Kamis, 29 Maret 2012

Tak ada Lagi Bioskop di Bandung

SEBUAH nama tempat atau benda dikenal karena keduanya ada serta berfungsi. Tapi, manakala keduanya kehilangan fungsinya, niscaya kata itu berangsur-angsur dilupakan. Bahkan, oleh generasi seterusnya kelak kata itu menjadi asing. Jika pun kata itu masih ada, maka itu hanya berupa jejak dalam kamus. Sebutlah, kata “perangko”. Meski sebagai benda perangko masih bisa ditemukan, tapi sebagai kata ia mulai asing karena fungsinya dalam surat menyurat telah digantikan oleh ponsel, surel (e-mail), dan jejaring sosial.

Seperti kata “perangko”, begitulah nasib bioskop. Sebagai benda atau nama tempat ia masih ada. Di Bandung, misalnya, kita bisa menemukannya di sejumlah kawasan. Termasuk di pusat kota seperti  di alun-alun atau di Jl. Braga. Tapi,  itu tak lebih sekadar bangunan yang telah kehilangan fungsinya sebagai tempat orang menonton film. Kata “bioskop” biasanya baru muncul setelah nasib bangunannya yang bersejarah diusik demi kepentingan yang lebih pragmatis. Seperti bangunan bekas bioskop Rio Cimahi yang dirombak, sebelum bioskop yang berdiri sejak tahun 1937 itu kini beralih menjadi pusat penjualan ponsel. Terakhir, kata “bioskop” muncul lagi sehubungan dengan nasib bekas bangunan bioskop Pasific di Sumedang.

Sabtu, 24 Maret 2012

"Kita" dan “HORISON Kita”



 
                 
“Selalu aku berdoa kiranya HORISON kita tidak sampai menghadapi kebangkrutan. Namun tampaknya majalah sastra ini tidak maju-maju juga, bahkan tidak lebih baik isinya ketimbang tahun-tahun tujuhpuluhan dulu----kalau tidak dikatakan lebih buruk”


BEGITULAH awal sebuah surat, datang dari Bandung, 20 tahun kemudian setelah majalah sastra itu lahir, bulan Juli 1966. Surat cerpenis Aliefya M. Santrie itu dimuat dalam rubrik “Surat-surat” Majalah Horison No. 6 Tahun 1986. Semangat surat itu mempertanyakan, bahkan memperkarakan, ukuran penilaian redaksi antara cerpennya yang dimuat dan cerpennya yang tidak juga dimuat, sambil juga mengkritisi sejumlah hal tentang kualitas majalah sastra tersebut.

Meski surat tersebut penuh gugatan, namun cerpenis produktif yang kini entah ke mana itu, mengakhiri suratnya seperti bagaimana ia mengawalinya, “Dengan begitu aku berdoa untuk kejayaan HORISON kita di tengah-tengah relatifnya kriteria penilaian sastra.”

Tapi siapakah “kita” yang dimaksud Aliefya M. Santrie dalam suratnya itu? Apakah ia sebagai cerpenis dan para sastrawan lainnya yang duduk di meja Redaksi Majalah Horison? Atau ia hendak mewakili  para sastrawan, peminat, dan pembaca sastra yang dibayangkan ikut merasa memiliki dan terlibat dengan nasib serta mutu majalah sastra itu?

Jumat, 23 Maret 2012

Lagi, Menyoal Bahasa Ibu



 SETIAP kali mendekati peringatan Hari Bahasa Ibu, 21 Februari, setiap kali itu pula kita disodori oleh berbagai hasil penelitian yang mencemaskan ihwal nasib kelanjutan bahasa ibu. Apalagi kemudian kecemasan itu juga sesuai dengan hasil penelitian Unesco yang menyebutkan bahwa dalam setiap tahun sepuluh bahasa ibu mengalami kepunahan. Penelitiannya yang paling mutakhir mengatakan, beberapa bahasa ibu di sejumlah negara diprediksi usianya hanya tinggal satu abad, sebelum lantas lenyap. Bahkan diprediksi lagi, satu abad mendatang, dari 6.000 bahasa yang terdapat di dunia 50 persennya akan punah.


Dalam konteks bahasa Sunda, terakhir perkembangannya ditenggarai semakin kritis mengingat persentase penuturnya yang kian menurun dari tahun ke tahun. Bahkan sehari menjelang peringatan Hari Bahasa Ibu, menurut survey yang dilakukan Balai Bahasa Bandung, disebutkan penutur Bahasa Sunda mengalami penurunan 20 persen (Pikiran Rakyat, 20 Februari 2009).

