Kamis, 22 Desember 2011

Naskah Monolog "INGGIT"



              
                                                              INGGIT
                                                      
                                                      (Sebuah monolog)
                                                      
                                                        ---Ahda Imran

SATU: Panggung Redup
(Intro) Musik kecapi suling, sayup-sayup. Inggit berada dalam kamar yang tampak berantakan. Sebuah tempolong tergelak di lantai karena dilemparkan. Wajah Inggit dingin, rambutnya tergerai.  Ia memasukkan satu persatu pakaiannya ke dalam kopor.  Lalu terdengar suara seseorang seperti membacakan dongeng.

Ningrum Kusuma begitu nama puteri itu. Ia dipanggil juga dengan nama Kusumaningrum. Begitu mula cerita. Ia seorang puteri yang cantik, luhur budinya, amat dicintai oleh seluruh penghuni istana dan dicintai rakyatnya. Ia pun amat setia pada suaminya,  seorang raja yang bijaksana. Ketika suatu kali suaminya menaklukkan negeri lain, negeri taklukkan itu mempersembahkan seorang putri kepada suaminya sebagai persembahan. Seorang putri cantik bernama Jembawati. Karena putri itu masih teramat muda, maka ia diserahkan pada Kusumaningrum untuk diasuh. Dan sebagai ratu, Kusumaningrum mengasuh dan mendidiknya dengan baik layaknya seorang kakak pada adiknya. Jembawati pun tumbuh menjadi gadis yang cantik, dan diam-diam ia mulai melemparkan senyum dan kerling mata pada raja.

Jumat, 02 Desember 2011

Teror



MARILAH kita mulai dengan apa yang dikatakan Sidharta Gautama, bahwa setiap peristiwa mempunyai alasannya; ia adalah pengalaman untuk mengetahui diri sendiri. Dan sebuah peristiwa, karena itu, adalah juga sebuah semesta relasi. Sebuah ruang yang terbuka bagi seluruh kesadaran terhadap seluruhnya. Pendek kata, sesungguhnya tak ada satu peristiwa pun yang terjadi dan berada di luar kompleksitas sistem pengalaman yang saling memberi identifikasi.
Waktu bukanlah entitas dengan identifikasinya yang mekanis,

Suyatna Anirun


BARANGKALI seperti cinta, kesenian itu tak pernah bertanya tentang “apa”, tapi “bagaimana” mencintai itu sendiri. Bagaimanapun rumitnya, mencintai adalah sebuah peristiwa dengan martabat kesetiaan di dalamnya. Dan kesetiaan seorang seniman akan menjadi sangat dangkal jika dipersamakan dengan keyakinan dalam loyalitas kepentingan politik yang tabiatnya senantiasa pragmatis itu; ke mana arah angin ke situlah hidungnya menghadap! Sejenis sikap dan pekerjaan yang telah mengubah dunia manusia menjadi benda. 

Inilah yang melainkan kesetiaan seorang seniman pada bagaimana ia menghadapi dunia manusia dan kemanusiaan. Kesetiaan seolah-olah telah menjelma menjadi mahluk lain dalam dirinya. Menjadi peristiwa.