Jumat, 23 Maret 2012

Panjang Jimat, Pertemuan Agama dan Budaya




IRING-iringan orang yang yang terus menggumamkan shalawat. Lilin-lilin besar dan obor, lalu sejumlah orang yang membawa benda-benda pusaka keraton, termasuk piring keramik berukuran besar berumur ratusan tahun yang disebut Panjang, yang juga dikenal dengan Ambeng Rasul.  

 Ada juga beberapa jenis senjata, gerabah (keramik) dalam berbagai bentuk dan ukiran, juga makanan yang tertutup kain merah dan putih yang dijunjung oleh para lelaki berpakaian hitam-hitam. Selain itu, sejumlah orang juga membawa berbagai perangkat sebagai simbolisme dari peristiwa persalinan atau kelahiran anak manusia.  


Di bagian lain, juga barisan perempuan berbaju kuning. Mereka adalah perawan sunti, para abdi dalem yang seumur hidupnya tak pernah menikah. Mereka terus berjalan dengan khusyu sambil menggumamkan shalawat. Di barisan dua orang lelaki merentangkan bendera sebagai lambang Keraton Kanoman, warnanya hijau bergambar Macan Ali. Tampak Pangeran Patih PRM Qodiran yang mewakili Sultan Kanoman XII Sultan Raja Muhammad Emiruddin. Ia memakai jubah emas dan menggunakan surban putih bermahkota kecil, dia memimpin puncak acara maulid. Dalam ritual itu ia ditabukan untuk berbicara sepatah katapun.

Hujan lebat yang turun malam itu, Minggu (4/1), bahkan hingga menggenangi kompleks keraton hingga semata kaki, tidaklah mengurangi khusunyu ritual tersebut. Demikian pula dengan ribuan pengunjung yang berjubel mengikutinya. Mungkin hanya kebetulan belaka ketika benda-benda pusaka itu dikeluarkan dan mulai bergerak dari Bangsal Jinem menuju masjid keraton, hujan tiba-tiba saja sedikit reda.  

Memasuki pelataran masjid, arak-arakkan benda pusaka itu terus disambut dengan shalawat para pengunjung. Suasana khidmat dan khusyu. Di pelataran masjid, banyak sekali pengunjung yang berusaha menyentuh benda-benda pusaka lalu mengusap tangan ke wajahnya. Begitu juga para perempuan yang melemparkan ujung selendangnya ke arah benda pusaka, lalu mengusapkannya ke wajah. Mereka percaya bahwa benda-benda pusaka itu membawa berkah bagi nasib dan peruntungan.  


Sedang dari arah bangsal perawit terdengar suara gamelan Sekati yang dimainkan oleh sejumlah lelaki berbaju putih-putih. Gamelan berusia ratusan pemberian Kesultanan Demak ini memang hanya dikeluarkan dalam ritual Panjang Jimat, dengan memainkan lagu-lagu tertentu.Satu-persatu seluruh benda pusaka dibawa ke dalam masjid keraton. Lalu hujan lebat kembali turun.

Seperti di dua keraton lainnya, perayaan Panjang Jimat di Keraton Kanoman berlangsung dengan khidmat. Guyuran hujan dan air yang tergenang sampai sebatas mata kaki ternyata tak mengurangi antusiasme masyarakat yang berjubelan pada malam puncak perayaan Panjang Jimat (pelal ageng). Seluruh prosesi mereka ikuti dengan khusyu, mulai dari iringan-iringan pusaka menuju masjid tempat berlangsungnya pembacaan Barzanzi

Demikian pula ketika benda-benda pusaka dikeluarka dari masjid tepat pukul 00.00 WIB, untuk diarak dan disimpan kembali di pajimatan. Nasi jimat yang sudah didoakan pun lantas dibagikan, untuk masyarakat dan keluarga keraton.
                                                                   
                                                                       **
KELAHIRAN orang suci, oleh berbagai agama dan kepercayaan, memang selalu diperingati sebagai ritual perayaan yang berlangsung saban tahun. Makna ritual perayaan tentu bukan hanya demi merawat ingatan kolektif pada sosok yang disucikan tersebut.   Melainkan adalah juga bentuk pemaknaan atas arti kelahiran dan hidup. Di situ peristiwa kelahiran dimaknai sebagai peristiwa awal yang menciptakan kedirian seseorang. Demikian pula dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SWA yang dikenal dengan tradisi muludan. Peringatan yang dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabbiul Awal Hijriah.

Dalam berbagai budaya di Indonesia, muludan telah menjadi tradisi dengan berbagai pula bentuk dan ragam peringatannya. Mulai dari pengajian masyarakat perkotaan, ritual atau acara-acara khusus di banyak pesantren, hingga masyarakat padesaan dan keraton. Sebutlah, Adat Baayun Maulid di Banjarmasin, Jamba (Pariaman), Sekaten (keraton Solo dan Yogjakarta), dan Panjang Jimat di tiga keraton di Kota Cirebon. 

