Senin, 05 Maret 2012

Lima Sajak


Lubuk Kata

Di lubuk kata
aku ular yang memancarkan sisiknya—
lebih berkilauan dari mahkota seorang pembesar
tubuhku terus memanjang. Melampaui ruang, cahaya,
dan bayang. Berlindunglah dariku. Aku mimpi

buruk bagi keledai pesolek yang memuja
dirinya di permukaan air

Pada batu-batu karang kemerahan
aku menaruh telurku. Menetaskannya
dengan dendam dan kesedihan. Aku telah
membunuh seekor hiu dengan gigitan
yang paling lembut  

Di lubuk kata
berselubung cahaya hangat  
aku bergelung. Membuat kerajaan kata
dari keindahan dan kejahatan. Sisikku berlepasan
pergantian yang lebih kekal dari apa yang kau sebut
sebagai waktu. Desisku membuat burung-burung
berjatuhan dari langit

Pada air menggenang dan buah pohonan
aku menaruh telurku. Kata-kata dan tubuhku
terus membesar. Melampaui ruang, cahaya, dan bayang
tak ada tempat berlindung dariku. Dari lubuk ini
aku mengutukmu menjadi keledai pesolek
yang memuja dirinya di permukaan air
lalu membunuhmu dengan gigitan

yang paling lembut...    
   
2011


Sulamadaha

Di sini langit menjadi air
angin membuat pusaran lembut
di perairan dekat cekungan pulau

Lalu ada yang lenyap perlahan
terhisap dalam kepasrahan

Mataku terpejam. Melintas
biduk atas bayang tubuhku. Lalu
alun menghapus waktu dari tubuhku
menghapus seluruh nama kejahatan
kubiarkan ciuman-ciumanmu
membuat ikan-ikan
terbangun

Kubiarkan tubuhmu menghisapku

Di sini langit dan air
menjadi tubuhmu. Matamu terpejam,
dan kata-katamu berwarna biru. Angin
membuat alun, menenun kelopak
bunga di bentangan kain bajumu

Lihat, Artyana, kubawa biduk
ke tengah air. Ke pusaran lembut
tubuhmu—dekat cekungan pulau itu

Lalu ada yang lenyap perlahan
terhisap dalam kepasrahan 
  
Langit dan seluruh pulau terpejam


2011


Malam yang Buruk

Ini malam yang buruk
asap ganja, perut yang lapar,
langit-langit gedung yang mengerikan—
lambang negara dan potret sepasang lelaki
yang entah apa gunanya. Sebaiknya aku pergi
sambil mengingat-ingat potongan sebuah lagu
seperti mencari-cari wajahmu. Aku melupakan
lagu itu tapi sepasang matamu telah lebih dulu
menghisap pikiranku

Aku berjalan dengan sepasang mata
yang tak punya pikiran—di sebuah malam
ketika listrik seluruh kota dipadamkan
dan hujan diturunkan

Ini malam yang buruk
asap ganja, perut yang lapar,
bayangan bahwa malam ini aku bisa
saja mati. Aku ingin menangis untuk ketakutan
dan kesedihan banyak orang. Kuingat sebuah puisi
dan kulupakan. Aku tak ingin memikirkan apapun

Aku berjalan dengan pikiran
yang tak lagi punya siapapun. Sepatuku basah
dan berlintah. Orang-orang memandangku—
merogoh-rogoh pikiranku, mencari-cari namamu
seperti suara yang memanggil-manggil ibu

Asap ganja, perut yang lapar,
jendela-jendela rumah dan gedung
tertutup, seperti mata yang terpejam

Ini malam yang buruk...

2011


Rumah Sakit Hasan Sadikin

Aku sakit. Orang-orang terbaring
di atas tubuhku. Mereka demam. Angin
membawa debu ke rambut dan misaiku—
membawa banyak suara—juga potongan gambar
cahaya menetes dari lubang atap. Ular itu
bergelung di atas lemari obat

Memandang aku

Aku sakit. Aku terbaring
di atas tubuh setiap orang. Mereka bekerja
siang dan malam. Tubuh mereka penuh suara
ambulan. Aku berlari membawa tubuh ibu
mendorong brankar sepanjang lorong bangsal—
ke ruang cuci darah. Langit menetes
dari lubang atap. Ular itu
mendesis

Memandang aku

Aku sakit. Orang-orang mengerang
di atas brankar. Angin menghembus lengang—
berbagi dingin dengan bayang. Potongan gambar
dan suara berjatuhan di lantai, seperti air hujan
di loket pendaftaran  kata-kata menunggu sambil
berusaha keras mengucapkan sebuah nama. Tubuhnya
bau kamper. Gelap menetes dari lubang atap. Ular itu
mendekat

Menjalar di atas tubuhku

2011
  

Merdeka Walk, Medan

Gedung-gedung tua berwarna jam 5 sore
lapang terbuka, dua gelas bir, kebab Turki
misai dan rambut Idris yang putih. Idris bercerita
tentang Amir, revolusi, kematian, dan bendera
Langkat yang masih dikibarkan

Langit kuning. Matahari
berdiri di pinggir sungai Deli. Bayang
pohon di persimpangan. Angin dihembuskan
dari tenggara. Bau tubuh koeli, suara sepatu
Nienhuys memindahkan Deli Maastschappij—
menjauhi kota sultan

Seperti Priangan, kota ini terbuat dari jejak
sepatu tuan-tuan perkebunan. Bunga tembakau,
ukiran pucuk rebung dan langit-langit
Istana Maimoon yang berdebu   

Juga revolusi, kata Idris

Dan revolusi tak pernah
memerlukan apapun selain kebencian—
juga ketika ia menjadi silam. Tapi Idris masih
bercerita tentang Amir dan kematian para bangsawan
rambut dan misainya semakin putih, seperti benang
kain kafan

Gedung-gedung tua berwarna jam 5 sore
lapang terbuka dan kota yang berayun-ayun
lengang di tubuhku    
   

2011



Sumber : Kompas 4 Maret 2012





































  





  


         










Tidak ada komentar:

Posting Komentar