Kamis, 22 Maret 2012

Dadi P. Danubrata, "Sepanjang FDBS Masih Ada, Bahasa Sunda Tidak Akan Hilang"


GEDUNG Kesenian (GK) Rumentang Siang Bandung, tahun 2006. Ratusan anak muda datang dengan bus dan truk borongan. Suasana begitu ramai dan sibuk. Mereka adalah 53 kelompok teater yang datang dari berbagai kota di Jawa Barat. Garut, Cianjur, Bandung, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, Cimahi, Subang, dan sejumlah kota lainnya. Mereka datang berbondong,  berkumpul di Rumentang Siang untuk sebuah festival, “Festival Drama Basa Sunda (FDBS) Ke-IX”.  Sebuah festival yang telah jadi tradisi duatahunan yang diadakan oleh kelompok Teater Sunda Kiwari (TSK).

Dalam mini bus dan truk itu mereka
tak hanya terdiri dari para pemain dan sutradara, tapi juga supporter. Sambil menunggu giliran tampil, mereka menonton peserta yang tampil. Ada juga yang sibuk melatih beberapa adegan, atau menyiapkan itu-ini denga wajah tegang dan bingung. Tapi tak sedikit juga yang berkumpul, saling berkenalan, tukar-menukar nomor handphone.  Maka sebentar saja, ramailah suasana gedung kesenian itu dengan anak-anak muda yang semuanya bicara dalam bahasa Sunda, dengan berbagai centong dan logatnya.  

Begitulah setiap hari selama dua pekan penyelenggaraan FDBS ke IX. Bahkan begitulah setiap dua tahun sekali. Mungkin sekilas suasana itu lumrah sebagaimana halnya sebuah festival, anak-anak muda yang ingin tampil main drama di panggung untuk dinilai para juri. Untung-untung terpilih sebagai juara, atau tidak paling tidak pernah merasakan main drama dan dinilai oleh juri yang terdiri dari seniman-seniman teater terkenal.  Mungkin benar, tapi tentu makna lebih dari sekadar itu.

Menyaksikan respon dan semangat mereka mengikuti festival drama yang menggunakan bahasa Sunda itu, sayup-sayup ada sesuatu yang sedang mereka jawab ihwal kecemasan banyak orang tentang budaya dan bahasa Sunda. Kecemasan yang selalu mengatakan bahwa anak-anak muda sudah malas dan malu berbahasa Sunda, bahkan mereka tak lagi mengenal budaya Sunda.

“Saya adalah orang yang berani mengatakan bahwa bahasa Sunda tidak akan hilang! Sebab saya punya data. Malah, kalau mau ekstreem lagi, sepanjang Teater Sunda Kiwari dan “Festival Drama Basa Sunda” masih ada, bahasa dan budaya Sunda tidak akan hilang,” kata Dadi. P. Danubrata, pimpinan TSK.

Pernyataan lelaki kekar berkumis tebal ini mungkin terdengar berlebihan. Apa mungkin keberadaan sebuah kelompok teater berbahasa Sunda dengan program festivalnya itu bisa dijadikan alat untuk mengukur hidup dan matinya sebuah kebudayaan? Tentu saja pernyataan Dadi P. Danubrata harus dilihat dari konteks pemahaman ihwal seni drama/teater sebagai dunia yang tak bisa dipisahkan dari budaya dan bahasa yang ada di belakangnya. Dalam seni drama, baik pemain atau pun penonton bukan melulu hanya berada dalam sebuah konflik. Melainkan juga menghadirkan sebuah dunia di atas panggung. Dunia yang berkomunikasi dengan bahasa dan budayanya.

Maka menyebut teater/drama Sunda, maka soalnya bukan melulu bahasa digunakan. Tapi juga budaya di dalam lakon yang mereka mainkan. Lewat seni dramalah sebuah nilai kesadaran budaya dan bahasa bisa ditanamkan. Bukankah ini yang menjadi semangat dari Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah?

FDBS yang diadakan oleh TSK dengan jumlah peserta terus meningkat, adalah data dan fakta kongkret yang bisa dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa apa yang dicemaskan oleh banyak pembesar ihwal anak-anak muda yang malu berbahasa Sunda, terkesan berlebihan. Terakhir, tahun 2006 yang lalu, penyelenggaraan FDBS sudah memasuki yang kesembilan kalinya. Dan untuk tahun 2008 mendatang, penyelenggaraan FDBS ke X akan berlangsung pertengahan bulan Februari. TSK sebagai penyelenggaraan sejak awal bulan November 2007 yang lalu telah mulai membuka pendaftaran.

“Dan hingga awal bulan Desember 2007 ini jumlah kelompok teater yang telah mendaftar tercatat sebanyak 35 kelompok teater,” ujar Dadi P. Danubrata. 

Konsistensi selama 20 tahun TSK menyelenggarakan festival drama berbahasa Sunda akhirnya membuat festival ini tak bisa dipisahkan dari TSK.  Di Bandung dan di Jawa Barat, TSK adalah satu-satunya kelompok teater yang dengan konsisten menyelenggarakan festival teater/drama. Bahkan dalam teater berbahasa Indonesia sekalipun, festival sejenis ini tidak ada.

Dan Dadi P. Danubrata adalah sosok di belakang spirit dan militansi TSK itu. Pria kelahiran Bandung 1950 yang baru saja pensiun dari pekerjaannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemkot Kota Bandung ini, tak pernah surut semangatnya untuk terus menyelenggarakan festival tersebut. Dan satu-satunya yang membuatnya bersemangat itu ternyata hanya satu hal, respon dan antuasiasnya anak-anak muda pada teater berbahasa Sunda. Bahkan ketika menceritakan bagaimana anak-anak muda itu setiap malam tidur di GK. Rumentang Siang selama mengikuti festival, hampir tak bisa dipercaya bahwa lelaki tegap dengan kumis baplang itu harus menahan tangisnya karena terharu.

“Kasihan, kasihan sekali mereka, kami tentu ingin menyediakan mereka penginapan. Mereka tidur rame-rame, ngampar, “ujarnya dengan mata merah dan suara tertahan-tahan.              

                                                                      **
PADA tahun 1988 itu mengapa TSK merasa perlu menyelenggarkan Festival drama Basa Sunda?

Secara pribadi, saya ingin menerapkan pola regenerasi dalam drama basa Sunda bukan hanya berlangsung dalam tubuh TSK saja, tapi juga berlangsung secara lebih luas. Lewat festival inilah diandaikan muncul kelompok-kelompok teater berbahasa Sunda.

Waktu festival pertama itu bagaimana sambutannya?

Yang ikut sembilan kelompok teater, dari Cianjur, dan Sukabumi. Tapi untuk ukuran ketika itu jumlah 9 peserta itu sudah banyak, karena bayangan kami hanya lima group. Apalagi sebelumnya Unpad mengadakan sayembara drama tradisional, pesertanya cuma  empat group.

Menurut Anda setelah sepuluh kali berlangsung, apakah festival ini telah melahirkan aktor-aktor teater berbahasa  Sunda?

Belum ada. Kelihatannya fokus dan semangat mereka lebih pada keinginan mengikuti festival. Proses selanjutnya belum termonitor secara detail. Tapi ada beberapa kelompok seperti di tasikmalaya yang rutin membuat pagelaran.

 Mengapa festival ini hanya diadakan dua setahun, tidak setahun sekali?
Setahun sekali terlalu berat. Juga bagi peserta itu berat karena rata-rata persiapan mereka 3 bulan.

Setelah 10 kali diadakan apa pengaruhnya terhadap perkembangan teater berbahasa Sunda festival?

Saya belum bisa melihatnya secara utuh. Belum ada bandingan untuk mengukurnya, karena teater berbahasa Indonesia tidak punya tradisi festival seperti ini. Apakah respon peserta pada festival ini adalah pelarian karena teater berbahasa Indonesia tidak punya festival seperti ini, atau memang ada kebutuhan untuk berekspresi teater dalam bahasa Sunda. Namun untuk sementara ini saya cenderung karena tak ada festival seperti ini dalam teater berbahasa Indonesia. Tapi juga lepas dari itu, dampak dari festival ini jika dihubungkan dengan Perda No. 5 Tahun 2003 Tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara daerah. budaya Sunda merupakan hal yang sangat positif. Bayangkan, satu teater dengan jumlah pemain yang lebih dari 30 orang, menggarap naskoh lakon berbahasa Sunda, menampilkan ekpresi budaya Sunda. Nah, ini yang tidak pernah dilihat dan dihitung. Perda itu dibuat sebagai aturan, salah satunya tentang bahasa dan budaya Sunda. Betapa naifnya, kami yang melaksanakan semangat perda itu sementara yang membuatnya tidak memberi respon!

Banyak sekali pidato pembesar Jawa Barat yang cemas bahwa basa Sunda akan hilang. Tapi buktinya respon anak-anak muda terhadap festival ini luar biasa sekali. Apakah Anda termasuk juga orang yang cemas seperti para pembesar itu?

