SUATU
hari yang biasa-biasa saja, saya mengantar seorang teman ke kantor Polsek di
kawasan Bandung Utara. Dia terpaksa harus mengurus surat keterangan
kehilangan kartu asuransi. Kartu itu sebenarnya tidak hilang, tapi ia
tinggalkan di Jepang bersama sejumlah berkas lainnya yang ia pikir tidak lagi
penting. Dan ketika ia hendak mengurus suatu hal yang ada hubungannya dengan
asuransi, kartu itu harus ada. Dan jika hilang, harus ada keterangan kehilangan
dari kepolisian.
Tentu saja mustahil meminta surat keterangan kehilangan itu
pada kepolisian Tokyo di Jepang sana. Maka mulailah kami mengarang sebuah
cerita, bahwa kartu asuransi itu hilang tiga hari yang lalu. Mungkin dalam
perjalanan dari rumah ke kantor, dalam angkot.
Di kantor polsek kami langsung menuju ruang
pelayanan masyarakat. Di situ sudah ada beberapa orang yang tampaknya juga
sedang mengurus surat itu dan ini. Kami duduk di sebuah sofa empuk yang
disediakan. Tak jauh dari meja kecil tempat seorang petugas menerima dan
melayani kami satu persatu. Ia bekerja dengan sebuah komputer.
Di ruang itu ada sebuah pesawat televisi, ukuran 21
inci. Nemplok di sudut ruangan. Tapi yang membuat saya kaget adalah tayangan
dalam pesawat televisi itu. Sekilas saya memerhatikan adegan yang ditayangkan,
sejumlah lelaki sedang santai di sebuah ruangan beralaskan karpet biru. Saya
kaget ternyata itu adalah tayangan CCTV dari kamar tahanan. Tentu saja saya
gembira karena seumur hidup baru kali ini saya melihat aktivitas orang yang
sedang berada dalam tahanan.
Mendadak saja jadi saya merinding. Mungkin CCTV itu
berfungsi sebagai pengawasan. Tapi, dengan menayangkannya di ruang pelayanan
masyarakat mau tak mau mereka sedang dijadikan tontonan. Sebatas pengetahuan
saya, apapun yang telah disangkakan pada seseorang sehingga ia dianggap layak
ditahan, belumlah niscaya ia seorang penjahat sampai ia diadili dan divonis.
Saya tidak tahu apa alasan tayangan CCTV itu
dipertontonkan di ruangan semacam ini. Saya tidak tahu, apakah penayangan CCTV
itu sebuah kejahatan atau bukan. Yang jelas, para tahanan itu, sekali lagi,
sedang dipermalukan. Bagaimana jika ternyata di pengadilan nanti salah seorang
di antara mereka ternyata divonis bebas dan tak bersalah?
Tapi apapun, sambil menunggu, akhirnya kami asyik
menonton mereka. Lalu terdengarlah Adzan Zuhur. Para tahanan tampak menghentikan
kegiatan mereka. Seseorang menyapu karpet biru itu. Yang lain bergerak
menghilang ke suatu ruangan. Mungkin sudah waktunya makan siang. Tapi ternyata
tidak. Mereka shalat Dzuhur, berjamaah!
Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepala saya. Apakah para penjahat itu tahu bahwa mereka
sedang disorot oleh CCTV, lalu mereka shalat untuk memberi kesan bahwa mereka
bukan penjahat, seperti para koruptor Indonesia yang doyan pakai jilbab dan
baju takwa di pengadilan? Lalu apa yang saya pikirkan beranak-pinak hingga
ihwal betapa rumitnya hubungan Tuhan dan manusia itu, fungsi ritual agama dan
perilaku sosial, sampai betapa Tuhan kerap hanya jadi pelarian ketika manusia
dilanda ketakutan dan merasa tertekan.
Sebelum pikiran saya terus berbiak, saya seolah
ditegur oleh semacam kesimpulan bahwa ibadah seseorang itu adalah urusan
pribadi dia dengan Tuhan. Apapun niat dan musababnya para penjahat itu shalat,
bukanlah urusan saya. Tapi satu hal, di negeri ini kejahatan dan ritual ibadah
itu adalah soal yang berbeda. Seperti orang pergi umroh dan naik haji dengan
uang hasil korupsi. Semuanya bukan perkara hitam-putih.
Kami meninggalkan kantor polsek ketika CCTV itu
masih menayangkan para tahanan yang sedang shalat Dzuhur. Surat keterangan kehilangan dari kepolisian itu
beres. Tentu tak mungkin teman saya itu menceritakan bahwa kartu asuransi itu
sebenarnya tidaklah hilang. Kami tidak tahu, apakah dengan cerita karangan itu
kami termasuk penjahat atau bukan.
Yang jelas, kami langsung menuju ke arah
masjid. Ada rumah makan Padang di sebelahnya. Sudah waktunya makan siang.**
mungkin kalau di dunia media, dibuatnya firewall antara divisi marketing dan berita..biar tdk saling mengganggu. di satu tubuh tapi melakukan dua hal yg berbeda dan bisa bertolak belakang... meureun eta oge :)
BalasHapusenteng membacanya, meskipun berat masakan Anda :)
BalasHapusterima kasih atas hidangan ini.