Kamis, 15 Maret 2012

Menyelamatkan Bedaya Kajongan


GERAK  mereka pelan, suara gending seolah sayup. Mereka melangkah dengan sepasang tangan yang sesekali terangkat ke samping dengan jemari membentuk pola mirip ukel, luwes dan tegas. Gerak mereka terasa monoton dan berat dalam suasana yang kontemplatif. Demikian pula suara gending.  Keduanya membuat lingkaran dalam jarak yang saling berseberangan. Sebagai penari tubuh mereka, Ratu Anah Sukaningrat (63) dan Raden Nurmini (66),  sudah tidak muda lagi. Tarian itu bagi mereka seakan menjadi ziarah pada masa silam, ketika keduanya masih muda sebagai penari keraton. Sesekali tampak gerakan mereka seperti tertahan, meraba ingatan tubuh mereka.


Tapi, semua tidaklah mengurangi kekhusyukkan keduanya dalam membawakan tari klasik yang melukiskan ruang bathin putri-putri keraton yang mesti menjaga martabat mereka sebagai perempuan. Sebagai putri keraton mereka berada di garis batas antara hasrat, hawa nafsu, dan norma-norma. Tak hanya norma sebagai putri keraton, tapi lebih lagi norma mereka sebagai perempuan. Sebagaimana lazimnya tari bedaya, tarian ini menyimpan pesan-pesan filosofis.      

Tak lama suara gending mempercepat temponya. Kedua penari muda sejak awal duduk perlahan bangkit, menyerahkan gada kecil pada Ratu Anah dan Raden Nurmini. Keduanya lalu berhadapan. Gerakan mereka lebih dinamis dalam adegan pertempuran. Gending keras dan cepat, suara gada beradu yang merepresentasikan pertempuran hawa nafsu. Gending kembali ke komposisi semula, sayup dan lamat. Ratu Anah dan Raden Rukmini menyerahkan kembali gada itu.

Begitulah Bedaya Kajongan, tari klasik Keraton Kanoman Cirebon. Tari bedaya ini diciptakan pada semasa Keraton Kanoman diperintah oleh Sultan Kanoman VIII, Sultan Raja Dzoelkarnaen (1873-1934). Pada masanya, Bedhaya Kajongan merupakan tarian persembahan bagi tamu-tamu agung yang dibawakan oleh puteri-puteri keluarga keraton. Bertempat di Bangsal Djinem Keraton Kanoman, Sabtu malam (10/9), di hadapan Sultan Kanoman XII Sultan Raja Moch. Emirudin dan tamu undangan, tari Bedaya Kajongan kembali dipentaskan.

Seperti tajuknya, “Pergelaran Revitalisasi Tari Bedaya Kajongan”, acara ini merupakan momentum kembalinya Bedaya Kajongan sejak terakhir ia ditampilkan tahun 1948. Sejak itu seiring dengan kian pudarnya aura kekuasaan keraton, tarian ini tak pernah lagi dipentaskan sehingga tarian ini mendekati kepunahan. Sejumlah penari yang merupakan puteri, kerabat, dan keluarga besar keraton sudah berusia lanjut, dan sebagian lagi berada di luar lingkungan, bekerja dan berkeluarga.

Seperti banyak lagi seni tradisi keraton yang lain, kepunahan Bedaya Kajongan seolah hanya tinggal menunggu hari.  Maka, sebelum itu terjadi sejak tahun 2009 keluarga keraton Kanoman, bekerjasama dengan Kementrian kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar), melakukan berbagai ihtiar demi menyelamatkan tarian yang umumnya dibawakan oleh dua putri keraton ini.
                                                                      **
SEBAGAIMANA banyak terjadi di berbagai tempat, tak terkecuali tari-tari klasik yang hidup di masyarakat istana, revitalisasi Bedaya Kajongan bukanlah soal yang mudah. Selain kelangkaan dokumentasi yang menjadi masalah laten, proses revitalisasi juga menemukan berbagai persoalan pelik karena hanya mengandalkan sejumlah ingatan narasumber yang sudah sepuh. Jumlah mereka yang tinggal sedikit, terutama yang masih tinggal di lingkungan keraton, para sepuh ini pun sulit untuk kembali melacak memori mereka puluhan tahun silam ihwal pola gerak Bedaya Kajongan.

Bahkan, beberapa tim revitalisasi termasuk Ratu Raja Arimbi Nurtina yang merupakan adik Sultan Raja Moch. Emirudin, mengaku belum menemukan arti dari kata “Kajongan.” Tapi, dalam pandangan staf pengajar Jurusan Tari STSI Bandung F.X. Widaryanto terdapat celah untuk melacak data historis Bedaya Kajongan. Paling tidak, pelacakan itu menyediakan semacam kemungkinan dari dua periode yang sama antara Sultan Raja Dzoelkarnaen (1873-1934) dan Sunan Pakubuwono X (1866-1939).   

“ Bukan tidak mungkin ketika itu ada kontak dan kunjungan yang terjadi.  Dan pada masa itu juga terdapat intensitas yang tinggi dalam dunia karawitan yang tinggi, di mana salah satu gending untuk mengiringi masuknya Sunan ke dalam istananya adalah Undur-Undur Kajongan,” ujarnya.

Tapi, meski begitu sepelik apapun, upaya revitalisasi harus segera dilakukan sebelum masa depan tarian ini benar-benar seperti bernasib apa yang dicemaskan. Pertunjukan di Bangsal Djinem malam itu bisa disebut sebagai peristiwa yang menarik sekaligus penting dalam konteks membaca serta melacak kembali apa yang pernah ada di belakang. Lewat tubuh  Ratu Anah Sukaningrat dan Raden Nurmini,  meski terbata-bata,  sebuah masa yang berada jauh di belakang kembali dimaknai.

Dalam konteks sebuah proses revitalisasi, pagelaran tersebut tampaknya lebih ingin dimaknai melulu sebagai sebuah peristiwa pertunjukan ketimbang kelewat nyinyir atau terlalu pagi mempersoalkan kualitas sajian. Sebagai peristiwa pertunjukan, pagelaran tersebut mencoba menegaskan kembali pemaknaan tari bedaya yang merupakan salah satu bentuk tranformasi nilai di kalangan masyarakat keraton,  dan hubungannya yang erat dengan raja.

Mengutip penelitian Pujasworo, dalam bukunya Sosiogi Tari (2005) Prof. Dr. Y Sumandiyo ada menyebutkan bahwa bagi seorang raja kehadiran tari bedaya tak lepas dari fungsinya sebagai regalia, yakni, fungsi sakti sebagai pusaka kerajaan yang tuahnya akan senantiasa memberi keteguhan terhadap kekuasaan, kekuatan, dan kesejahteraan kawulanya dan kerajaannya. 

Sebagaimana Bedaya Kajongan yang dimainkan dua orang penari, dikatakan pula simbol komposisi dua penari selalu dihubungkan dengan kehadiran simbol Rwa-Binedha, yaitu, dua sifat yang kontradiktif, serba dua tapi pada hakikatnya satu. Masih dalam konsep Rwa-Binedha dan hubungannya dengan raja, tari bedaya dimaknai sebagai yoni dan raja sebagai lingga.
                                                                **
BAGI Keraton Kanoman Cirebon, revitalisasi Bedaya Kajongan merupakan revitalisasi kedua setelah sebelumnya dilakukan pula revitalisasi pada Tari Bedaya Rimbe yang nyaris bernasib sama. Revitalisasi dilakukan sejak tahun 1999 sebelum tari bedaya ini kemudian dipentaskan kembali tahun 2004 dalam ritual penobatan (jumenengan) Sultan Raja Moch. Emirudin sebagai Sultan Kanoman Ke XII. 

Revitalisasi tentu adalah sebuah kerja besar, terlebih lagi dalam pelembagaan tari masyarakat istana seperti Keraton Kanoman. Karena daya hidup seni tradisi amat bergantung pada masyarakat pendukungnya, maka upaya revitalisasi niscaya akan sangat ditentukan oleh tingkat apresiasi masyarakatnya, dan itu akan berkorelasi dengan banyak ihwal. Demikian pula dengan revitalisasi tari tradisi yang ada di keraton. Nasib revitalisasi ini tidaklah ditentukan oleh kekuatan pelembagaannya, tapi bagaimana itu bertaut erat dengan posisi keraton di tengah masyarakatnya.

Maka, beberapa pandangan kritis bahwa revitalisasi Bedaya Kajongan mestilah dilakukan secara holistik, sistematis, sistemik, dan menyeluruh tentu ada benarnya. Hanya saja, tampaknya itu  masih terlalu pagi untuk ditujukan pada sebuah kerja besar yang baru saja dimulai, apalagi jika hendak diniatkan sebagai sebuah kritik. Sebuah kerja besar seperti revitalisasi Tari Bedaya Kajongan yang dikorelasikan dengan revitalisasi secara holistik, niscaya memerlukan kesabaran, termasuk kesabaran dalam mengkritisinya.

Dan malam itu, di Bangsal Djinem, beralas karpet hijau yang ditaburi bunga putih dengan lampu sorot yang lembut dan remang, gamelan mengantar dua penari Bedaya Kajongan,  Ratu Anah Sukaningrat  dan Raden Nurmini. Tubuh keduanya membawa jejak-jejak masa lalu yang mesti diselamatkan. (Ahda Imran) 

Ratu Raja Arimbi Nurtina

“Jangan Sampai Ada Revitalisasi Lagi”

KELANGKAAN dokumentasi dan narasumber menjadi persolan pelik dalam revitalisasi Tari Bedaya Kajongan yang telah berlangsung sejak tahun 2009. Semua akhirnya hanya mengandalkan ingatan sejumlah mantan penari keraton yang sudah sepuh, dengan ingatan mereka yang samar-samar. Awalnya mereka pun tak ingat sama sekali bagaimana pola gerak tarian itu, tapi setelah diperdengarkan gamelannya pelan-pelan ingatan mereka satu persatu bermunculan. Kenyataan ini tentu menjadi pelajaran keras khususnya bagi keluarga besar Keraton Kanoman tentang perlunya pendokumentasian.

“Saya berharap sekali ke depan nanti tidak ada lagi revitalisasi, jangan sampai terulang,” ujar Ratu Raja Arimbi Nurtina, dalam perbincangan kami seusai pagelaran. Berikut petikan wawancara bersama perempuan kelahiran tahun 1976, adik Sultan Kanoman Ke XII Sultan Raja Moch. Emirudin ini.

Jadi sejak tahun 1948 Tari Bedaya Kajongan ini tidak ditampilkan lagi?    

Ya,  sekitar tahun 1948 terakhir dipelajari tapi belum sepmpat ditampilkan. Tarian ini sudah lama sekali tenggelam sehingga para penari yang pernah menampilkannya sudah banyak yang meninggal. Tapi karena keperdulian Sultan Raja Emirudin yang menanyakan keberadaan kesenian-kesenian yang ada di keraton, kami membuat sebuah tim untuk mengembalikan kesenian yang ada di keraton. Tapi memang tidak mudah karena memang sudah lama sekali. Dulu, tarian ini merupakan tari sakral dalam penyambutan tamu agung.  

Apa sebabnya sehingga tidak ditampilkan lagi?

Sebabnya tak lepas dari pengaruh perubahan ketika kesultanan bergabung dengan NKRI.  Jika sebelumnya keraton merupakan pusat pemerintahan, setelah kemerdekaan hanya sebatas sebagai penjaga budaya. Kami tidak lagi memiliki poweship yang sama dengan masa lampau. Hal yang paling terasa adalah mulai munculnya kenyataan sehari-hari, para sepuh sudah berkeluarga, yang muda sekolah dan bekerja di tempat jauh.

Selain Tari Bedaya Kajongan, apa lagi seni keraton yang terancam punah?

Sangat banyak aset keraton yang terpendam, terutama tari tradsional, seperti Tari Golekan, Perang Keris, Klitikan, dan banyak lagi. Kami harus menggali ke sejumlah keluarga besar Keraton Kanoman yang sudah berada jauh, hijrah ke luar keraton. Kami sangat membutuhkan informasi tentang mereka, keberadaan mereka, dan jenis-jenis tari keraton yang mereka kuasai.

Apakah tidak ada sumber-sumber tertulis?      

Ya, semestinya begitu, tapi banyak data-data tertulis itu hancur oleh penyerangan tentara Belanda di masa penjajahan dan perang. Ada juga yang mereka angkut.
Apa tidak ada niat untuk bekerjasama dengan dunia akademis, seperti sekolah tinggi seni?
Mungkin ke depan kami bisa kerjasama dengan dunia akademik.  Tapi sementara ini kami hanya bisa melakukan revitalisasi dengan sebatas informasi yang kami miliki. Kami juga bekerja dikejar waktu takut nanti tarian ini terlupakan lagi, sedang di sisi lain banyak sekali data-data yang belum masuk. Kami sangat berharap menemukan  informasi yang kami butuhkan tentang tari Bedaya Kajongan ini. Dengan kata lain, revitalisasi ini masih terus berproses. 

Lalu apa yang Anda bayangkan setelah revitalisasi?

Setelah revitalisasi ini kami berharap tidak hanya sampai di sini. Tapi ada regenarsi dan tidak akan ada lagi revitalisasi. Termasuk upaya meningkatkan apresiasi masyarakat melalui publikalikasi. Tak adanya publikasi membuat masyarakat tidak merasa penting. Demikian pula  dengan upaya merancang program-program yang diharap bisa mengakrabkan seni tradisi keraton dengan masyarakat.

Mengingat tarian ini dalam sejarahnya hanya ditampilkan dalam upacara penyambutan tamu agung, artinya program mengakrabkan tarian ini pada masyarakat tidak lagi seperti dulu?

Ya, ke depan tarian ini akan ditampilkan tidak lagi seperti pada masa-masa dahulu.

Demi menyelamatkan tarian ini, bisakah, misalnya, Bedaya Kajoran ini dimainkan oleh mereka yang bukan puteri keraton?

Kami harus menunggu ijin dulu dari Sultan Raja Moch. Emirudin. Tapi bagaimanapun para puteri kami harus lebih dulu bisa menampilkannya. Minimal ada keterwakilan generasi penarinya. Kami harus memaksimalkan diri sebaik-baiknya. Lagi pula, bagaimana orang di luar keraton akan tertarik mempelajari Tari Bedaya Kajongan ini jika orang dalam keraton sebagai pemiliknya tidak berminat mempelajari dan menguasainya?

Lalu selama ini bagaimana minat puteri keluarga keraton mempelajari Bedaya Kajongan?

Menggembirakan. Ada juga puteri keluargo keraton yang berminat. Kami berlatih seminggu sekali setiap hari Rabu sore.  (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah Pikiran Rakyat, 10 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar