MARILAH kita mulai dengan seorang kawan.
Meski baru saja dua bulan yang lalu ia dan anak istrinya pulang kampung untuk
menghadiri perkawinan seorang kerabat sekaligus mengantar liburan sekolah anaknya, tapi sudah sejak tiga hari yang lalu seorang teman saya kembali
bersiap untuk kembali mudik.
Meski akhirnya
tiket kereta ekonomi itu sudah di tangan, persoalan ternyata belum selesai.
Bagaimana dengan oleh-oleh untuk ibu, bulik,
paklik, emang, uwak, bibi, atau anak kemenakan, dan kerabat lainnya di
kampung? Lalu terbayanglah barang bawaan yang angkaribung, dan jangan lupa, suasana 15 jam perjalanan yang
menyebalkan itu.
Tapi seperti
tahun-tahun sebelumnya, semua keadaan itu dilakoni dengan sikap seakan-akan
memang sudah demikian mestinya, tanpa perlu melihatnya sebagai beban. Saya
merasa kagum dan cemburu dengan kesabaran teman saya itu.