Saya berani mengatakan, bahwa bahasa Sunda tidak akan hilang! Sebab saya punya data! Kalau saya mau ektreem lagi, sepanjang ada TSK dan Festival basa Sunda tidak akan hilang!

 Sudah 10 festival ini berlangsung.  Nah, sebaliknya bagaimana perhatian dan respon pemerintah dan para pembesar itu?

Respon ada. Tapi kami rasakan tidak cukup. Respon mereka sebatas hanya membagi-bagikan uang. Juga saya lihat, entah enar atau tidak, mereka belum paham benar mana yang harus diprioritaskan. Apa ukurannya sih prioritas dari berbagai program itu?

Anda merasa festival ini tidak pernah diprioritaskan?

Ya, melihat program-program lain yang diprioritaskan begitu penting, anggaran besar, dan bebeledugan (wah!), saya memang punya kecemburuan. Seingat saya, sejak berdiri kami tidak pernah mengajukan proposal bantuan pada pemerintah daerah, kalau memang tidak benar-benar kami butuhkan seperti halnya festival ini. Saya akui, adanya realisasi bantuan, tapi sangat seimbang dengan program-program lain yang berjangka pendek tapi anggarannya luar biasa.

Apa iya, selama ini festival belum bisa memberi hadiah uang pembianaan pada peserta?

Ya. Baru tahun 2006 yang lalu, dalam festival yang ke IX,  kami baru bisa memberi hadiah uang pembinaan.  Uang Rp. 5 juta pemberian langsung Kadisbudpar I. Budhyana. Uang Rp.5 juta itu kami bagi-bagi untuk hadiah para pemenang, Juara I Rp.  3 juta, Juara II, Rp. 2 juta, juara III Rp. 1 juta.  Total 6 juta. Satu juta lagi dari mana? Dari kas TSK (tertawa).

Selama festival para peserta dari berbagai kota itu menginap di mana?

Selama festival  (Tiba-tiba menahan nafas, matanya merah, menangis), kasihan sekali mereka…. .  Kami ingin sekali menyediakan mereka penginapan. Mereka tidur di Rumentang Siang….. bergeletakan di gedung ini, rame-rame, ngampar! Dan ingat, kalau kita melihatnya dari konteks Perda, bukankah mereka sedang melaksanakan semangat dari Perda untuk melestarikan bahasa Sunda? Lalu apa artinya kita membuat kamus dan perda itu, kalau anak-anak muda yang kelak jadi pelaku bahasa Sunda tidak diurus? Mengapa mereka tidak diperhatikan? Dengan bermain teater, mereka tak hanya menggunakan bahasa Sunda, tapi juga memaknai budaya di baliknya.

Jika memang perhatian dari para pembesar terhadap festival ini sangat kurang, lantas kenapa juga  Anda dan TSK masih bersemangat menyelenggarakan festival ini?

Semangat merasa bahagia karena melihat hasil kerja kami yang mendapat respon dari anak-anak muda itu. Dan kenyataannya mereka membutuhkan festival ini. Perasaan dibutuhkan, inilah yang membuat kami bersemangat menyelenggarakan festival ini. Begitu juga dengan anggota TSK. Biasanya kalau mereka terlibat dalam kepanitiaan berbagai acara, mereka mendapat honor dan sebagainya. Tapi dalam festival ini kami semua kerja bakti saja.
                                                                   **

APA yang dikeluhkan oleh Dadi  P. Danubrata ihwal minimnya perhatian pemerintah dan para pembesar Jawa Barat terhadap festival ini mungkin terdengar sebagai romantisme seorang seniman yang sudah tidak aneh. Mungkin saja benar. Hanya soalnya, Dadi bukan hanya sedang mengeluh. Ia seperti sedang menguji mereka yang getol pamer kecemasan tentang bahasa dan budaya Sunda dalam berbagai pidato, seminar dan diskusi-diskusi itu, dengan perhatiannya secara nyata terhadap bahasa dan budaya Sunda. 

Atau juga jangan-jangan Dadi P. Danubrata juga sedang menyindir, betapa lebih banyak orang bersemangat ngomong tentang bahasa dan budaya Sunda yang dikatakannya mencemaskan itu ketimbang bertindak nyata. Minimnya perhatian terhadap FDBS ini bisa menjadi bukti.     

Dalam buku “Apa Siapa Orang Sunda” (2003), ditulis bagaimana Dadi P. Danubrata Teater Sunda memang sudah menjadi pilihan hidup suami dari Lin Karlina ini. Dan itu dilakoninya sejak ia masih menjadi PNS sampai pensiun. Nama Dadi P. Danubrata memang akhirnya selalu identik dengan TSK. Dari kelompok teater inilah nama aktor teater seperti Moel MG., Euis Balebat, Rinrin Citraresmi lahir dan muncul.

