Kamis, 22 November 2012



Pasar Sejarah Nusantara 
(Menanggapi Binhad Nurrohmat)

Oleh Ahda Imran

ESAI Binhad Nurrohmat (BN) Menerawang Kotak Hitam Nusantara (Kompas, 11 November 2012) menyasar hubungan karya sejarah di Nusantara dan karya sastra. Hubungan yang diletakkannya sebagai persekutuan imajinasi dan nalar manakala keduanya melakukan penerawangan atas fakta dan data sejarah. Meminjam latar penyelenggaraan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2012 perihal ruang kosong sejarah Nusantara yang bisa dihampiri oleh para sastrawan, BN seolah mewaspadai  bahwa ruang kosong itu berpotensi dimasuki oleh karya para pseudonovelis yang mewartakan sejarah gadungan. Para pseudonovelis yang mendasarkan karyanya pada data-fakta yang didapat serampangan, atau melulu fantasi-imajinasi serta menistakan logika sejarah. Di ujung kewaspadaannya itu BN seolah membuat semacam seruan bahwa diperlukan moral untuk menarasi dan mewartakan sejarah melalui novel.

Tak ada yang baru sebenarnya dari esai itu. Tapi kewaspadaan dan seruan moral BN itu tetap menarik untuk diperhatikan, lebih lagi bila ditautkan pada perbincangan di forum BWCF. Forum yang mempertemukan pemikiran para novelis berlatar sejarah yang karya dan nama mereka sudah demikian popular—sebutlah, Aan Merdeka Permana, Hermawan Aksan, Tasaro GK, Langit Krisna Hariadi. Kewaspadaan dan seruan moral BN karena itu, terkesan  diarahkan pada pertemuan pemikiran para novelis yang menekan pada  ihwal hubungan sastra dan sejarah, atau yang memperkarakan kedudukan imajinasi serta penjelajahan estetik di hadapan logika atau data-fakta sejarah.

Jumat, 01 Juni 2012

Para Istri, Demokrasi, Daulat Partai




--Ahda Imran, penyair dan esais

KETIKA nama Ani Yudhoyono santer disebut sebagai capres yang bakal diusung oleh Partai Demokrat (PD) dalam pilpres 2014 mendatang,  serta merta oranng diingatkan pada satu alasan ihwal realitas demokrasi. Realitas yang mesti dipahami sebagai konsensus hak politik setiap warga negara. Apalagi, alasan itu menguatkan dirinya dengan realitas konstitusi yang tak ada satu pun bagiannya, yang paling kecil dan tersirat pun,  mengatur dikurangi atau ditambahnya hak politik seorang warga negara hanya karena ia ditakdirkan menjadi seorang istri presiden, seperti Ani Yudhoyono.  

Mengurangi haknya karena alasan seperti itu, merupakan penyangkalan atas takdir demokrasi yang secara tegas memisahkan domain publik dan domain domestik.  Dari ingatan semacam ini pula orang diajak memahami kemunculan para istri pejabat daerah ke tengah arena pertarungan politik (pilkada bupati/walikota). Fenomena politik yang tak ubahnya dengan transfer kekuasaan, istri menggantikan jabatan suami yang habis masa jabatannya.

Sabtu, 28 April 2012

Perempuan yang Melepas Pakaian Angsa


“AKU hanya akan melepas pakaian angsamu ini,” begitu kata Nora (Heliana Sinaga) 
pada suaminya Tommy Herlambang (Ayez Kassar), sebelum dengan ketus masuk ke dalam kamar. Lalu ia keluar dari dalam kamar dengan pakaian yang maskulin, celana jins, kaos putih ketat, dibalut baju hangat merah panjang dan syal. 

Tommy menatapnya heran. Nora bukan lagi perempuan yang dikenalnya. Istri yang manja dan diperlakukan bak boneka kesayangan. Angsa putih cantik yang selalu harus menurut. Kini di hadapannya berdiri seorang perempuan yang menatapnya dingin.

Selasa, 03 April 2012

Suatu Hari di Kantor Polisi



SUATU hari yang biasa-biasa saja, saya mengantar seorang teman ke kantor Polsek di kawasan Bandung Utara. Dia terpaksa harus mengurus surat keterangan kehilangan kartu asuransi. Kartu itu sebenarnya tidak hilang, tapi ia tinggalkan di Jepang bersama sejumlah berkas lainnya yang ia pikir tidak lagi penting. Dan ketika ia hendak mengurus suatu hal yang ada hubungannya dengan asuransi, kartu itu harus ada. Dan jika hilang, harus ada keterangan kehilangan dari kepolisian.

