Senin, 14 November 2011

DARSO, ”Aing Mah Lain Nanaon”


"DARI Polsek Cidadap belok saja ke kanan. Tanyakan pada tukang ojek. Malam ini saya ada di rumah jam sepuluh," begitu kami membuat janji untuk bertemu Darso. Dan malam itu Sabtu (6/8) berangkatlah saya ke arah Jalan Setiabudi Bandung dan menemukan sebuahjalan tak jauh dari Polsek Cidadap. Tukang ojek mengatakan jauhnya kira-kira 2 kilo meter dengan jalan menanjak. Saya jadi ngeri membayangkan bersepeda motor menempuh jalan seperti itu, belum lagi gerimis. SMS saya yang menanyakan apakah ia sudah ada di rumah atau belum pun tidak juga dijawabnya.

Siang keesokan harinya saya kembali kirim SMS. Meski ia kembali tidak menjawab, saya berangkat mencari rumahnya, berharap ia ada di rumah. Benar saja, jalan menuju rumahnya di Kampung Cirateun Peuntas Kab. Bandung itu benar-benar membuat saya takut. Jalan desa yang naik-turun berkelok-kelok dengan tanjakan dan turunan yang curam, dengan kondisi jalan yang buruk. Sampai di rumahnya, ia tidak ada.

Di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Bandung,
saya mengajak pelukis Suherman mengantar saya malam itu kembali ke Kampung Cireteun Peuntas dengan jip kepunyaannya. Dengan pelukis Isa Perkasa dan Agus Bebeng kami siap berangkat. Saya kirim SMS untuk memastikan bahwa ia ada di rumah, tapi lagi-lagi takdibalas. Karena ragu, malam itu kami urung berangkat.Esoknya, saya kembali telefon janji untuk kembali bertemu. Malam harinya kami berangkat menuju Kampung Cirateun Peuntas. Tentu saja dengan memakai jip jalanyang curam itu bukan lagi persoalan.

Tapi sampai di rumahnya dia masih di Bandung. Kami dipersilakan menunggu. Sebuah rumah mungil di tepi jalan yang menanjak. Ruang tamu penuh foto. Beberapa foto dirinya dengan wajah dan penampilan yang lebih mirip pemain musik rock ketimbang penyanyi calung! Tak lama ia datang, muncul dengan memakai jas. Rambutnya panjang model Michael Jackson. Kata Suherman, sekilas dia kayak penyair Godi Suwarna!

Lalu dengan nada kesal ia mengatakan sebal menunggu saya ketika kami berjanji tempo hari. Ketika saya katakan saya ragu datang karena SMS saya tidak dijawabnya, dengan lugunya dia bilang ,"Aing mah teu bisa SMS!"

Itulah Darso. Bahasanya garihal (Sunda kasar), namun akrab. Meski kami baru bertemu, tapi seakan-akan tak ada jarak. Penyanyi calung yang lagu-lagunya begitu akrab di kalangan rakyat jelata ini lalu berbusa-busa memaparkan banyak persoalan. Termasuk kekesalannya pada pemerintah yang menurutnya tidak pernah memperhatikan apa yang sudah dilakukannya selama ini dalam melestarikan calung.

Dalam jagat seni musik Sunda yang serba halus dan santun, nama Calung Darso memang terkesan termajinalkan. Entahlah, ini mungkin karena calung sendiri memang lebih terkesan berbau musik rakyat jelata. Tambahan kemudian Darso menyatukannya dengan dangdut.

Awal kemunculannya di tahun 1990-an dulu dengan album "Cucu Deui" atau “Sarboah" memang mendatangkan banyak kritik dan cemoohan dari sebagian kalangan seniman karawitan. Sampai-sampai penampilannya di televisi memakai jas menjadi omongan. Dia bahkan dianggap merusak tata tertib seni karawitan. Tapi Darso jalan terus, dan toh, masyarakat pun ternyata menyukainya.

"Tong kana patokan-patokanlah ayeuna mah! langsung-langsung we! (Tak usah pake
patokan-patokanlah sekarang, langsung-langsung saja!)," katanya.

Dia mungkin memang sejenis orang yang tak suka basa-basi dan aturan. Tapi, karena itulah banyak juga orang yang menganggapnya telah memberi andil besar dalam mengangkat calung ke tataran pop Sunda. Bahkan menurut Nano S., Darso adalah orang pertama dalam lingkungan tradisi yang berhasil masuk ke pop Sunda dan memberi warna. 

Gaya dan suaranyanya sangat khas, gaya urang lembur. "Dia punya bakat alam yang besar. Ibaratnya dia itu manuk leuweng. "Dia punya andil yang besar dalam memasyarakatkan calung, 80% grup calung yang muncul di banyak daerah menginduk pada gaya Darso. Dia dianggap superstar! " kata Nano S.

Tapi Darso sendiri selalu mengatakan, aing mah lain naon-naon (saya bukan apa-apa). Tentang popularitasnya sendiri katanya itu semua berkat Mang Uko kakaknya sebagai pencipta lagu.

 "Sebenarnya saya mah bukan pemain calung, tapi penyanyi calung!"katanya dengan suara serak, kayak penyanyi Gito Rollies.

 Berikut percakapan kami dalam bahasa Sunda yang kemudian "disaritilawahkan" ke dalam bahasa Indonesia.
  
Bagaimana sih dulu permulaannya Anda terjun ke dalam dunia percalungan?

Permulaannya kira-kira tahun 1962. Saya main band dulu. Penyanyi-penyanyi seperti Tety Kadi, Lilis Suryani itu dulu kalau nyanyi di Saparua sama band saya diiringinya. Nama bandnya Nada Karya. Band saya itu bersaing dengan Band Nada Kencana. Waktu pokoknya tahun 1962 saya main band sampai jaman Gestok (Gerakan 1 Oktober tahun 1965) tea. Lalu sejak itu merintis calung ke daerah-daerah sampai masuk acara di RRI Bandung zaman S. Hidayat. Lalu juga dengan Baskara, acara "Baskara Saba Desa" ke daerah-daerah. Da dulu mah tidak ada tape recorder teh. Cuma Radio. Jadi kalau kami maen di RRI, ya, cuma RRI saja yang menayangkannya. Siaran langsung.

Waktu saya masih main band di Gedung Wanita di Jalan Riau, ngewa sayah kana calung teh atuh! (Saya benci sama calung). Begitu Gestok, saya kan ikut band di kavaleri, banyak nyantainya. Waktu sedang ada di daerah, iseng-iseng kami main calung. Jadi! Dan langsung ikut acara di RRI. Dulunya iseng, tapi sekarang mah jadi duit!

Sebelumnya Akang pernah belajar calung?

Da calung mah teu belajar! Yang membuat lagu mah Kakak saya, Uko Hendarso. Da saya mah sebenarnya bukan pemain calung, tapi nyanyi calung! Jadi yang merintis dan membawa saya ke musik calung itu Mang Uko. Lagu-lagu yang menonjol juga ciptaan dia.

Lalu dikemas jadi musik pop yah?

Iya! Tapi calungnya tidak hilang. Yang penting suara calung itu ada. Model sekarang, bikin album, calung itu tetap ada, cuma memang tidak di depan, hanya mengiring.

Jadi mulai terjun ke pop itu tahun berapa?

Ya, tahun 1990-an. Kalau dulu, yah, ke calung wee!

Katanya dulu sempat ramai diperdebatkan, yah?

Ya, itu! Banyak perdebatannya. Saya maen di TVRI pake jas sajah diomong-omong! Kalau saya pake iket dan kampret, itu mah ciptaan zaman dulu atuh! Kenapa sekarang kita tidak bisa menciptakan juga? Bukan merusak, tapi mengaksesorisnya! Pernah malah dulu saya maen degung pake kendang dangdut, itu mah bukan merusak! Tapi menciptakan yang baru!

Jadi tradisi mah harus berubah terus, atuh?

Bukan berubah. Yang penting yang aslinya jangan hilang! Kita harus lihat situasi massa, juga telinga orang zaman sekarang. Beukien henteu calung hungkul? Orang zaman dulu memang mengenang dan lebih suka calung yang aslinya. Tapi bagimana dengan pemudanya, mereka juga kan butuh joged? Tetep calungnya mah bersatu! Naon ngarana teh, aborsi?!

Kolaborasi!

Yah, itu! Kita kudu lihat situasi. Apalagi buat rekaman. Rekaman mah kan untuk dijual, nya? Kalau untuk didengarkan memang yang ngenah mah yang baheula. Tapi kan sekarang model kacang! Paling banter juga tiga bulan!

Kalau begitu nanti bisa berubah lagi, atuh?

Bisa berubah, bergantung pada selera orang. Tapi sampai sekarang juga masih banyak orang ingin calung yang asli, tanpa musik lain-lain. Memang enak untuk didengar, tapi kan bukan enak untuk ditonton. Maenya mun maen teh aing kudu ngajentul wae! Tidak mungkin kan?

Tapi sambutan pada akang luar biasa, yah?