Umumnya, perayaan muludan ini meletakkan maknanya pada apa dan bagaimana kelahiran manusia. Seluruhnya disimbolisasikan lewat makanan dan benda-benda pusaka yang dimandikan dan diarak.
Demikian pula yang berlangsung di tiga keraton di Kota Cirebon. Tradisi perayaan Muludan (pelal) yang dikenal dengan Panjang Jimat, yang serempak dilaksanakan di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Sebuah ritual yang dalam catatan sejarawan dan budayawan Cirebon Alm. T.D Sudjana disebut telah berlangsung sejak tahun 1479 ketika Sunan Gunung Jati dilantik sebagai Panetep Panatagama Sinarat Sunda (Penanggungjawab pengembangan agama Islam di seluruh kawasan Sunda) oleh para wali.    

Sebagai peristiwa sakral, seperti umumnya perayaan muludan, Panjang Jimat menjadi ruang pertemuan antara agama dan budaya. Di situ agama dihayati sebagai cara untuk memaknai kelahiran manusia lewat kelahiran Kangjeng Rasul. Kelahiran yang menjadi permulaan bagi manusia untuk memasuki proses kediriannya. Kesadaran inilah yang disimbolkan oleh arak-arakkan Panjang Jimat. Dan peristiwa simbolisasi atas kesadaran tersebut hadir sebagai corak dari suatu budaya. Termasuk dengan iring-iringan benda pusaka, juga iringan suara gamelan yang dianggap pusaka dan keramat.   

Pengertian jimat dalam hal ini dipahami sebagai sebuah benda memiliki makna yang mengingatkan setiap orang pada suatu momentum penting dalam proses permulaan identitasnya. Benda-benda itu menjadi pusaka bukan lantaran karena usianya yang ratusan tahun. Melainkan ia dimaknai pusaka karena benda-benda itu menjadi medium yang menghubungkan kesadaran kekinian dan masa lampau. Ia menjadi pusaka karena menyimpan ingatan kolektif masyarakatnya. Lewat benda-benda itulah identitas dan ingatan komunal dirawat. 

Budaya, dalam hal ini budaya dan tradisi keraton Cirebon, hadir demi memberi penanda pada kesadaran religius ihwal manusia dan kelahirannya. Penanda yang tentu saja berlainan dengan penanda kultural yang ditemukan di Solo dan Yogjakarta atau di daerah lainnya. Meski intinya gagasan yang dihadirkan tetap sama, yakni, merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW seraya melantunkan berbagai pujian untuk menegaskan makna kelahiran manusia.  

“Setiap muludan saya selalu ke Cirebon untuk ikut pelal ageng, ngalap (mencari) berkah,” ujar Mulyono warga Brebes yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang, sambil dengan hati-hati meletakkan nasi jimat yang diperolehnya ke dalam tas. Lalu dengan khusyu ia kembali mengikuti iring-iringan yang membawa benda-benda pusaka, dan bibirnya terus menggumamkan shalawat.  (Ahda Imran)



“Nasi Rasul”, Piring Keramat Peninggalan Cakrabuana


DI antara benda-benda pusaka yang diarak dalam ritual Panjang Jimat, terdapat piring keramik besar dengan diameter sekira 500 Cm. Piring dengan warna putih yang dipenuhi motif bunga tersebut merupakan pusat dari arak-arakkan Panjang Jimat. 

Piring keramik inilah yang disebut Panjang, inti dari seluruh benda pusaka keraton dalam perayaan muludan Panjang Jimat. Ada yang menyebut piring ini dengan Amben Rasul, karena dipercaya piring ini pernah digunakan makan oleh Nabi Muhammad SAW.

Tapi dalam catatan T.D Sujana, piring keramik ini merupakan pemberian Sanghyang Bango, tokoh dalam naskah babad Cirebon. Seorang pendeta Budha yang memeluk Islam. Ia dikisahkan bertemu dengan Pangeran Cakrabuana. Putera Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja yang masuk Islam dan menjadi pendiri kerajaan Pakungwati di Cirebon.

Piring pusaka inilah yang setiap tahun dikeluarkan dalam ritual Panjang Jimat. Sehari sebelum pelaksanaan puncak muludan, dalam ritual pelal alit, piring pusaka ini dimandikan oleh keluarga keraton.
“Ritual pemandian ini berlangsung di ruang tertutup, tidak terbuka untuk umum, dan hanya boleh dimandikan oleh perempuan keraton yang bergelar Ratu,” ujar Ratu Arimbi, adik Sultan Kanoman  XII Sultan Raja Muhammad Emiruddin.  


Dalam rangkaian ritual Panjang Jimat, piring “Nasi Rasul” tersebut menjadi wadah untuk memindahkan nasi dan makanan yang akan dibagikan pada masyarakat dan untuk keraton. Dalam acara Buang Takir, setelah disimpan dalam langgar keraton bersama sejumlah hidangan, piring “Nasi Rasul” kemudian dibawa ke paseban. Hidangan dan makanan yang dibungkus kain dibuka.