Cihampelas (1), Denyut Sebuah Kawasan



MENYEBUT Cihampelas, maka ingatan orang tak sekadar tertuju pada sebuah kawasan yang secara geografis berada di Kota Bandung. Mungkin sejak akhir tahun 1980, ketika tempat ini pelan-pelan mulai dikenal sebagai kawasan perdagangan jeans yang sebelumnya berada di kawasan Pajajaran, Cihampelas mulai menunjukkan denyut perkembangan yang menyimpang dari masa lalunya. 

Dari kawasan yang oleh pemerintal kolonial dirancang sebagai kawasan hunian, tumbuh berubah menjadi kawasan perdagangan. Denyut perkembangan ini menarik, karena perubahan fungsi kawasan ini terjadi sebagai proses yang berada di luar rancangan institusi formal pemerintah.

Cihampelas (2), Perdagangan dan Denyut Warga

PERUBAHAN fungsi sebuah kawasan akan membawa sejumlah pengaruh pada masyarakat yang menghuni kawasan tersebut. Ini menjadi niscaya karena sebuah kawasan adalah juga sebuah ruang sosial. Pengaruh yang terjadi karena berubahnya fungsi sebuah kawasan, lambat laun akan mengubah karakteristik ruang sosial atau masyarakat di dalamnya. Ia bisa saja bergerak ke arah perubahan yang produktif, mengimbangi dan secara selektif mengontrol arah perubahan dengan segenap dampaknya. Atau, sebaliknya perubahan fungsi kawasan tersebut malah cenderung membawa dampak yang tak terkontrol dan kontra-produktif. 

Kenyataan ini tentu juga bisa dicermati pada perubahan fungsi kawasan Cihampelas, dari kawasan hunian menjadi kawasan perdagangan. Kawasan yang banyak disebut sebagai ikon wisata belanja Kota Bandung karena keunikan dan produk-produk fesyen yang ditawarkannya. Kesibukan yang telah jadi kesehari-harian sepanjang koridor Cihampelas niscaya telah memengaruhi masyarakat Cihampelas. Pengaruh ini semakin besar seiiring dengan tingkat kesibukannya sebagai kawasan perdagangan.

Pesantren, Benteng Terakhir Pendidikan Bahasa Sunda?



PENDIDIKAN bahasa Sunda di sekolah yang lebih menitikberatkan bahasa sebagai ilmu (pengaweruh) ketimbang sebagai alat untuk berkomunikasi, telah membuat anak-anak muda malas untuk berbahasa Sunda. Pengajaran bahasa jadi penuh hapalan yang memberatkan anak didik. Kurikulum pendidikan bahasa Sunda semacam inilah yang menjadi bagian dari kecemasan, jangan-jangan upaya ngamumule (merawat dan memelihara) bahasa Sunda justru adalah kita sedang membakar panggung dengan bensin kita sendiri. Satu-satu lembaga pendidikan yang kini masih mengajarkan bahasa Sunda sebagai alat berkomunikasi hanyalah pesantren. 

Gilang Cempaka, “Perempuan Tidak Punya Hak Atas Tubuhnya”



BUDAYA patriaki adalah suatu masyarakat lelaki dengan norma-norma yang mengatur bagaimana perempuan mesti mengatur tubuhnya. Budaya ini diam-diam telah menjadi semacam sistem nilai, baik seperti apa yang dipahami sebagai tradisi, maupun yang kemudian hadir dalam masyarakat industri. Tubuh perempuan di situ di atur atas nama kepatutan norma-norma tradisi juga atas nama keperluan masyarakat industri. 

Pada keduanya selalu diciptakan ukuran-ukuran ihwal kesempurnaan tubuh perempuan dan kecantikannya. Jika ukuran itu muncul dalam masyarakat industri, maka sebenarnya masyarakat industri itu sendiri adalah wajah lain dari masyarakat lelaki yang mensubordinasi perempuan.

Rendra, Rumah dengan Banyak Kamar



SEBAGAI seorang seniman dan budayawan, Rendra (1935-2009) tak ubahnya dengan bangunan yang memiliki kamar-kamar besar. Dalam bangunan itulah Rendra menunjukkan dedikasi kesenimannya. Bagi Rendra, kesenian haruslah sejajar dengan kehidupan lainnya. Begitu juga menjadi seorang seniman haruslah berdiri sejajar dengan siapapun, tak terkecuali di depan seorang Jenderal. Di mata Rendra, kemampuan emasipasi seorang individu dalam sebuah hubungan sosial haruslah dipuncaki pada yang disebutnya dengan Ananingsun, marganira, ananira magraningsun (Aku ada karena Anda, Anda ada karena aku).

Menyoal Film Biografi



SAMBUTAN masyarakat yang menggembirakan atas film “Sang Pencerah” tampaknya menjadi sinyal mencerahkan dalam mencermati gejala berikutnya dari perkembangan film Indonesia. Kesuksesan film yang mengisahkan perjuangan pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan ini, seolah mengirim isyarat baik pada agenda produksi film Indonesia yang berangkat dari kisah hidup para tokoh.