Tentu saja mustahil meminta surat keterangan kehilangan itu pada kepolisian Tokyo di Jepang sana. Maka mulailah kami mengarang sebuah cerita, bahwa kartu asuransi itu hilang tiga hari yang lalu. Mungkin dalam perjalanan dari rumah ke kantor, dalam angkot.

Kamis, 29 Maret 2012

Tak ada Lagi Bioskop di Bandung

SEBUAH nama tempat atau benda dikenal karena keduanya ada serta berfungsi. Tapi, manakala keduanya kehilangan fungsinya, niscaya kata itu berangsur-angsur dilupakan. Bahkan, oleh generasi seterusnya kelak kata itu menjadi asing. Jika pun kata itu masih ada, maka itu hanya berupa jejak dalam kamus. Sebutlah, kata “perangko”. Meski sebagai benda perangko masih bisa ditemukan, tapi sebagai kata ia mulai asing karena fungsinya dalam surat menyurat telah digantikan oleh ponsel, surel (e-mail), dan jejaring sosial.

Seperti kata “perangko”, begitulah nasib bioskop. Sebagai benda atau nama tempat ia masih ada. Di Bandung, misalnya, kita bisa menemukannya di sejumlah kawasan. Termasuk di pusat kota seperti  di alun-alun atau di Jl. Braga. Tapi,  itu tak lebih sekadar bangunan yang telah kehilangan fungsinya sebagai tempat orang menonton film. Kata “bioskop” biasanya baru muncul setelah nasib bangunannya yang bersejarah diusik demi kepentingan yang lebih pragmatis. Seperti bangunan bekas bioskop Rio Cimahi yang dirombak, sebelum bioskop yang berdiri sejak tahun 1937 itu kini beralih menjadi pusat penjualan ponsel. Terakhir, kata “bioskop” muncul lagi sehubungan dengan nasib bekas bangunan bioskop Pasific di Sumedang.

Sabtu, 24 Maret 2012

"Kita" dan “HORISON Kita”



 
                 
“Selalu aku berdoa kiranya HORISON kita tidak sampai menghadapi kebangkrutan. Namun tampaknya majalah sastra ini tidak maju-maju juga, bahkan tidak lebih baik isinya ketimbang tahun-tahun tujuhpuluhan dulu----kalau tidak dikatakan lebih buruk”


BEGITULAH awal sebuah surat, datang dari Bandung, 20 tahun kemudian setelah majalah sastra itu lahir, bulan Juli 1966. Surat cerpenis Aliefya M. Santrie itu dimuat dalam rubrik “Surat-surat” Majalah Horison No. 6 Tahun 1986. Semangat surat itu mempertanyakan, bahkan memperkarakan, ukuran penilaian redaksi antara cerpennya yang dimuat dan cerpennya yang tidak juga dimuat, sambil juga mengkritisi sejumlah hal tentang kualitas majalah sastra tersebut.

Meski surat tersebut penuh gugatan, namun cerpenis produktif yang kini entah ke mana itu, mengakhiri suratnya seperti bagaimana ia mengawalinya, “Dengan begitu aku berdoa untuk kejayaan HORISON kita di tengah-tengah relatifnya kriteria penilaian sastra.”

Tapi siapakah “kita” yang dimaksud Aliefya M. Santrie dalam suratnya itu? Apakah ia sebagai cerpenis dan para sastrawan lainnya yang duduk di meja Redaksi Majalah Horison? Atau ia hendak mewakili  para sastrawan, peminat, dan pembaca sastra yang dibayangkan ikut merasa memiliki dan terlibat dengan nasib serta mutu majalah sastra itu?

Jumat, 23 Maret 2012

Lagi, Menyoal Bahasa Ibu



 SETIAP kali mendekati peringatan Hari Bahasa Ibu, 21 Februari, setiap kali itu pula kita disodori oleh berbagai hasil penelitian yang mencemaskan ihwal nasib kelanjutan bahasa ibu. Apalagi kemudian kecemasan itu juga sesuai dengan hasil penelitian Unesco yang menyebutkan bahwa dalam setiap tahun sepuluh bahasa ibu mengalami kepunahan. Penelitiannya yang paling mutakhir mengatakan, beberapa bahasa ibu di sejumlah negara diprediksi usianya hanya tinggal satu abad, sebelum lantas lenyap. Bahkan diprediksi lagi, satu abad mendatang, dari 6.000 bahasa yang terdapat di dunia 50 persennya akan punah.


Dalam konteks bahasa Sunda, terakhir perkembangannya ditenggarai semakin kritis mengingat persentase penuturnya yang kian menurun dari tahun ke tahun. Bahkan sehari menjelang peringatan Hari Bahasa Ibu, menurut survey yang dilakukan Balai Bahasa Bandung, disebutkan penutur Bahasa Sunda mengalami penurunan 20 persen (Pikiran Rakyat, 20 Februari 2009).