Seluruh isinya dipindahkan ke piring “Nasi Rasul”, lalu dari piring keramik pusaka itu makanan dibagi dua. Untuk masyarakat dan untuk keluarga keraton. Piring “Nasi Rasul” kemudian dibawa kembali ke ruang pajimatan, setelah menjadi perantara antara makanan untuk keluarga keraton dan masyarakat.

“Jika benda-benda pusaka tidak diurus, maka akan terkena Gepok, bencana yang berbalik pada orangnya. Dan sampai sekarang itu belum pernah terjadi,” terang Ratu Arimbi. (Ahda Imran) 

    

Ahmad Syubbanuddin Alwy (Budayawan Cirebon),

“Dari Tahun ke Tahun Terasa Monoton”


UPACARA ritual Panjang Jimat yang dilaksanakan saban tahun di tiga keraton di Cirebon, memang terasa monoton sekali. Hampir tidak ada hal yang baru. Semuanya terkesan sudah menjadi "pakem" yang tidak boleh diganggu-gugat. Selain itu, tampak ritus tradisi di dalamnya lebih dominan dalam setiap momen muludan berlangsung. Kesadaran atas makna muludan yang paling tidak menjadi bagian penting, misalnya, dalam syiar Islam, agak sulit untuk di temukan di sana. 

Terlebih, jika orang hendak mengambil makna perhelatan yang paling spesifik, bahwa muludan seharusnya menjadi titik-balik dalam meletakkan aspek-aspek ubudiyah dalam proses keberagamaan yang diajarkan Rasulullah saw. Hal ini juga tidak terlihat.

Demikian hal itu diungkapkan oleh Ahmad Syubbanuddin Alwy dalam perbincangan kami selepas mengikuti seluruh prosesi ritual Panjang Jimat. Ia mengkritisi berbagai pelaksanaan ritus Panjang Jimat yang tak pernah mau melakukan berbagai inovasi dan terjebak jadi rutinitas. Padahal, pra-acara muludan yang jadi bagian dari rangkaian ritus memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw, bisa saja diisi dengan berbagai kegiatan. Mulai dari seminar g seminar/diskusi/sarasehan ttg proses kenabian Muhammad saw pun, tampak tdk pernah ada.

Karena itulah menurut budayawan peraih Anugerah Budaya Jawa Barat tahun 2011 ini, sangat sulit merelevansikan perayaan Panjang Jimat ke dalam konteks masyarakat Cirebon.  “Kecuali keberpihakan dari masyarakat yang masih merupakan kerabat keraton, abdi dalem, atau generasi sepuh yang memiliki kedekatan dengan pihak keraton. Militansi yang terbangun dalam ritus tersebut, selalu  bertolak dlm hubungan patron-klien.
 
Itupun, jika kita cermati, semakin susut. Apa yg disaksikan dalam ritus itu tidak cukup memperlihatkan adanya kreativitas serta progresivitas pihak keraton,”ujar Ketua Yayasan Dewan Kesenian Cirebon (DKC) ini.   

Ritual Panjang Jimat, kata dia bisa kita maknai sebagai titik-temu antara tradisi yang bertolak dari spirit keberagamaan (Islam), dan spirit tradisi demi menghidupkan kembali semangat kebersamaan. Jelas sekali, yang hendak dikembangkan oleh ritus itu semestinya memberikan kesadaran kolektif ihwal proses ukhuwah basyariyah, ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah.

Tiga pilar akulturasi tradisi dan spirit keberagamaan ini, semestinya bisa menjadi model pemahaman makna toleransi maupun solidaritas kehidupan berbangsa.
“Jadi, bukan malah sebaliknya, tradisi setempat yang kemudian mendominasi spirit keberagamaan. Dengan sendirinya, apa yang dpt kita pungut dari ritus Panjang Jimat keraton-keraton Cirebon dalam konteks kehidupan kita sekarang, tidak lebih sebagai "memelihara" tradisi,”paparnya. 

Dalam pandangannya, dari tahun ke tahun ia tak melihat adanya upaya pihak penyelenggara tak adanya upaya membangun dan melibatkan kesadaran publik tentang betapa pentingnya ritual Panjang Jimat.  Dampak pada aktivitas ekonomi bagi para pedagang yang meramaikan perhelatan sekadar spekulasi, untuk meraih keuntungan dan berkah.

“Para penentu kebijakan dalam ritus Panjang Jimat di keraton-keraton Cirebon sudah saatnya melakukan "ijtihad". Membuat ritus muludan dan Panjang Jimat menjadi acara yang ditunggu-tunggu masyarakat. Bukan saja karena mereka akan menyaksikan acara rutin tahunan. Tapi, lebih dari itu ritual itu akan jadi momen yang menyebabkan masyarakat sendiri merasa "harus" terlibat. Ia menjadi ritus yang bisa membuat masyarakat tercerahkan,” ujarnya bersemangat. (Ahda Imran)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar