Kamis, 15 Maret 2012

Bunga Plastik di Atas Makam R. A. Wiranatakusumah II


SEBUAH makam memang selalu akrab dengan bunga. Baik berupa bunga yang ditaburkan oleh peziarah atau bunga yang sengaja ditanam dan juga berfungsi semacam tanda, biasanya ditanam dekat nisan seperti banyak ditemukan di pemakaman umum. Tapi menemukan makam dengan bunga plastik dalam pot yang ditaruh di atas makam, mungkin sesuatu yang unik (untuk tidak menyebutnya aneh).Dan inilah yang ditemukan di makam pendiri Kota Bandung, Rd. Adipati Wiranatakusumah II (1789-1829) dan istrinya Ny. Rd. Ayu Kendran.



Makam Bupati Bandung  ke VI  yang juga dikenal dengan Dalem Bandung ini terletak di Jln. Dalem Kaum, persis di bagian belakang Masjid Agung Jawa Barat, di tengah kepungan bangunan pertokoan. Dari arah Jln. Dalem Kaum, pintu gerbang menuju makam terletak di antara dua toko, berupa jalan kecil dengan gapura yang nyaris ditutupi oleh plang-plang toko. Kiri-kanan jalan itu adalah para pedagang dan warung makan, juga tempat parkir. Setelah melewati Pos Hansip tampaklah sebuah pintu kecil bercat putih dengan plang di atasnya, bertuliskan “Situs Makam Pendiri Kota Bandung R.A. Wiranatakusumah II”.

Seperti tampak hari itu (28/7), kompleks makam resik dan bersih meski tetap gaduh oleh suara kendaraan, pedagang VCD, hingga pengeras suara dari berbagai toko. Kompleks makam itu tidak terlalu besar, lebih menyerupai kompleks pemakaman keluarga. Dan tampaknya demikianlah adanya. Di dalamnya terdapat makam sejumlah keluarga dan kerabat R.A. Wiranatakusumah. Dalam kompleks makam itulah terdapat sebuah cungkup, dibatasi tembok yang tidak begitu tinggi sehingga dari luar orang masih melihat ke dalam.

Dalam cungkup itu terdapat empat makam berderet. Lantai makam terbuat dari keramik putih. Tiga makam di antaranya berdampingan, yakni, makam Rd. Mochamad Soleh (Hoofd-Penghulu Kab. Bandung), Rd. Tmg. Male Wiranakusumah (Bupati Bandung Ke-XV), Ny. Rd. Ayu Kendran (istri Rd. A. Wiranatakusumah II  dan putri Rd. Tmg. Ardikusumah). Sedangkan makam Rd. A. Wiranatakusumah II terletak di samping makam istrinya, terjarak satu meter. Ketinggian makamnya juga lebih tinggi dari tiga makam lainnya.

Lantai dan permukaan makam terbuat dari keramik putih. Seluruh sisi makam berupa kayu jati berwana hijau. Kecuali makam Rd. Mochamad Soleh, nisan tiga makam lainnya berupa kayu jati berbentuk segilima memanjang yang penuh ukiran warna emas. Meski terawat, tapi tampak debu menempel di sekitar makam, termasuk pada bagian kelopak bunga plastik dan nisan sehingga warna keemasannya terkesan pudar. 

Berbeda dari dua makam lainnya, makam Rd. A. Wiranakusumah II dan istrinya dihiasi payung putih jumbai-jumbai warna emas pada bagian kepala nisan. Dalam buku Dr. Nina H. Lubis Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, payung putih merupakan payung kebesaran dan alat pusaka seorang bupati yang derajatnya paling tinggi. Agaknya karena itulah mengapa makam Rd. Tmg. Male Wiranakusumah (1911-1992) tidak dihiasi payung putih, meski putra Rd. A. Wiranatakusumah V  (1893-1965) ini  juga seorang bupati.
                                                                     **
RD. A. Wiranakusumah II merupakan bupati yang memindahkan ibu kota Kab. Bandung dari Krapyak (Dayeuhkolot) ke Bandung,  karena Krapyak merupakan daerah yang kerap diserang banjir. Bersamaan dengan itu, Gubernur Jenderal Daendels juga tengah membangun jalan Anyer-Panarukan yang melintasi kawasan yang kelak menjadi Kota Bandung. Pada masa itu kawasan yang bakal menjadi Kota Bandung masih berupa hutan dan rawa. Tempat yang ditetapkan ketika itu terletak di sebelah barat Sungai Cikapundung (alun-alun sekarang), tak jauh dari sebuah jalan yang akan dibangun menjadi Jalan Raya Pos.

Bersama seluruh rakyatnya mulailah Rd. A. Wiranatakusumah II membuka hutan untuk menjadi tempat ibu kota baru, dengan bangunan pertama pendopo kabupaten (sekarang rumah dinas Walikota Bandung). Pada tanggal 25 September 1810 keluarlah besluit (keputusan) yang menyatakan perpindahan ibu kota Kab. Bandung dari Dayeuhkolot ke Cikapundung (Bandung). Tanggal dan bulan inilah yang menjadi penanda lahirnya kota Bandung.

Dan kini, hampir dua abad kemudian, makam founding-fathers kota Bandung itu berada di tengah keramaian kota yang didirikannya. Tak ada kuncen atau informasi apapun di kompleks makam itu selain sebuah peta makam sederhana yang ditulis tangan. Tak ada keterangan apapun, semacam informasi tertulis, yang bisa memberi keterangan lain selain tulisan pada makam. Jika pun ada,  itu hanya informasi seadanya dari dua orang anggota Hansip.

“Selain keluarga, banyak juga yang suka ziarah ke sini. Turis atau peziarah dari Jawa, atau pejabat dari Kab. Bandung, terutama malam Jumat Kliwon. Kalau pejabat dari Kota Bandung saya kurang tahu,” ujar Purwanto, salah seorang Hansip.

Hampir dua ratus tahun yang lalu, mungkin Rd. Wiranatakusumah II tidak akan pernah mengira bahwa hutan yang dibukanya itu akan menjadi sebuah kota dengan sebutan “Kota Kembang”. Dan tentunya itu bukanlah kembang plastik, seperti yang kini ditancapkan di makamnya. (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 29 Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar