakah orang ketiga yang selalu berjalan di sampingmu?
Ketika kuhitung, hanya ada kau dan aku saja
Tapi ketika aku melihat ke depan ke arah jalan putih
Selalu kudapati si lain yang sedang berjalan di sampingmu
Terbungkus rapat dalam mantel coklat, dengan kepala berselubung
Aku tak tahu apakah dia perempuan atau lelaki
--Namun siapakah dia di sisi lain dirimu?

            Sosok misterius dalam sajak Ahda—seperti halnya si lain dalam sajak Elliot—sama-sama berselubung: Kita tidak tahu identitasnya, jenis kelaminnya, asal-muasalnya. Dia adalah si lain yang tanpa karena dan tanpa kejadian. Si lain yang tak terhitung, tak terpetakan. Tetapi—kalaupun ada—di situlah tersampir satu-satunya harapan kita, janji iluminasi kita, penebusan dan pembebasan kita dari dunia kelam kejam muram dan tanah hampa gersang.


/1V/
            Dalam seni rupa Indonesia ada suatu mazhab atau gerakan atau proyek yang terkenal dengan sebuatan Mooi Indie: kecenderungan romantik untuk melukiskan hindia dengan harmonis dan selaras, dengan pemandangan alam dan matahari tropis yang tak pernah terbenam. Ini adalah mazhab warisan kolonial yang dimulai dari Raden Saleh dan kemudian diteruskan oleh para pelukis Indonesia lainnya semacam Basuki Abdullah dan Trubus dan yang rembesan pengaruhnya membias sampai sekarang bahkan hingga ke para pelukis di sepanjang jalan Malioboro. Menurut Soejojono trinitas suci dalam Mooi Indie terdiri dari gunung, sawah dan pohon kelapa atau pohon bambu. Sejarawan Onghokham menambahkan trinitas suci lainnya yakni, laut, pantai dan cahaya bulan purnama. Dalam Mooi Indie alam itu tintrim, air itu mericik jernih dan anteng mengalir sampai jauh, jalan itu membelit damai, juga figur yang direpresentasikannya: Pak Petani atau nelayan yang ramah penuh senyum atau mojang lenjang berselendang merah dengan paras merona bak bianglala tersentuh keajaiban matahari senja.
            Hemat saya, kecenderungan Mooi Indie itu tak hanya terbeber dalam lukisan melainkan juga menyeruak dalam khazanah sajak, yakni, apa yang disebut sajak-sajak pastoral. Seperti lukisan Mooi Indie sajak-sajak pastoral juga menghamparkan alam dengan cara romantik, selaras, teduh. Sajak-sajak pastoral mengidealisasi kehidupan pedusunan dan kegembiraan rural yang dijelmakan sebagai bentangan yang polos, damai, anteng. Demikianlah sebahagian besar sajak-sajak alam yang dihasilkan para penyair Pujangga Baru. Seperti lukisan Mooi Indie, sajak-sajak pastoral pun pengaruhnya merembes sampai sekarang dan hadir—terkadang bahkan menjadi undertone yang dominan—dalam sajak-sajak para penyair kontemporer. Juga Ahda Imran, tak kalis dari godaan itu, beberapa sajaknya menunjukan kecenderungan sajak pastoral yang sangat kuat. Sajak dibawah ini di antaranya:

Maitara Tidore

Di Maitara keindahan itu 
adalah laut yang tak bersuara
gugusan pulau dan pegunungan
terapung di atas air, seperti
perempuan cantik yang pendiam

Di perairan dangkal, pada batu-batu karang
berwarna toska, ikan-ikan berenang pelan
dengan perutnya yang buncit

Hari terang. Dunia seolah baru saja diciptakan

Dari puncak gunung berapi
kau menghembus ke dalam tubuhku
kita bergulingan di permukaan air

Pagut ciuman di dasar laut

….
            Pegunungan, langit yang umpama kelambu, gugusan pulau dan batu karang warna toska, dan lantas (bagai yang sudah kita duga) sekonyong-konyong muncul figur itu: Perempuan cantik yang pendiam. Saya terkadang berpikir—dan bertanya-tanya—setiap kali bersua dengan sajak Ahda yang semacam ini, apakah Si Penyairnya sedang ingin melarikan diri dan istirah dari kehidupan kota yang sumpek dan korup dan kejam. Maka puisi pastoral semacam ini pun bisa jadi merupakan kritik terselubung terhadap kehidupan urban yang buas dan tak mengandung belas kasihan itu. Tetapi jika demikian mungkin John Kinsella benar: Yang pastoral bukan sungguh-sungguh tentang alam, kecuali sejauh mengenai lanskap, melainkan mediasi alam lewat campur tangan dan kontrol manusia.
           Sajak-sajak pastoral itu adalah produk dari para penduduk kota yang melihat sampai jauh ke ke belakang dengan cara romantik dan nostaligik, terhadap kehidupan tintrim anteng yang tak pernah menjadi bagian dari dirinya, dunia yang tak pernah dia tinggali atau kalaupun pernah menjadi bagian darinya dan ditinggalinya, kini sudah jauh—jauh sekali— ditinggalkannya (baik secara fisik maupun dan terutama secara psikis dan mental). Dengan kata lain, sajak-sajak pastoral itu mungkin suatu modus alienasi dan—dalam beberapa hal—menunjukkan jiwa eksil. Inilah yang terbersit dalam benak saya ketika membaca sajak Ahda yang ngelangut ini—dan indah, sebenarnya:

Jalan Tan Malaka, Payakumbuh

Lurus jalan menuju Suliki
di ujungnya persimpangan—
Koto Tangah dan Koto Tingi
keduanya menuju ke dalam lembah
pegunungan, rimba raya, deretan
pohon pinus, ladang-ladang kopi
dan tembakau

Liuk jalan
dan pendakian

Ini jalan orang dulu..

….

Bila pulang?


            Ada aspek lain yang menurut saya esensial dalam sajak-sajak pastoral, yakni nyanyian atau madah. Ini saya kira penting lantaran nyanyian—dalam sajak, merupakan salah satu cara yang bisa menjembatani perpecahan dan pemisahan yang tajam dan runcing antara budaya agrikulutral dan budaya industri. Sajak-sajak pastoral juga di sisi lain menunjukan etos konservasi. Setautan dengan ini, saya ingin menjelajahi kemungkinan lain, kemungkinan sebagaimana diwedarkan oleh sajak William Carlos William ini:

Pastoral

Ketika aku muda
sangat jelas bagiku
bahwa aku harus mencipta hidupku sendiri
aku beranjak tua kini
kujejaki jalan-jalan lama
menakjubi rumah-rumah
yang sangat buruk:
atap yang pinggir-pinggirnya tak beraturan
pekarangan yang dipenuhi
dengan kandang ayam tua, tumpukan abu
perabotan yang rusak
pagar-pagar dan kakus-kakus
jejeran papan tong
dan serpihan-serpihan kotak, semuanya,
jika aku beruntung
menggebyarkan warna hijau yang kebiru-biruan
yang aus digerus cuaca
menghiburku dengan pendaran warna-warnanya

            Tak seorang pun
akan memercayai
segala barang impor untuk bangsa ini.

            Meskipun judulnya Pastoral namun dalam sajak ini tak ada gunung ataupun lembah, langit cantik atau danau jernih, melainkan kandang ayam tua, kakus-kakus, jejeran papan tong dan atap yang karut-marut, kehijauan yang digerus waktu. Namun kita pun tak menangkap nada kutukan atau nada marah dalam sajak ini: Si aku lirik menyerap lingkungan sekitarnya yang tak indah lagi dengan cara yang realistis sembari pada saat yang sama mencari kemungkinan dan nyanyian penghiburan darinya. Sampai di sini saya ingin mengatakan bahwa sajak ini menginsinuasi kemungkinan baru yang bisa dirambah oleh para penyair, yakni, apa yang disebut penyair dan kritikus sastra Afro-Amerika mutakhir Reginald Shepherd dalam kumpulan esai yang bernas Orpheus in the Bronx (2007) sebagai urban pastoral.
         Diproyeksikan ke dalam sajak, urban pastoral adalah suatu pandangan alternatif dari memperlakukan kota dan kehidupan urban di satu sisi ekstrim sebagai lubang neraka dan iblis semata-mata dan di sisi ekstrim lain sebagai hamparan utopia yang membebaskan. Sajak-sajak urban pastoral mengeksplorasi kegemerlapan dan kejalanagan dan misteri kota yang di dalamnya lanskap kota adalah karakter yang aktif, suatu kehadiran yang membentuk dan mengkondisikan sajak-sajak dan sebaliknya pula terjadi: Dikondisikan dan dibentuk olehnya. Jadi dalam urban pastoral material bahasa dan material dari lingkungan urban secara serempak dan bersama-sama membentuk puisi: Ada korespondensi antara kata, metafora, dan kalimat dengan bangunan dan tembok dan lanskap kehidupan urban yang terserak di dalamnya.
         Dalam lanskap urban itulah sang flaneur dari proem Baudelaire berkeliaran mencari sensasi-sensasi baru, bersipapas dengan orang-orang asing di jalan seraya menjadikan jalan dan pedestrian—yang bukan milik dan rumah bagi siapa pun—sebagai rumahnya yang baru. Ahda Imran membentangkan kemungkinan urban pastoral itu misalnya dalam sajak Suatu Hari, di Sebuah Kota:

Angin itu datang dari tenggara—
dari sebuah tempat yang tak pernah kutuliskan dalam puisi
udara basi dan orang-orang berjalan membawa tubuhnya
di atas jalan layang. Saling memandang, menggerutu,
dan saling melupakan

Kota ini adalah bagian dunia  yang tak berguna
seperti ukiran di atas kayu peti mati yang mulai diturunkan
di kelokan dekat gedung parlemen aku teringat seseorang
yang harus kutemui
Tapi aku tidak ingin menemuinya
karena satu hal yang tak perlu
kukatakan di sini 

Di angkasa badai yang ganas
tengah membangun sebuah kerajaan
Aku berjalan dengan kaki timpang
dengan ulat dalam selaput otakku. Ulat yang ditaruh
oleh seseorang yang setiap malam sibuk mengasah pisau
sambil menjilati darah yang menetes dari jemari tangan anakku
Telingaku berdenging
seperti suara ambulan
yang dulu mengantar ibu
ke kuburan
Angin itu meronta-ronta di rambut
dan di kain bajuku. Uh! Terlalu banyak sejarah
dan hasrat-hasrat mustahil yang mesti kutanggung
Setiap hari orang-orang datang  padaku
menceritakan kisah hidupnya sambil mengajariku
bagaimana membersihkan noda darah di kemeja
Siapakah kawan-kawanku?
hanya mereka yang lidahnya bersisik

Seharusnya aku berada di sebuah tempat
yang menyenangkan…

            Tak disebutkan dengan tegas kota manakah ini sebetulnya, tapi sensasi-sensasinya, kegaduhan dan keresahannya, kegersangan dan kejalangannya, kemustahilan dan kemungkinan yang digebyarkannya bisa kita alami di kota besar manapun juga. Sajak ini dibentuk oleh gedung parlemen dan kuburan, jalan layang dan suara denging ambulan, udara basi dan kelimun orang-orang asing yang saling memandang, menggerutu dan saling melupakan. Dan coba lihat: Dalam kerumunan dan kebisingan itu sang flaneur terus saja berjalan, berjalan, berjalan, meski dengan kaki timpang dan ulat di otaknya. Dia memang bilang bahwa dia seharusnya berada di sebuah tempat lain yang lebih menyenangkan, tapi tokh dia tak pergi ke sana; Jangankan pergi, bahkan  dalam puisi pun dia tak pernah menuliskannya. Mengapa demikian? Mungkin lantaran bagi sang flaneur lanskap urban itu adalah—untuk menyitir frase dari Llosa lagi—the temptation of the impossible: Maka sembari berjalan dengan timpang sang flaneur itu pun menemukan ‘banyak sejarah dan hasrat-hasrat mustahil yang mesti kutanggung.’
         Dalam ‘banyak sejarah dan hasrat-hasrat mustahil’ itulah—jangan-jangan— terkandung penghiburan dan pembebasan baginya. Godaan yang mustahil kota justru terletak di situ: Dalam ambiguitasnya, dalam wajah ambivalennya. Kehidupan urban serempak memanifestasikan sejarah eksploitasi sekaligus suatu arena dari kemungkinan-kemungkinan baru yang tak terduga, penghancuran tradisi sekaligus kemungkinan penjelmaan arah dan manifestasi lain dari pelbagai tradisi lama ataupun baru.
            Adakalanya sajak urban pastoral tak menghadirkan sosok sang flaneur sebagai figur utama dalam sajak tetapi justru manampilkan sosok kota itu sendiri. Kota hadir apa adanya, dalam kegemerlapan dan horor yang digebyarkannya, dalam kecamuk fisik dan psikis yang ditanggungkannya. Maka tekstur kota dan tekstur puisi saling memantulkan dan saling merasuki dan saling mendengungkan satu sama lain. Sang subjek raib, dan menjelma struktur kota itu sendiri; berjuktaposisi antara fisiognominya, arsitekturnya, mitologinya, metereologinya, topografinya, konturnya, pelbagai sejarah dan hasrat-hasrat mustahilnya. Yang mengentara kemudian bukan rekoleksi emosi-emosi atau muatan pesan atau tinjauan atas suatu perasaan atau kejadian melainkan suatu bentangan lanskap psiko-geografi sebuah kota, seperti kemungkinan yang disibak oleh sajak Ahda tentang kota Bandung ini, yang saya kutip utuh agar kita bisa merasakan teksturnya, konturnya, kontruksinya, psiko-geografi dan hasrat-hasrat mustahilnya:

Brosur Wisata Belanja Kota Bandung

Kota ini berasal dari lumpur dasar danau yang menempel di sepatu seorang
Gubernur Jenderal.
                                    
Lalu tuan-tuan perkebunan  membuat kota ini dari sisa-sisa kecantikan seorang germo yang didatangkan dari Paris. Kota tempat tuan-tuan perkebunan pelesir. Belanja dan bergaya. Mereka membawa juga banyak sekolah. Sekolah yang mengajak anak-anak Inlander melihat barisan orang menyerbu penjara Bastile.

Kota ini berangin seperti perempuan yang berbisik di balik daun telingamu.

Mari belanja. Orang-orang membawa tubuhnya ke toko baju. Menumpuk tubuhnya dalam troly. Taruh saja tubuhmu di situ. Seorang walikota akan mendorongnya. Ia memakai sepatu Gubernur Jenderal. Mengajakmu mengelilingi seluruh toko baju di kota ini.  Toko baju yang membuat kota ini menjadi ruang rias dalam gedung sandiwara. Gedung sandiwara dengan panggung yang tak punya ingatan.

Lihat. Penunjuk arah di kota ini. Semua menuju toko baju, mall, apartemen yang semua namanya terapung-apung dalam bahasa Inggris. Di depan kasir kau menerima senyum puas para gadis muda yang manis. Senyum untuk kartu kredit dan tubuhmu yang terlipat dalam kantung toko baju.   

Kota ini kuah batagor yang menetes dari ruang sauna dan panti pijat.