Saya mah blak-blakan. Bukan muji diri sendiri! Memang luar biasa. Kenapa? Karena saya mah ingin menyenangkan orang. Misalnya, preman di jalanan itu, saya dekati mereka, ajak ngobrol. Mereka itu senang. Atau tukang roda, saya ikut naek. Dia itu senang. Saya sih enak saja, saya mah bukan naon-naon! Da aing mah, eh, saya,berpikir daripada bergaul ke atas mending ke bawah. Saya mah kalau maen saayana, seadanya. Saya tidak bisa kayak orang, kalau mau manggung masuk ke kamar dan tidak keluar-keluar! Pernah waktu main di Brimob saya make dikawal sagala. Embung saya mah! Bebas saja salam-salaman!

Enak yah jadi orang terkenal?

Ah, saya tidak merasa jadi orang terkenal. Sebab, kalau kita dekati mereka itu senang. Kalau saya main di kampung-kampung saya tidak pernah datang ke rumah gedong. Ke rumah butut dan ngajak mereka makan bersama. Dengan cara begitu mereka bangga dan senang. Itu yang penting. Karena itu saya sekarang, umur sudah 60 tahun, masih banyak yang nanggap. Mungkin ini doa dari mereka.

Jangan salah! Jadi kalau kita naek dan jadi populer, itu jangan merasa itu hasil sendirian, kayak penyanyi-penyanyi sekarang! Ada dukungan! Saya sendiri sekarang ada anggota calung yang sudah meninggal, dia itu masih punya jatah. Bukan muji sendiri, karena itu, sampai sekarang saya masih tetap disenangi. Karena pergaulan itulah, menyenangkan orang lain, jangan sirik, membagi rezeki, dan jangan memakan keringat orang lain.

Karena itu menurut saya, yang sudah terkenal-terkenal itu cobalah banyak syukuran. Jangan merasa kita terkenal karena hasil sendirian. Semuanya bukan juga kepunyaan kita. Kalau kita sudah merasa memiliki, kita pasti merasa sayang kan?! Makanya saya mah kalau nyimpan mobil tidak pernah dikunci. Biarin saja, semuanya punya Gusti Allah, beres! Sekarang kalau kita terlalu berhati-hati karena takut ada yang mencuri , sudah mah kita dibuat gelisah, dicurinya juga ternyata tidak! Benar kan? Mending-mending kalau memang betul dicuri! (tertawa).

Ada pendapat di berbagai daerah di Jabar, 80% grup-grup calung meniru gaya Akang?

Ya, yang kudu bangga mah yaitu Mang Uko. Saya mah tidak bangga. Buat mereka memang hanya tahunya saya, padahal yang semuanya itu berkat kakak saya. Model dulu ada pasanggiri calung, saya diminta jadi juri. Saya tidak bisa! Da saya mah ngan saukur nyanyi!

Dalam sebulan berapa kali Akang dapat tanggapan?

Ya, rata-rata antara 6 atau 10. Banyaknya ke luar kota, Banjar, atau ke Pakidulan, ke Selatan.

Karena pembajakan kaset, kayaknya daripada hasil royalti mendingan hasil manggung?

Mending manggung dari rekaman mah! Rekaman cuma buat
promosi.

Anggota calung Akang dari mana?
                                             
Dari Ujungberung, dan banyak lagi, kira-kira 15 oranglah. Tapi sekarang saya lebih banyak maen dengan anak, dengan Si Asep. Kalau ada acara saya ambil grup dia, tapi nama saya tetap ada. Banyak grup-grup calung minta jadi anak asuhan saya, silakan saja, yang penting jangan disalahgunakan.

(Dua orang putranya, Asep dan Ujang Darso, mengikuti jejaknya sebagai seniman calung. Tapi Darso mengatakan mereka harus punya gaya sendiri, sebab seorang peniru sampai kapan pun tetap saja nomor dua, tidak akan pernah bisa jadi nomor satu).

Banyak juga yah anak asuh Akang? Bagaimana potensi mereka?
                                             
Kalau penyanyi dangdut potensi mereka lumayanlah. Tapi keinginan saya, main dulu yang bagus karena kita dibayar sama yang hajatan, jangan yang dipentingkan cuma sawerannya. Saweran itu kan minta, apalagi kita ini biduan! Terus merogoh-rogoh ke saku, paling gede cuma sarebu, nanaonan! Yang penting permainan dulu yang bagus. Nah, banyaknya sekarang yang kayak gitu!

                                                                                        **

SEJAK kiprahnya di akhir tahun 1960-an, telah ratusan album kaset dirilis Darso. Dan saat ini ia tengah siap meluncurkan album terbarunya "Tanjung Baru". Atas dedikasinya memasyarakatkan seni calung inilah menjadi tak berlebihan jika Sekolah Tinggi Musik Bandung menganugerahinya Jabar Music Award 2005. Ironisnya, inilah bentuk penghargaan satu-satunya yang pernah diterima Darso. Sekali lagi, seakan-akan ini membuktikan bagaimana dalam jagat kesenian Sunda, Darso dengan musik dan lagunya yang banyak disuka oleh rakyat jelata itu selalu dianggap nu liyan, yang dimarjinalkan.

"Pemerintah kan selalu ngomong, lestarikan, lestarikan!" Tapi mana modalnya? Kalau misalnya saya mengajukan proposal untuk pembinaan seni calung di daerah-daerah, anggaran itu kan ada. Tapi, kalau diberi itu jangan jauh teuing atuh! Yang saya minta, misalnya, Rp 300 juta tapi dikasihnya cuma Rp 5 juta! Membina naon ku duit Rp 5 juta! Seperangkat calung saja sudah Rp 3 juta setengah, belum melatih, padahal itu untuk daerah yang terpencil. Saya melatih tidak minta bayaran pada mereka. Kasihan kan? Misalnya, saya sedang melatih mereka malah cing harewos, bisik-bisik di belakang, udunan buat membayar saya. Kan saya teu ngenah!," katanya dengan nada tinggi.

Jadi selama ini apa yang sudah Akang lakukan dengan seni calung tidak ada perhatian dari pemerintah, begitu?

Tidak. Tidak ada perhatian. Lihat saja waktu peringatan Konferensi Asia-Afrika, banyak grup
kesenian tampil tapi kan didominasi oleh orang tertentu saja. Cing atuh bagikeun projek teh!

Jadi ada kenyataan yang enggak sehat yah?

Bisa disebut begitu. Memang teu sarehat, gimana mau disebut sehat! Seniman-seniman lain begitu gampang dapat bantuan. Terus terang saja saya ingin buat patung Mang Koko, dan ngamodalan calung di SD-SD. Anggaran kan ada, yah? Tapi kunaon tiap aing ngenta eweuh wae!

Jadi Akang merasa diperlakukan tidak adil gitu?

Adil mah adil, tapi adil buat mereka saja. Tapi buat saya mah enggak enak!

Ngomong-ngomong ada juga yang menyebut Akang Michael Jackson-nya Sunda, yah?

Ya, mungkin karena model rambut saya yah? Tapi saya tidak bangga. Yang saya bangga, seusia begini saya masih bisa ditanggap. Saya mah blak-blakan, yang tidak mampu jangan bayar, asal bener. Namanya juga mungkin orang tua, sayang sama anak, ingin nanggap calung saya tapi enggak mampu bayar, sok silakan tanggap. Doa mereka itu dua beribu kali lipat!

Jadi Akang enggak masang tarif?

Tergantung orangnya.

Tapi Akang bisa hidup dari musik?

Bisa, dan sekali lagi ini karena doa mereka yang di daerah-daerah itu. Buat saya ada kebahagian tersendiri bersama mereka.

Sampai kapan Akang mau main calung?

Saya hidup dari sini, ya, sekuatnya saja dan kalau orang masih mau nanggap. Saya tidak legeg (sombong), duh urang hayang istrirahat ah! Padahal masih banyak yang nanggap!

Dari kecil Akang memangnya sudah punya cita-cita jadi seniman musik?
                       
Saya dulu bercita-cita jadi dalang. Sejak kecil saya suka main wayang-wayangnya pake pohon singkong. Saya mah sebenulnya, eh, sebenarnya pidalangeun! Nah, kenapa suara saya jadi kayak begini, mungkin pecah waktu diajar ngomong tokoh ksatria. Sebagai penyanyi
orang yang mengangkat aku itu R. Hidayat dan Baskara.

Akang ini seniman Sunda, tapi kok namanya pake "O" kayak orang Jawa?

Ah! Entog juga pake "O", bukan Jawa! (Kami tertawa ngakak).

Kalau sedang manggung apa sih yang paling enak?

Yang paling enak, ya, awewe (perempuan).

Maksudnya awewe?

Ya, mereka itu kalau nonton. Kayak saya waktu main di Sarijadi. Misteri! Naon, misteri ngarana teh nu cing ngajarerit kitu teh?

Histeris! (kami tertawa). Dan banyak yang mengejar-ngejar Anda, atuh?

Ya, begitulah (suaranya pelan). Tapi saya mah mengimbau ka seniman, kalau bisa jangan nyandung. Bukan hanya capek, tapi juga karena harus banyak bohong, padahal hirup kan hayang senang lain!? Banyak bohong karena apa? Karena ingin ini akur itu akur! Bener kan? (Ahda Imran, Pikiran Rakyat 14 Agustus 2005)**

Catatan : Darso meninggal dunia, di Bandung, 12 September 2011

1 komentar:

  1. Wah, tulisan lama, mas... selamat. jadi pengen kenal Darso dan calung

    BalasHapus