Sejumlah film biografi berikutnya akan segera hadir dan berharap bisa mengikuti kesuksesan “Sang Pencerah”.  Isyarat yang sebelumnya telah dikirim sejak tahun 2005 oleh “Gie”, film garapan Riri Reza yang mengisahkan perjuangan mahasiswa dan aktivis Soe Hok Gie. Film ini menyabet Film Terbaik FFI 2005.  
Dan tak lama lagi, selepas “Sang Pencerah” masyarakat pun akan disugugi beberapa produksi film yang mengusung kisah perjuangan atau penggalan hidup sejumlah tokoh Indonesia yang lain. Sebutlah, film “Inggit Ganarsih” yang menampilkan sosok mantan istri pertama Ir. Soekarno yang akan diperankan oleh Mawdy Koesnadi. 

Panjang Jimat, Pertemuan Agama dan Budaya




IRING-iringan orang yang yang terus menggumamkan shalawat. Lilin-lilin besar dan obor, lalu sejumlah orang yang membawa benda-benda pusaka keraton, termasuk piring keramik berukuran besar berumur ratusan tahun yang disebut Panjang, yang juga dikenal dengan Ambeng Rasul.  

 Ada juga beberapa jenis senjata, gerabah (keramik) dalam berbagai bentuk dan ukiran, juga makanan yang tertutup kain merah dan putih yang dijunjung oleh para lelaki berpakaian hitam-hitam. Selain itu, sejumlah orang juga membawa berbagai perangkat sebagai simbolisme dari peristiwa persalinan atau kelahiran anak manusia.  

Kamis, 22 Maret 2012

Erotisme Dalam Seni Tradisi




MARILAH kita mulai dari akhir tahun 1980-an, ketika tari Jaipongan karya Gugum Gumbira marak di Jawa Barat. Maraknya jenis tarian pergaulan yang lincah ini  ketika itu merupakan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam apresiasi masyarakat terhadap tari tradisi. Ketika itu,  jaipongan tak hanya seolah-olah telah jadi pertunjukan wajib di pesta-pesta hajatan, di tepi jalan hingga dalam gang, atau yang kemudian diikuti oleh bermunculannya  berbagai group-group jaipongan di banyak kota.

Melainkan juga dibarengi oleh munculnya banyak kursus jaipongan yang diminati oleh remaja-remaja perkotaan, dan itu tak hanya terjadi di Jawa Barat. Jaipongan agaknya, ketika itu, seakan-akan tengah menjadi representasi dari resistensi seni tradisi terhadap gempuran seni-seni (Barat) modern.

Namun ternyata ada juga berbagai pihak yang mengkritisi jaipongan atas nama kepatutan

Dadi P. Danubrata, "Sepanjang FDBS Masih Ada, Bahasa Sunda Tidak Akan Hilang"


GEDUNG Kesenian (GK) Rumentang Siang Bandung, tahun 2006. Ratusan anak muda datang dengan bus dan truk borongan. Suasana begitu ramai dan sibuk. Mereka adalah 53 kelompok teater yang datang dari berbagai kota di Jawa Barat. Garut, Cianjur, Bandung, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, Cimahi, Subang, dan sejumlah kota lainnya. Mereka datang berbondong,  berkumpul di Rumentang Siang untuk sebuah festival, “Festival Drama Basa Sunda (FDBS) Ke-IX”.  Sebuah festival yang telah jadi tradisi duatahunan yang diadakan oleh kelompok Teater Sunda Kiwari (TSK).

Dalam mini bus dan truk itu mereka

Kamis, 15 Maret 2012

Cihampelas (3), Belanja dalam Ruang Visual


BEGITU turun dari kendaraan, pandangan anak lelaki itu langsung tertuju pada Spiderman yang melayang di atas sebuah toko, yang ada di seberangnya. Spiderman berukuran massif itu adalah sebuah patung dalam pose yang sedang mengangkang. Kedua tangannya terbuka. Di belakangnya lanskap sebuah kota di kejauhan dan jejaring. Entah apa yang sedang dibayangkan oleh anak lelaki umur lima tahunan itu. Mungkin dalam fantasinya, super hero yang sering disaksikannya dalam film itu sedang melesat, meloncat-loncat di antara gedung sambil menyemburkan jaring laba-labanya nan ajaib.

Bunga Plastik di Atas Makam R. A. Wiranatakusumah II


SEBUAH makam memang selalu akrab dengan bunga. Baik berupa bunga yang ditaburkan oleh peziarah atau bunga yang sengaja ditanam dan juga berfungsi semacam tanda, biasanya ditanam dekat nisan seperti banyak ditemukan di pemakaman umum. Tapi menemukan makam dengan bunga plastik dalam pot yang ditaruh di atas makam, mungkin sesuatu yang unik (untuk tidak menyebutnya aneh).Dan inilah yang ditemukan di makam pendiri Kota Bandung, Rd. Adipati Wiranatakusumah II (1789-1829) dan istrinya Ny. Rd. Ayu Kendran.


Prof. A.D. Pirous, 80 Tahun Kemudian



SUATU kali di tahun 1960, sekelompok seniman yang menyebut dirinya Sanggar Seniman, mengadakan pameran bersama di Balai Wartawan  Bandung (depan Hotel Savoy Homan) Pada hari pembukaan datanglah seorang pengunjung, orang Kanada. Ia mengamati sebuah lukisan dan bertanya pada senimannya apakah karya itu dijual. Si seniman terkejut karena baru kali ini ia mendapat pertanyaan semacam itu. Karena gugup ia pamit sebentar untuk melapor pada teman-temannya. Dengan polos dan kebingunan ia ceritakan bahwa ada orang asing yang ingin membeli karyanya.

“Ya, sudah jual saja,” kata But Moechtar,

Simulakra China


SUATU hari, dalam sejarah China ketika kerajaan-kerajaan saling bertempur.  Kedua pasukan kuda berhadapan di sebuah areal yang luas. Di depan sebuah benteng yang sedang diperebutkan. Pasukan kuda hitam yang gagah, bendera-bendera merah dan kuning, lalu pertempuran yang penuh teriakan, dan kuda-kuda yang menderu.  Di atas kuda hitam mereka yang gagah, para prajurit mengayunkan pedang, menebas, memanah, dan saling berkejaran.  Suara terompet, ledakan mesiu, dan lambaian bendera di atas benteng. 

Candi Batujaya Membantah Teori Lama



KOMPLEKS percandian Batujaya yang dibangun sekira pada abad IV Masehi dengan menggunakan batu bata sebagai bahan bangunan, telah membantah teori lama yang selama ini masih dipertahankan. Teori itu menyebutkan bahwa candi yang terbuat dari batu dipandang sebagai bangunan dari periode yang lebih tua. Dan candi yang terbuat dari bata dianggap berasal dari periode yang lebih muda, yakni, periode akhir Hindu Budha. Dengan begitu, menilik periode pembangunan candi Batujaya di Karawang Jawa Barat, diketahui bahwa tradisi pembuatan candi dengan bahan bangunan batu bata sudah ada sejak awal. Dan itu tidak melulu harus ditempatkan pada babakan terakhir masa Hindu Budha.

Menyelamatkan Bedaya Kajongan


GERAK  mereka pelan, suara gending seolah sayup. Mereka melangkah dengan sepasang tangan yang sesekali terangkat ke samping dengan jemari membentuk pola mirip ukel, luwes dan tegas. Gerak mereka terasa monoton dan berat dalam suasana yang kontemplatif. Demikian pula suara gending.  Keduanya membuat lingkaran dalam jarak yang saling berseberangan. Sebagai penari tubuh mereka, Ratu Anah Sukaningrat (63) dan Raden Nurmini (66),  sudah tidak muda lagi. Tarian itu bagi mereka seakan menjadi ziarah pada masa silam, ketika keduanya masih muda sebagai penari keraton. Sesekali tampak gerakan mereka seperti tertahan, meraba ingatan tubuh mereka.

Senin, 05 Maret 2012

Lima Sajak


Lubuk Kata

Di lubuk kata
aku ular yang memancarkan sisiknya—
lebih berkilauan dari mahkota seorang pembesar
tubuhku terus memanjang. Melampaui ruang, cahaya,
dan bayang. Berlindunglah dariku. Aku mimpi

Jumat, 02 Maret 2012

Narasi Hasrat dan Romantika Urban

MAO Ze Dhong masuk dan berdiri di depan pintu kamar. Sambil memegang topinya, matanya mendelik ke arah perempuan yang duduk di atas ranjang, di balik kelambu. Perempuan itu bergaun merah menyala dengan model yang banyak dipakai oleh gadis-gadis Cina.

Seperti Ketua Mao, perempuan itu bertubuh gemuk. Dia duduk di tepi ranjang. Sikap tubuhnya tampak ragu dan malu-malu. Sebelah tangannya menarik kain kelambu, menutupi separuh tubuh dan wajahnya. Tapi di antara celah kain kelambu, tampaklah ekspresi wajah perempuan itu. Matanya terpejam dan mulutnya setengah terbuka.

Di antara celah kain kelambu, dengan rambut pirang dan ekspresi wajahnya yang tak asing, jelaslah siapa