“TSK berdiri tahun 1976. Latar belakang kami ketika itu berasal dari komunitas lingkungan tingkat Rukun Warga (RW), di daerah Karapitan Kelurahan Cikawao Bandung. Motivasi pendiriannya  hanya karena kami anak-anak muda yang suka dengan teater, yang lantas memilih menggunakan bahasa Sunda. Saya sendiri ketika itu suka seni pertunjukan teater, dan kebetulan saya aktif di Karang Taruna. Karena latarbelakang kami orang Sunda kami ingin berbeda dari yang lain. Akhirnya kami mendirikan sebuah kelompok teater yang menggunakan bahasa Sunda. Budayawan Hidayat Suryalaga ketika itu adalah juga salah seorang pendirinya,” ujar ayah dari tiga anak ini.   

Apa waktu itu belum ada kelompok teater modern yang menggunakan bahasa Sunda?
Belum ada. Karena itu kami membuat kelompok teater bahasa sunda yang modern.

Maksud Anda Modern?

Dalam dalam prosesnya ada naskah, latihan, dan metode yang tak beda dengan metode teater Barat. Ada olah vokal, olah tubuh, gerak kreatif, dan teman-teman menyukainya. Setelah aktif dan terjun ke dunia teater yang menggunakan bahasa Sunda, ternyata untuk melengkapinya kami jadi banyak yang ingin diketahui, kami jadi butuh tahu kesenian Cianjuran, dan berbagai seni tradisi sunda lainnya. Melihat kondisi tersebut dampaknya jadi positif, akhirnya keanggotaan jadi meluas, tidak lagi hanya sebatas tingkat RW.

Kalau Anda ingat, sampai sekarang sudah berapa jumlah produksi pementasan TSK?

Kalau produksi pementasan sudah tak terhitung. Tapi yang jelas naskah lakon yang kami mainkan sudah 33 judul. Saya punya pandangan bahwa naskah-naskah teater berbahasa Sunda harus dipublikasikan melalui pertunjukan. Mengapa harus selalu naskah asing?

Anda sendiri punya latarbelakang teater?

Kalau main-main sandiwara waktu kecil pernah. Selanjutnya saya lebih banyak menonton sambil membaca 
buku-buku teori teater Barat. Hanya sejak saya mendirikan TSK, ketika kami telah membuat dua produksi, ASTI membuka jurusan teater. Saya masuk, tapi karena lebih sibuk di TSK.  Kuliah itu tidak beres, tidak sampai setahun.  Produksi TSK pertama masuk ke Rumentang Siang ditolak. Kami membawakan lakon “Pupuh Mijil Pada” karya Hidayat Suryalaga yang sumbernya diambil dari Haji Hasan Mustappa, ditolak karena mungkin tak dipercaya karena menggarap naskah yang sumbernya dari Haji Hasan Mustappa, sedang pemainnya anak-anak Karang Taruna. Setahun kemudian kami menggarap naskah lagi, barulah kami tampil dan kami lebih termotivasi. 10 tahun dari situ kami membuat FDBS ke-I, itu tahun 1988.

Anda selalu diidentikan dengan TSK. Ini gejala umum dalam banyak kelompok teater, dan menghambat proses regenerasi. Bagaimana Anda melihatnya?

Tentu saya sadar dan ingat hal itu. Tapi saya punya prinsip tidak adanya ketergantungan. Maksudnya, jangan sampai kalau teater Sunda bergantung pada saya. Karena itu regenerasi yang saya harapkan adalah regenerasi yang terjadi secara luas dalam teater berbahasa Sunda. Kalau regenerasi dalam organisasi TSK saya pikir itu akan tumbuh dengan sendirinya.

Untuk masa depannya, sebenarnya apa yang Anda bayangkan dan Anda harapkan dengan TSK dan festival ini?

Dulu waktu kami mendirikan TSK, ada seseorang yang mengatakan, “Alah! Drama bahasa Sunda itu umurnya tidak akan lama! Jangankan bahasa Sunda, yang pakai bahasa Indonesia seumur jagung!” Omongan itu saya catat. Tapi Alhamdulillah sampai sekarang TSK masih eksis, justru kamilah yang mampu terus mengadakan festival teater. Artinya, ada peminat. Saya berharap ke depan teater bahasa Sunda menjadi sesuatu yang wajar, bukan malah menjadi aneh. (Ahda Imran, Pikiran Rakyat tahun 2007, bulan dan tanggal pemuatan tak terlacak)      






         







Tidak ada komentar:

Posting Komentar