Cihampelas (1), Denyut Sebuah Kawasan



MENYEBUT Cihampelas, maka ingatan orang tak sekadar tertuju pada sebuah kawasan yang secara geografis berada di Kota Bandung. Mungkin sejak akhir tahun 1980, ketika tempat ini pelan-pelan mulai dikenal sebagai kawasan perdagangan jeans yang sebelumnya berada di kawasan Pajajaran, Cihampelas mulai menunjukkan denyut perkembangan yang menyimpang dari masa lalunya. 

Dari kawasan yang oleh pemerintal kolonial dirancang sebagai kawasan hunian, tumbuh berubah menjadi kawasan perdagangan. Denyut perkembangan ini menarik, karena perubahan fungsi kawasan ini terjadi sebagai proses yang berada di luar rancangan institusi formal pemerintah.

Cihampelas (2), Perdagangan dan Denyut Warga

PERUBAHAN fungsi sebuah kawasan akan membawa sejumlah pengaruh pada masyarakat yang menghuni kawasan tersebut. Ini menjadi niscaya karena sebuah kawasan adalah juga sebuah ruang sosial. Pengaruh yang terjadi karena berubahnya fungsi sebuah kawasan, lambat laun akan mengubah karakteristik ruang sosial atau masyarakat di dalamnya. Ia bisa saja bergerak ke arah perubahan yang produktif, mengimbangi dan secara selektif mengontrol arah perubahan dengan segenap dampaknya. Atau, sebaliknya perubahan fungsi kawasan tersebut malah cenderung membawa dampak yang tak terkontrol dan kontra-produktif. 

Kenyataan ini tentu juga bisa dicermati pada perubahan fungsi kawasan Cihampelas, dari kawasan hunian menjadi kawasan perdagangan. Kawasan yang banyak disebut sebagai ikon wisata belanja Kota Bandung karena keunikan dan produk-produk fesyen yang ditawarkannya. Kesibukan yang telah jadi kesehari-harian sepanjang koridor Cihampelas niscaya telah memengaruhi masyarakat Cihampelas. Pengaruh ini semakin besar seiiring dengan tingkat kesibukannya sebagai kawasan perdagangan.

Pesantren, Benteng Terakhir Pendidikan Bahasa Sunda?



PENDIDIKAN bahasa Sunda di sekolah yang lebih menitikberatkan bahasa sebagai ilmu (pengaweruh) ketimbang sebagai alat untuk berkomunikasi, telah membuat anak-anak muda malas untuk berbahasa Sunda. Pengajaran bahasa jadi penuh hapalan yang memberatkan anak didik. Kurikulum pendidikan bahasa Sunda semacam inilah yang menjadi bagian dari kecemasan, jangan-jangan upaya ngamumule (merawat dan memelihara) bahasa Sunda justru adalah kita sedang membakar panggung dengan bensin kita sendiri. Satu-satu lembaga pendidikan yang kini masih mengajarkan bahasa Sunda sebagai alat berkomunikasi hanyalah pesantren. 

Gilang Cempaka, “Perempuan Tidak Punya Hak Atas Tubuhnya”



BUDAYA patriaki adalah suatu masyarakat lelaki dengan norma-norma yang mengatur bagaimana perempuan mesti mengatur tubuhnya. Budaya ini diam-diam telah menjadi semacam sistem nilai, baik seperti apa yang dipahami sebagai tradisi, maupun yang kemudian hadir dalam masyarakat industri. Tubuh perempuan di situ di atur atas nama kepatutan norma-norma tradisi juga atas nama keperluan masyarakat industri. 

Pada keduanya selalu diciptakan ukuran-ukuran ihwal kesempurnaan tubuh perempuan dan kecantikannya. Jika ukuran itu muncul dalam masyarakat industri, maka sebenarnya masyarakat industri itu sendiri adalah wajah lain dari masyarakat lelaki yang mensubordinasi perempuan.

Rendra, Rumah dengan Banyak Kamar



SEBAGAI seorang seniman dan budayawan, Rendra (1935-2009) tak ubahnya dengan bangunan yang memiliki kamar-kamar besar. Dalam bangunan itulah Rendra menunjukkan dedikasi kesenimannya. Bagi Rendra, kesenian haruslah sejajar dengan kehidupan lainnya. Begitu juga menjadi seorang seniman haruslah berdiri sejajar dengan siapapun, tak terkecuali di depan seorang Jenderal. Di mata Rendra, kemampuan emasipasi seorang individu dalam sebuah hubungan sosial haruslah dipuncaki pada yang disebutnya dengan Ananingsun, marganira, ananira magraningsun (Aku ada karena Anda, Anda ada karena aku).

Menyoal Film Biografi



SAMBUTAN masyarakat yang menggembirakan atas film “Sang Pencerah” tampaknya menjadi sinyal mencerahkan dalam mencermati gejala berikutnya dari perkembangan film Indonesia. Kesuksesan film yang mengisahkan perjuangan pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan ini, seolah mengirim isyarat baik pada agenda produksi film Indonesia yang berangkat dari kisah hidup para tokoh.

Sejumlah film biografi berikutnya akan segera hadir dan berharap bisa mengikuti kesuksesan “Sang Pencerah”.  Isyarat yang sebelumnya telah dikirim sejak tahun 2005 oleh “Gie”, film garapan Riri Reza yang mengisahkan perjuangan mahasiswa dan aktivis Soe Hok Gie. Film ini menyabet Film Terbaik FFI 2005.  
Dan tak lama lagi, selepas “Sang Pencerah” masyarakat pun akan disugugi beberapa produksi film yang mengusung kisah perjuangan atau penggalan hidup sejumlah tokoh Indonesia yang lain. Sebutlah, film “Inggit Ganarsih” yang menampilkan sosok mantan istri pertama Ir. Soekarno yang akan diperankan oleh Mawdy Koesnadi. 

Panjang Jimat, Pertemuan Agama dan Budaya




IRING-iringan orang yang yang terus menggumamkan shalawat. Lilin-lilin besar dan obor, lalu sejumlah orang yang membawa benda-benda pusaka keraton, termasuk piring keramik berukuran besar berumur ratusan tahun yang disebut Panjang, yang juga dikenal dengan Ambeng Rasul.  

 Ada juga beberapa jenis senjata, gerabah (keramik) dalam berbagai bentuk dan ukiran, juga makanan yang tertutup kain merah dan putih yang dijunjung oleh para lelaki berpakaian hitam-hitam. Selain itu, sejumlah orang juga membawa berbagai perangkat sebagai simbolisme dari peristiwa persalinan atau kelahiran anak manusia.  

Kamis, 22 Maret 2012

Erotisme Dalam Seni Tradisi




MARILAH kita mulai dari akhir tahun 1980-an, ketika tari Jaipongan karya Gugum Gumbira marak di Jawa Barat. Maraknya jenis tarian pergaulan yang lincah ini  ketika itu merupakan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam apresiasi masyarakat terhadap tari tradisi. Ketika itu,  jaipongan tak hanya seolah-olah telah jadi pertunjukan wajib di pesta-pesta hajatan, di tepi jalan hingga dalam gang, atau yang kemudian diikuti oleh bermunculannya  berbagai group-group jaipongan di banyak kota.

Melainkan juga dibarengi oleh munculnya banyak kursus jaipongan yang diminati oleh remaja-remaja perkotaan, dan itu tak hanya terjadi di Jawa Barat. Jaipongan agaknya, ketika itu, seakan-akan tengah menjadi representasi dari resistensi seni tradisi terhadap gempuran seni-seni (Barat) modern.

Namun ternyata ada juga berbagai pihak yang mengkritisi jaipongan atas nama kepatutan

Dadi P. Danubrata, "Sepanjang FDBS Masih Ada, Bahasa Sunda Tidak Akan Hilang"


GEDUNG Kesenian (GK) Rumentang Siang Bandung, tahun 2006. Ratusan anak muda datang dengan bus dan truk borongan. Suasana begitu ramai dan sibuk. Mereka adalah 53 kelompok teater yang datang dari berbagai kota di Jawa Barat. Garut, Cianjur, Bandung, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, Cimahi, Subang, dan sejumlah kota lainnya. Mereka datang berbondong,  berkumpul di Rumentang Siang untuk sebuah festival, “Festival Drama Basa Sunda (FDBS) Ke-IX”.  Sebuah festival yang telah jadi tradisi duatahunan yang diadakan oleh kelompok Teater Sunda Kiwari (TSK).

Dalam mini bus dan truk itu mereka

Kamis, 15 Maret 2012

Cihampelas (3), Belanja dalam Ruang Visual


BEGITU turun dari kendaraan, pandangan anak lelaki itu langsung tertuju pada Spiderman yang melayang di atas sebuah toko, yang ada di seberangnya. Spiderman berukuran massif itu adalah sebuah patung dalam pose yang sedang mengangkang. Kedua tangannya terbuka. Di belakangnya lanskap sebuah kota di kejauhan dan jejaring. Entah apa yang sedang dibayangkan oleh anak lelaki umur lima tahunan itu. Mungkin dalam fantasinya, super hero yang sering disaksikannya dalam film itu sedang melesat, meloncat-loncat di antara gedung sambil menyemburkan jaring laba-labanya nan ajaib.

Bunga Plastik di Atas Makam R. A. Wiranatakusumah II


SEBUAH makam memang selalu akrab dengan bunga. Baik berupa bunga yang ditaburkan oleh peziarah atau bunga yang sengaja ditanam dan juga berfungsi semacam tanda, biasanya ditanam dekat nisan seperti banyak ditemukan di pemakaman umum. Tapi menemukan makam dengan bunga plastik dalam pot yang ditaruh di atas makam, mungkin sesuatu yang unik (untuk tidak menyebutnya aneh).Dan inilah yang ditemukan di makam pendiri Kota Bandung, Rd. Adipati Wiranatakusumah II (1789-1829) dan istrinya Ny. Rd. Ayu Kendran.


Prof. A.D. Pirous, 80 Tahun Kemudian



SUATU kali di tahun 1960, sekelompok seniman yang menyebut dirinya Sanggar Seniman, mengadakan pameran bersama di Balai Wartawan  Bandung (depan Hotel Savoy Homan) Pada hari pembukaan datanglah seorang pengunjung, orang Kanada. Ia mengamati sebuah lukisan dan bertanya pada senimannya apakah karya itu dijual. Si seniman terkejut karena baru kali ini ia mendapat pertanyaan semacam itu. Karena gugup ia pamit sebentar untuk melapor pada teman-temannya. Dengan polos dan kebingunan ia ceritakan bahwa ada orang asing yang ingin membeli karyanya.

“Ya, sudah jual saja,” kata But Moechtar,

Simulakra China


SUATU hari, dalam sejarah China ketika kerajaan-kerajaan saling bertempur.  Kedua pasukan kuda berhadapan di sebuah areal yang luas. Di depan sebuah benteng yang sedang diperebutkan. Pasukan kuda hitam yang gagah, bendera-bendera merah dan kuning, lalu pertempuran yang penuh teriakan, dan kuda-kuda yang menderu.  Di atas kuda hitam mereka yang gagah, para prajurit mengayunkan pedang, menebas, memanah, dan saling berkejaran.  Suara terompet, ledakan mesiu, dan lambaian bendera di atas benteng. 

Candi Batujaya Membantah Teori Lama



KOMPLEKS percandian Batujaya yang dibangun sekira pada abad IV Masehi dengan menggunakan batu bata sebagai bahan bangunan, telah membantah teori lama yang selama ini masih dipertahankan. Teori itu menyebutkan bahwa candi yang terbuat dari batu dipandang sebagai bangunan dari periode yang lebih tua. Dan candi yang terbuat dari bata dianggap berasal dari periode yang lebih muda, yakni, periode akhir Hindu Budha. Dengan begitu, menilik periode pembangunan candi Batujaya di Karawang Jawa Barat, diketahui bahwa tradisi pembuatan candi dengan bahan bangunan batu bata sudah ada sejak awal. Dan itu tidak melulu harus ditempatkan pada babakan terakhir masa Hindu Budha.

Menyelamatkan Bedaya Kajongan


GERAK  mereka pelan, suara gending seolah sayup. Mereka melangkah dengan sepasang tangan yang sesekali terangkat ke samping dengan jemari membentuk pola mirip ukel, luwes dan tegas. Gerak mereka terasa monoton dan berat dalam suasana yang kontemplatif. Demikian pula suara gending.  Keduanya membuat lingkaran dalam jarak yang saling berseberangan. Sebagai penari tubuh mereka, Ratu Anah Sukaningrat (63) dan Raden Nurmini (66),  sudah tidak muda lagi. Tarian itu bagi mereka seakan menjadi ziarah pada masa silam, ketika keduanya masih muda sebagai penari keraton. Sesekali tampak gerakan mereka seperti tertahan, meraba ingatan tubuh mereka.

Senin, 05 Maret 2012

Lima Sajak


Lubuk Kata

Di lubuk kata
aku ular yang memancarkan sisiknya—
lebih berkilauan dari mahkota seorang pembesar
tubuhku terus memanjang. Melampaui ruang, cahaya,
dan bayang. Berlindunglah dariku. Aku mimpi

Jumat, 02 Maret 2012

Narasi Hasrat dan Romantika Urban

MAO Ze Dhong masuk dan berdiri di depan pintu kamar. Sambil memegang topinya, matanya mendelik ke arah perempuan yang duduk di atas ranjang, di balik kelambu. Perempuan itu bergaun merah menyala dengan model yang banyak dipakai oleh gadis-gadis Cina.

Seperti Ketua Mao, perempuan itu bertubuh gemuk. Dia duduk di tepi ranjang. Sikap tubuhnya tampak ragu dan malu-malu. Sebelah tangannya menarik kain kelambu, menutupi separuh tubuh dan wajahnya. Tapi di antara celah kain kelambu, tampaklah ekspresi wajah perempuan itu. Matanya terpejam dan mulutnya setengah terbuka.

Di antara celah kain kelambu, dengan rambut pirang dan ekspresi wajahnya yang tak asing, jelaslah siapa

Selasa, 28 Februari 2012

Media Sosial dan Budaya Demokrasi



“They see torture. They see corruption. They see rigged elections. What can they do? Of course: The only tool in their hands is their fingertips. And the keyboard” (Said Sadek)

PERNYATAAN sosiolog Mesir di atas merujuk pada sebuah kenyataan, bahwa hanya tinggal satu cara untuk menganggu dan menggugat kekuasaan yang zalim, yakni, ujung jari di keyboard komputer dan handphone. Menyebarkan kesadaran bersama ihwal berbagai ide perubahan dan solidaritas, seraya membentuk perlawanan sosial setelah institusi resmi seperti parlemen dan media konvensional (TV, radio, koran/majalah) tak lagi bisa diharapkan. SMS, e-mail, blog, Facebook, hingga Twitter segera menjadi ruang inkubasi  berbagai ide perubahan dan perlawanan.

Di Mesir, ruang inkubasi ini menjadikan korban sebagai ikon perlawan lewar akun Facebook “We Are All Khaled Said”, dengan 40 ribu fans. Khaled Said adalah seorang pemuda yang tewas dianiaya polisi Mesir. Di ruang inilah informasi dan ide-ide perubahan diperbincangkan, mulai dari chat, tulisan, foto video, komentar, hingga kemudian komunitas virtual ini menemukan klimak dari proses inkubasinya berupa gerakan perlawan yang menjungkalkan rezim Hoesni Mubarak.     

Itu di Mesir, juga yang terjadi sebelumnya di Tunisia. Internet menjadi ruang yang menakutkan bagi para penguasa. Di Indonesia, jauh sebelum apa yang terjadi di Mesir, media sosial pun menjadi ruang yang efektif untuk mengelaborasi kekuatan dan solidaritas masyarakat sipil. Mulai dari Gerakan Koin Keadilan untuk Prita Mulyasari, hingga pembentukan opini kolektif dalam kasus Bibit-Chandra.

Semuanya, sekali lagi, tidak dilakukan lewat media-media konvesional (TV, radio, koran/majalah), tapi lewat jejaring sosial Facebook, blogg, Twitter, sampai SMS. Terakhir, lewat media sosial seperti Wikileaks yang kemudian dijadikan sumber pemberitaan dua koran Australia, Sidney Morning dan The Age, orang nomor satu di negeri ini dibuat meradang akibat pemberitaan tersebut, bahkan konon sampai membuat istrinya menangis.

Paradoks Demokrasi                                                                 
Meski dianggap sebagai ‘demokrasi elektronik’ atau ‘demokrasi semu’, tapi makin sulit dibantah bahwa media sosial akhirnya tak hanya sekadar menjadi bagian dari gaya hidup. Ia telah menjadi penanda tersendiri, khususnya dalam memengaruhi berbagai peristiwa sosial. Ia menjadi representasi dari kenyataan bahwa kini setiap individu adalah media. Betapa pun semunya kenyataan virtual itu, ia berangsur-angsur bukan lagi melulu menjadi ruang cengengesan.  Ia telah menjadi penanda tersendiri dari perkembangan kultur demokrasi di bawah bimbingan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Dalam wacana politik, pengamat sosial Yasraf Amir Piliang memandang, karena bentuk ruangnya yang virtual, maka keberadaan media sosial baik diidentifikasi sebagai 'ruang publik virtual' (virtual public sphere). Keberadaan media sosial telah mengubah secara radikal kultur politik, karena sifatnya yang lebih terbuka, fleksibel, interaktif, tetapi juga lebih liar, anonim dan tanpa identitas. “Karena sifat terbuka tapi sekaligus liar inilah, maka media sosial menciptakan semacam 'paradoks demokrasi', khususnya paradoks kultur demokrasi,”ujarnya.  

Di satu pihak, media sosial memperkuat bangunan masyarakat sipil (civil society), karena media sosial memiliki kekuatan amat dahsyat dalam menyampaikan suara rakyat atau aspirasi warga sekaligus untuk mengganggu penguasa. Tapi, di pihak lain, sebagai ruang publik virtual, media sosial memiliki karakter yang justru bisa merusak fondasi kultur demokrasi itu sendiri.  Bagaimanapun, demokrasi memerlukan sebuah sistem konstitusi dan sistem etika yang mengikat, sebaliknya masalah utama media sosial adalah pada sistem aturan dan etika yang belum terumuskan secara jelas dan mengikat. Juga sifat media sosial yang bertahan seketika (ephemeral), yang menyebabkan ikatan emosional, sosial dan ideologis dari 'warga' yang berkumpul di dalamnya juga tidak permanen dan rapuh.

“Padahal, sebuah kekuatan politik memerlukan ikatan emosional dan ideologis yang bertahan lama dan kohesif. Selain itu, budaya politik yang berkembang di dalamnya adalah 'budaya politik instan', dengan kekuatan yang bertahan seketika dan gagasan ideologi politik yang kurang memiliki konsistensi. Saya kira, mengurangi efek paradoks inilah yang perlu dipikirkan,” tutur penulis buku “Hypermoralitas” ini.

Upaya mengurangi efek paradoks yang disebut Yasraf, tentu tidaklah mengurangi relevasi media sosial dalam bangun budaya demokrasi. Demikian pula betapa pun di dalamnya pemahaman banyak orang ihwal realitas kini berada dalam wilayah negosiasi dan kontestasi yang tidak stabil, relevansi itu agaknya tetaplah tidak bisa ditiadakan. Satu hal yang jadi niscaya, keberadaan dan kekuatan media sosial telah membuat representasi mekanisme politik yang sebelumnya digenggam oleh sejumlah kanon dan institusi mapan, kini mengalami semacam desakralisasi atau peluruhan.   

Karena itulah,  menurut seniman dan aktivis budaya yang getol mencermati dinamika jaringan sosial, Gustaff Hariman Iskandar, pusat-pusat kekuasaan saat ini sudah menyebar di sembarang titik persimpangan dan jaringan. Tampaknya, mekanisme operasi aparatus kekuasaan yang baru kini tidak hanya ditentukan oleh kekuatan kapital.  Tapi juga oleh informasi dan ilmu pengetahuan.

“Hal ini menjadi semacam arena baru yang ikut mendekonstruksi ranah kebudayaan dalam maknanya yang paling luas. Salah satu prasyarat demokrasi adalah akses dan partisipasi. Sejak tahun 1998, saya kira teknologi internet dan media digital dan ragam media sosial yang muncul belakangan telah jadi komponen penting yang mendorong lahirnya budaya demokrasi,” ujarnya.

Perjalanan Masih Panjang                                                                 
Meski mengandung paradoks dan media sosial dan cenderung menggiring orang pada pemahaman realitas dalam negosiasi yang tidak stabil, media sosial tetap merupakan ruang yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan kultur demokrasi. Media sosial memang memiliki kesanggupan menciptakan manipulasi informasi, rekayasa citra, simulasi realitas, sehingga media macam ini menciptakan problem besar untuk membedakan yang benar dan palsu, asli atau tiruan, fakta atau rekayasa. Sehingga, ada keraguan yang besar terhadap informasi, pengetahuan dan kebenaran (truth).

Tapi, menurut Yasraf , dengan sifatnya yang terbuka atau koridor aksesnya yang tanpa pagar dan batas,  di sisi lain telah mengakibatkan segala bentuk rahasia dan kebohongan yang selama ini disimpan rapih (oleh individu, kelompok atau negara) demi memanipulasi realitas, kini dapat dibeberkan dalam media sosial, seperti yang dilakukan Wikileaks. Kini setiap orang harus hati-hati dalam berkata, berkomunikasi dan bertindak. Artinya, media sosial berperan besar dalam melakukan fungsi pengawasan (surveillance) dan pendisiplinan diri (disciplinary) dalam wacana dan tindakan politik,” paparnya

“Media sosial sangat berperan dalam menegakkan tiga pilar dari sistem demokrasi, yaitu 'kebenaran'(truth), 'keterpercayaan' (trust) dan 'kejujuran' (true). Karena, melalui media sosial kini segala bentuk kepalsuan dan kebohongan dapat dibongkar dan disebarluaskan kepada masyarakat luas,” tutur Yasraf.

Ihwal sifat media sosial yang paradoks, ia mengatakan diperlukan semacam 'kecerdasan budaya' (Cultural Intelligence) dalam ranah politik. Khususnya kecerdasan dalam membedakan yang benar dari yang palsu. Hanya melalui cara itulah kultur demokrasi yang terbuka, ruang publik demokrasi yang dialogis dan masyarakat demokratis yang cerdas dapat dibangun, agar kebohongan tidak dilawan dengan kebohongan yang lain.

Dikotomi antara apa yang virtual dan yang nyata memang kian cair. Menurut Gustaff Hariman Iskandar keduanya sama-sama penting dan relevan bagi proses perubahan dan demokratisasi. Tapi, seraya menyepakati pandangan  Clay Shirky, Gustaff mengatakan  bahwa perubahan revolusioner tidaklah terjadi begitu saja ketika masyarakat mengadopsi perkembangan teknologi terbaru.

Dalam pandangannya, keterkaitan antara media sosial dan perubahan harus diperiksa terus menerus. Apakah benar keberadaan media sosial melahirkan pola perilaku dan kesadaran baru yang secara konstruktif merubah situasi ke arah yang lebih baik?  Atau, jangan-jangan hanya sekadar mendorong masyarakat menjadi lebih konsumtif dan berada di bawah bayang-bayang hegemoni rezim tekno-sosial yang represif dan otoriter?
 
“Perjalanan kita sepertinya masih panjang. Apa yang kita alami saat ini tampaknya baru sekedar riuh rendah 'noise' demokrasi, belum menyentuh substansi. Tapi, tanda-tanda ke arah yang lebih baik tetap ada,  meskipun masalah yang kita hadapi saat ini semakin kompleks,” katanya.  (Ahda Imran)**



Sumber: Pikiran Rakyat, 21 Maret 2011



Minggu, 26 Februari 2012

Sekolah Aksara Kuno Anak Muda



MEREKA duduk berderet di kursi memenuhi sisi sebuah ruangan yang tidak begitu besar. Masing-masing asyik dan sibuk dengan kertas soal. Malam itu, Jumat (11/2) mereka sedang ujian kenaikan kelas. Kertas soal berupa teks latin yang harus diubah menjadi aksara kuno, dari mulai Sunda Kuna (baku) sampai aksara Cacarakan (Hanacaraka) menurut kelasnya. Untuk kelas satu mereka harus mengalihkan teks itu aksara Sunda Kuna, dan kelas dua mengalihkannya ke aksara Cacarakan.

Sesekali mereka tampak berkerut. Mengamati daftar dan bentuk aksara-aksara kuno yang meringkel-meringkel, mencoba mengalihkan dan menyatukannya menjadi kalimat yang seusai dengan soal. Ada juga yang bertanya pada teman di sebelahnya.

Jumat, 24 Februari 2012

Harry Poeze dan Ironi Tan Malaka



MENYEBUT sejarah munculnya pergerakan komunisme di Hindia Belanda tahun 1920-an, sangatlah tidak mungkin melewatkan nama Tan Malaka (1897-1949). Akan terlalu panjang mengurai kiprah dan sepak terjang tokoh pergerakan yang diselubungi berbagai misteri ini. Mulai dari petualangan politiknya di berbagai negara Eropa dan Asia, kematiannya yang tragis, hingga namanya yang dilupakan dan “diharamkan” selama 30 tahun oleh rezim yang mencapnya sebagai seorang komunis. Padahal di mata PKI dan komunis internasional (Komintern), sejak tahun 1927, TM dianggap sebagai murtad, seorang Troskys (pengikut Trotsky yang jadi lawan Lenin dan Stalin) yang terus diburu. 

Meski tahun 1963 Presiden RI Soekarno telah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional melalui Kepres  No. 53/ 1963. Revolusi kemerdekaan bukan hanya telah memakan, tapi juga telah melupakan anaknya sendiri. Itulah yang terjadi pada Tan Malaka (TM). TM seolah sebuah takdir ihwal kesetian seorang pemikir pejuang yang terus dikalahkan, dilupakan, dan dipenuhi ironi. 

1967


Minggu, 29 Januari 2012

Kaleidoskop Sastra Indonesia 2011



Sastra Indonesia 2011: Panjang Sprei dari Kelambu

---AHDA IMRAN

MARILAH  kita mulai dari salah butir rekomendasi Temu Sastrawan Indonesia (TSI IV) di Ternate Maluku Utara, 24-28 Oktober 2011. Rekomendasi itu mengubah durasi penyelenggaraan TSI yang bermula diselenggarakan saban tahun, menjadi event dua tahunan. Butir rekomendasi muncul bukanlah bersebab tak adanya kota yang memastikan kesediaannya menjadi tuan rumah TSI V tahun 2012. Melainkan demi mengantisipasi agar event ini tidak terjebak sekadar menjadi rutinitas tahunan, sekaligus membayangkan keleluasaan teknis penyelenggaraan—terutama kesiapan pemda yang menjadi tuan rumah, yang niscaya bersangkut ihwal dengan birokrasi alokasi anggaran. Dengan begitu, rekomendasi itu mengagendakan bahwa TSI V akan berlangsung tahun 2013, dengan tempat yang belum ditentukan. 

Namun belum lagi sebulan, di jejaring sosial facebook tersiarlah kabar bahwa Propinsi Kaltim—melalui sastrawannya Korrie Layun Rampan—bersedia menjadi tuan rumah TSI V 2012. Bukan validitas warta itu yang jadi penting, melainkan bagaimana sejumlah sastrawan “alumni” TSI IV Ternate meresponnya. Riang gembira mereka menyambut