Kamis, 15 Maret 2012

Candi Batujaya Membantah Teori Lama



KOMPLEKS percandian Batujaya yang dibangun sekira pada abad IV Masehi dengan menggunakan batu bata sebagai bahan bangunan, telah membantah teori lama yang selama ini masih dipertahankan. Teori itu menyebutkan bahwa candi yang terbuat dari batu dipandang sebagai bangunan dari periode yang lebih tua. Dan candi yang terbuat dari bata dianggap berasal dari periode yang lebih muda, yakni, periode akhir Hindu Budha. Dengan begitu, menilik periode pembangunan candi Batujaya di Karawang Jawa Barat, diketahui bahwa tradisi pembuatan candi dengan bahan bangunan batu bata sudah ada sejak awal. Dan itu tidak melulu harus ditempatkan pada babakan terakhir masa Hindu Budha.


Dan berdasarkan adanya kulit padi yang digunakan sebagai campuran tanah liat dalam teknologi pembuatan bata  daerah Batujaya di masa lampau itu, juga adanya jejak pembuatan sejumlah kanal, diperoleh juga beberapa petunjuk baru. Salah satu di antaranya adalah petunjuk bahwa masyarakat daerah pantai utara Jawa bagian barat di masa itu merupakan masyarakat agraris yang telah menanam padi dengan sistem irigasi. Karena itulah, anggapan bahwa masyarakat Jawa Barat (Sunda) sebagai masyarakat peladang perlu ditinjau kembali.

Demikian pemaparan Dr. Hasan Djafar yang sebagai pembicara pada hari kedua International Conference on Sundanese Culture di Hotel Salak Bogor, Selasa (26/9). Dalam pandangan pengajar Universitas Indraprasta Jakarta yang telah duapuluh tahun melakukan berbagai penyelidikan sejarah ihwal komplek percandian Batujaya, candi ini dapat dipastikan merupakan sebuah kompels percandian agama Budha Mahayana yang tertua di Jawa.

“Penggunaan kulit padi sebagai bahan campuran tanah liat dalam teknologi pembuatan batu bata, memberi petunjuk ke arah adanya kegiatan pertanian berupa penanaman padi di sawah. Ini bisa kita interpretasikan bahwa masyarakatnya adalah masyarakat agraris. Dan ini juga membuat kita harus memeriksa kembali teori lama yang menyebutkan bahwa masyarakat Jawa Barat (Snda) adalah masyarakat peladang, “kata Dr. Hasan Djafar.

Sebagaimana tertulis dalam berbagai sumber asing, rute pelayaran dan perdagangan antara India dan Cina ramai melewati kawasan Asia Tenggara sejak awal tarikh Masehi. Sepanjang jalur ini tumbuh pusat-pusat pemukiman dan perdagangan yang ramai. Kondisi inilah yang dipastikan telah memberi pengaruh pada perkembangan lokal, seperti daerah pantau utara Jawa Barat. Dan inilah yang melahirkan corak perkembangan sosial budaya sebelum terbentuknya kerajaan Tarumanagara.

“Hingga kini telah terindeintifikasi tigapuluh situs yang tersebar di areal seluas lima kilometer. Dari 22 situs yang telah diekskavasi diketahui terdapat 16 struktur bangunan candi yang terbuat dari bata. Dari bentuk dan struktur bangunannya, tiga candi merupakan candi berbentuk stupa,” ujarnya lagi.

Di kompeks percandian ini, jelas Dr. Hasan Djafar,  juga ditemukan sejumlah inskripsi yang dituliskan oada lempengan emas, pada materai (votive table) dan lempengan terakota yang ditulis dengan aksara Palawa dan bahasa sanskerta, berisi ayat-ayat suci agama Budha tentang ajaran karma yang bersumber pada kitab Pratityasamutpada sutra.

“Secara paleografi, aksara pada prasasti-prasasti Batujaya ini berasal dari masa antara abad ke-7 dan ke-8,” paparnya lagi, seraya menambahkan bagaimana arca-arca dan hiasan stuko (beton) yang ditemukan memerlihatkan ciri-ciri kesenian agama Budha yang berasal dari Nalanda, India.

Pemaparan Dr. Hasan Djafar ihwal berbagai seluk beluk kompleks percandian Batujaya adalah sesi satu-satunya pada hari kedua konferensi. Pemaparan ini merupakan pengantar sebelum peserta konferensi diajak mengunjungi langsung kompleks percandian Batujaya. Di situ terdapat dua candi, yakni, Candi Jiwa dan Candi Blandongan. 

Menurut Duta besar Indonesia untuk Unesco Dr. Ir. Tresna Dermawan Kunaefi, kompleks percandian Batujaya memiliki potensi untuk menjadi bagian dari warisan dunia. “Hanya soalnya bagaimana sekarang kita menyiapkan berbagai infrastruktur dan kelengkapan perawatan dan pelestariannya, sehingga bisa dimasukkan oleh Unesco menjadi salah satu warisan dunia yang harus dilindungi. Dan itu butuh keseriusan,” katanya. (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 27 September 2011)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar