SEBUAH nama tempat atau benda
dikenal karena keduanya ada serta berfungsi. Tapi, manakala keduanya kehilangan
fungsinya, niscaya kata itu berangsur-angsur dilupakan. Bahkan, oleh generasi
seterusnya kelak kata itu menjadi asing. Jika pun kata itu masih ada, maka itu
hanya berupa jejak dalam kamus. Sebutlah, kata “perangko”. Meski sebagai benda
perangko masih bisa ditemukan, tapi sebagai kata ia mulai asing karena
fungsinya dalam surat menyurat telah digantikan oleh ponsel, surel (e-mail),
dan jejaring sosial.
Seperti kata “perangko”, begitulah nasib bioskop. Sebagai benda atau nama tempat ia masih ada. Di Bandung, misalnya, kita bisa menemukannya di sejumlah kawasan. Termasuk di pusat kota seperti di alun-alun atau di Jl. Braga. Tapi, itu tak lebih sekadar bangunan yang telah kehilangan fungsinya sebagai tempat orang menonton film. Kata “bioskop” biasanya baru muncul setelah nasib bangunannya yang bersejarah diusik demi kepentingan yang lebih pragmatis. Seperti bangunan bekas bioskop Rio Cimahi yang dirombak, sebelum bioskop yang berdiri sejak tahun 1937 itu kini beralih menjadi pusat penjualan ponsel. Terakhir, kata “bioskop” muncul lagi sehubungan dengan nasib bekas bangunan bioskop Pasific di Sumedang.
Seperti kata “perangko”, begitulah nasib bioskop. Sebagai benda atau nama tempat ia masih ada. Di Bandung, misalnya, kita bisa menemukannya di sejumlah kawasan. Termasuk di pusat kota seperti di alun-alun atau di Jl. Braga. Tapi, itu tak lebih sekadar bangunan yang telah kehilangan fungsinya sebagai tempat orang menonton film. Kata “bioskop” biasanya baru muncul setelah nasib bangunannya yang bersejarah diusik demi kepentingan yang lebih pragmatis. Seperti bangunan bekas bioskop Rio Cimahi yang dirombak, sebelum bioskop yang berdiri sejak tahun 1937 itu kini beralih menjadi pusat penjualan ponsel. Terakhir, kata “bioskop” muncul lagi sehubungan dengan nasib bekas bangunan bioskop Pasific di Sumedang.