PANDANGAN yang banyak mencemaskan
perkembangan bahasa Sunda yang terus mengalami penurunan jumlah penuturnya,
seperti yang selalu muncul dalam peringatan bahasa ibu, mau tak mau menyaran
pada semacam pesimisme. Setiap menyambut Hari Bahasa Ibu, pesimisme itu selalu
muncul dari data statistik. Bahkan sering kali dilengkapi dengan
prediksi-prediksi yang kian menebalkan pesimisme itu. Dan ujung dari pesimisme
itu kemudian menekan pada pengertian bahwa di tengah realitas global sekarang,
bahasa Sunda kian terancam. Dengan kata lain, kecemasan dan pesimisme itu
mengarah pada bayangan serbuan realitas global yang telah menyebabkan bahasa
Sunda menjadi korban.
Pesimisme ini juga sebenarnya menjadi pertanyaan ketika kita berada di Bandung
sekalipun. Sangatlah tidak sulit menemukan orang berbicara bahasa Sunda, baik
dalam angkot maupun di tempat-tempat umum lainnya, termasuk anak-anak sekolah.
Jangan sebut lagi jika kita berada di Ciamis, Garut, Tasikmalaya, atau sejumlah
kota lainnya yang akan menjadi janggal jika orang menggunakan bahasa Indonesia.
Dalam pandangan aktivis budaya Gustaff Hariman Iskandar, kecemasan itu
membayangkan identifikasi diri sebagai pihak yang tak berdaya. Sebuah keadaan
yang secara tak langsung membuat orang lantas menyalahkan keadaan atas sejumlah
pihak. Ia bahkan melihat hasil survei semacam itu yang selalu muncul setiap
tahun, jadi terlalu paranoid.
”Saya masih ingat ketika kita diskusi akhir tahun di ’PR’ yang
menyinggung-nyinggung kebiasaan kita menciptakan mental victim (korban). Saya
takut ini malah menjadi doa. Kecemasan itu akan terjadi dan tak memberi peluang
pada kita untuk bersikap optimistis,” ujar aktivis yang akrab dengan berbagai
komunitas kreatif di Bandung ini.