Mari makan. Udara kota ini membuatmu selalu merasa lapar. Bawa tubuhmu ke mana saja. Kota ini akan memasak apa saja untuk tubuhmu. Kota ini  meja makan besar. Meja makan yang dipenuhi bunga-bunga plastik, steak dan kuah batagor yang menetes dari ruang sauna dan panti pijat. Kau bisa makan sambil mendengarkan suara angklung atau karinding underground.  Atau suara lemah anak-anak mengamen yang benyanyi hanya dengan menepuk-nepuk tangannya. Memakai kaos Persib.


/V/

            Sebuah buku kumpulan sajak, ketika ia tertutup—seperti halnya buku-buku lainnya—secara harfiah, secara geometris adalah semata-mata sebuah benda, di antara benda-benda lainnya. Tatkala seorang pembaca membukanya maka barulah sajak-sajak itu menghamparkan diri, menghadirkan ruh-ruh yang mempesona atau musik lira yang asyik atau lanskap dan citra yang mungkin dan yang mustahil, keindahan bahasa dan kutukan-kutukannya. Dengan kata lain terjadilah momen estetik. Tetapi sajak-sajak itu—sajak-sajak sejati seperti sajak-sajak terbaik Ahda maksud saya—memendarkan dan mendenyarkan makna yang  tak tepermanai, yang hanya bisa diperbandingkan dengan berkilauannya warna-warni bulu-bulu ekor burung merak. Dengan demikian esai ini hanya suatu kemungkinan saja dalam membaca sajak-sajak itu, di antara kemungkinan-kemungkinan lain yang nyaris tak berhingga.

                                                                                                                                
                                                                                                            Yogyakarta, Maret 2014





TIA SETIADI

Menulis sajak dan esai-esai budaya, sastra dan filsafat di sejumlah media,  Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Jurnas, Suara Merdeka, Suara Karya, Pikiran Rakyat, lampung Post, Horison, MataBaca, Jurnal Cipta, Jurnal Diskursus, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal puisi Rumah Lebah, Ruang Puisi, Jurnal Sastra Digital, Jurnal Sajak, Jurnal Poetika, Jurnal Kritik. Sedang kumpulan Puisinya “Tangan Yang Lain” (Interlude, 2013) merupakan Pemenang Hadiah Sastra MASTERA (Majelis Sastera Asia Tenggara) Award 2013. Setelah sebelumnya karya kritik dan esainya memenangi sejumlah lomba; Pemenang Harapan Lomba Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2007;  Pemenang Terbaik Lomba Esai Majalah Horison 2008;  Pemenang Kedua Lomba Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2009;  Pemenang Terbaik Lomba Kritik Seni Dirjen Kesenian RI, 2011;  Pemenang Utama Sayembara Esai Pena Kencana Awards, 2012. Selain menulis puisi, esai, dan kritik, Tia Setiadi pula dikenal dengan sejumlah karya terjemahaannya;  Van Gogh: Sebuah Biografi (Interlude, Yogyakarta 2007);   Edgar Allan Poe: Sebuah Biografi dan Sepilihan Karya (Interlude, Yogyakarta 2007);  Ciuman Hujan: Seratus Soneta Cinta Pablo Neruda (Madah, Yogyakarta 2009); Surat-surat Kepada Penyair Muda, karya Rainer Maria Rilke (MK art Publishing, Yogyakarta 2012); Bagaimana Dunia Bekerja, karya Noam Chomsky (Bentang, Yogyakarta 2014); Kehidupan yang Berharga, karya Alice Munro (Bentang, Yogyakarta 2014).  Sedangkan Bahasa Gairah: Esai-Esai Mario Vargas Llosa  merupakan karya terjemahan Tia yang akan diterbitkan oleh penerbit Komodo. Tia pernah mengajar serial lecture tentang Realisme Magis di Pascasarjana S2 Sastra UGM  (Januari-Juni 2013) dan Balai Soejatmoko Solo.  Kini ia sedang menyiapkan kumpulan puisi versi bahasa inggris bertajuk The Other Hand serta satu buku  kumpulan esai tunggal berisi telaah penulis Indonesia dan dunia  “Kala dan Arus Bersilangan.” **




Tidak ada komentar:

Posting Komentar