Kamis, 22 November 2012



Pasar Sejarah Nusantara 
(Menanggapi Binhad Nurrohmat)

Oleh Ahda Imran

ESAI Binhad Nurrohmat (BN) Menerawang Kotak Hitam Nusantara (Kompas, 11 November 2012) menyasar hubungan karya sejarah di Nusantara dan karya sastra. Hubungan yang diletakkannya sebagai persekutuan imajinasi dan nalar manakala keduanya melakukan penerawangan atas fakta dan data sejarah. Meminjam latar penyelenggaraan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2012 perihal ruang kosong sejarah Nusantara yang bisa dihampiri oleh para sastrawan, BN seolah mewaspadai  bahwa ruang kosong itu berpotensi dimasuki oleh karya para pseudonovelis yang mewartakan sejarah gadungan. Para pseudonovelis yang mendasarkan karyanya pada data-fakta yang didapat serampangan, atau melulu fantasi-imajinasi serta menistakan logika sejarah. Di ujung kewaspadaannya itu BN seolah membuat semacam seruan bahwa diperlukan moral untuk menarasi dan mewartakan sejarah melalui novel.

Tak ada yang baru sebenarnya dari esai itu. Tapi kewaspadaan dan seruan moral BN itu tetap menarik untuk diperhatikan, lebih lagi bila ditautkan pada perbincangan di forum BWCF. Forum yang mempertemukan pemikiran para novelis berlatar sejarah yang karya dan nama mereka sudah demikian popular—sebutlah, Aan Merdeka Permana, Hermawan Aksan, Tasaro GK, Langit Krisna Hariadi. Kewaspadaan dan seruan moral BN karena itu, terkesan  diarahkan pada pertemuan pemikiran para novelis yang menekan pada  ihwal hubungan sastra dan sejarah, atau yang memperkarakan kedudukan imajinasi serta penjelajahan estetik di hadapan logika atau data-fakta sejarah.