Jumat, 23 Maret 2012

Lagi, Menyoal Bahasa Ibu



 SETIAP kali mendekati peringatan Hari Bahasa Ibu, 21 Februari, setiap kali itu pula kita disodori oleh berbagai hasil penelitian yang mencemaskan ihwal nasib kelanjutan bahasa ibu. Apalagi kemudian kecemasan itu juga sesuai dengan hasil penelitian Unesco yang menyebutkan bahwa dalam setiap tahun sepuluh bahasa ibu mengalami kepunahan. Penelitiannya yang paling mutakhir mengatakan, beberapa bahasa ibu di sejumlah negara diprediksi usianya hanya tinggal satu abad, sebelum lantas lenyap. Bahkan diprediksi lagi, satu abad mendatang, dari 6.000 bahasa yang terdapat di dunia 50 persennya akan punah.


Dalam konteks bahasa Sunda, terakhir perkembangannya ditenggarai semakin kritis mengingat persentase penuturnya yang kian menurun dari tahun ke tahun. Bahkan sehari menjelang peringatan Hari Bahasa Ibu, menurut survey yang dilakukan Balai Bahasa Bandung, disebutkan penutur Bahasa Sunda mengalami penurunan 20 persen (Pikiran Rakyat, 20 Februari 2009).


Begitulah, dari tahun ke tahun memperingati bahasa ibu seolah menjadi pertemuan rutin dengan berbagai hasil survey yang mencemaskan tentang nasib bahasa daerah. Dan setiap tahun juga, ujung-ujung persoalannya adalah berbagai amatan ihwal sebab-musabab mengapa bahasa Sunda menjadi kritis semacam itu. Globalisasi, dominasi bahasa nasional dan Inggris, kurikulum pendidikan, sampai banyaknya keluarga yang tidak lagi menggunakan bahasa  Sunda, selalu ditenggarai menjadi faktor eksternal yang menggerus keberadaan bahasa ibu.

Sedangkan di wilayah internal mudah diduga, undak-usuk selalu disebut-sebut sebagai sebab yang membuat orang malas berbahasa Sunda karena takut salah, terutama anak-anak muda. Karena itu, tak aneh jika tak sedikit siswa yang merasa ulangan atau ujian pelajaran bahasa Sunda jauh lebih sulit ketimbang pelajaran bahasa Inggris.    

Tentu saja seluruh kecemasan itu menyimpan alasannya sendiri. Seorang antropolg bahasa Uriel Weinreich (1968) menyebut bahwa dalam masyarakat yang multibahasa akan terjadi persaingan bahasa dan mengakibatkan matinya bahasa. Pandangan ini seolah meminjam teori Darwin ihwal species yang lemah, tergerus, dan berhenti berevolusi. Dan kehidupan global, lewat berbagai perangkat teknologi informasi, seakan mempertegas bangun masyarakat multibahahasa serta persaingan yang terjadi di dalamnya.

Ini agaknya menjadi niscaya karena masyarakat multibahasa sekaligus juga merepresentasikan masyarakat yang hidup dalam ruang multikultural. Persaingan bahasa, dengan begitu,  adalah persaingan budaya. Survivalitas bahasa adalah juga survivalitas budaya. Dan dalam situasi itulah, sebagaimana juga perubahan yang menjadi hukum besi kebudayaan, bahasa ibu tak bisa lagi bersikukuh dan iseng sendiri dengan dunianya jika hendak bertahan. Di tengah realitas global yang mengubah banyak hal dalam kesehari-harian suatu masyarakat, dinamisme perubahan menjadi keniscayaan sebuah bahasa.

Karena itulah, realitas global yang dibaca sebagai faktor eskternal yang turut mempercepat kematian bahasa Sunda, kerap kali terkesan menjadi seekor kambing hitam atas ketidakmampuan menafsir ruang global itu sendiri. Realitas global di situ ditafsir dalam konteks antagonistik, padahal ia menyimpan sejumlah paradoks. Lebih dari sekadar persaingan, seperti disebut Uriel Weinreich, realitas global juga menyimpan tabiatnya yang paradoks. Ia menawarkan banyak ruang bagi berbagai-bagai negosiasi budaya.

Etnomusikolog dan budayawan Endo Suwanda memandang dalam negosiasi inilah, ketika seluruhnya mengglobal, ada kebutuhan pada berbagai komunitas budaya etnis untuk melakukan pengaturan batas-batas. Sehingga dalam konteks global, kelokalan itu menjadi sesuatu yang penting. Realitas global pada bagian pengertiannya yang lain merupakan sesuatu yang abstrak, sedang di seberangnya berbagai makna kehidupan ada di berbagai daerah. Maka, alih-alih dipandang sebagai faktor eksternal yang mengancam bahasa ibu, realitas global selalu menyediakan peluang bagi proses penciptaan dinamika dan nilai-nilai kultural, sepanjang terdapat kemampuan melakukan negosiasi di dalamnya.

“Demikian pula dengan bahasa Sunda. Di satu sisi bahasa Sunda dipengaruhi oleh bahasa Indonesia, tapi di sisi yang lain bahasa Sunda juga memengaruhi perkembangannya. Lihat saja kosa kata “ketimbang”, “baheula”, atau “anyar”.  Bagaimana pun bahasa lokal selalu menawarkan pengertian tertentu ke dalam perkembangan bahasa nasional,” kata Endo.

                                                                   **
REALITAS global dan negosiasi budaya, termasuk di dalamnya negosiasi bahasa ibu, seperti mengemuka dalam pandangan Endo Suwanda, sayup-sayup mengingatkan kita pada tulisan Fatimah Djajasudarma di harian ini tiga tahun yang lalu, “Bahasa Sunda Kini” (Khazanah, 24 Februari 2007). Tulisan ini semacam penelusuran ringkas ihwal sejumlah fakta bagaimana bahasa Sunda pernah melakukan berbagai “negosiasi linguistik” di masa lalu bersama sejumlah bahasa lainnya, termasuk bahasa Melayu, Cina, Sanksekerta, atau bahasa asing yang diserap melalui bahasa Indonesia.  

Dengan mengungkapkan sejumlah fakta linguistik ihwal kata-kata serapan dalam bahasa Sunda yang berasal dari bahasa Cina, misalnya, semangat tulisan Fatimah menyaran pada bagaimana berdasarkan jejak semacam itulah semestinya bahasa Sunda membaca realitas global. Dalam melakukan negosiasi budaya di tengah realitas global, ia meragukan negosiasi tersebut akan bisa berlangsung sepanjang itu dilakukan seraya tetap memercayai adanya bahasa Sunda standar sebagaimana yang pernah ditetapkan oleh kolonialisme Belanda tahun 1912,  yang penerapannya sudah berlangsung sejak tahun 1872 (Mikihoro Moriyama:2005).

Dan jika bahasa Sunda standar itu dianggap sebagai satu-satu cara pandang untuk mencermati perkembangan bahasa Sunda, maka kepunahannya memanng akan menemukan alasannya. Sebab, bahasa standar semacam itu sudah tidak bisa lagi menjawab berbagai realitas perubahan yang terjadi. Dan sebaliknya, kematian itu juga terasa akan menjadi semacam kecemasan yang berlebihan jika masih ada berbagai upaya untuk melakukan negosiasi sesuai dengan kepentingan ruang dan waktunya.

Berangkat dari apa yang mengemuka dari semangat tulisan Fatimah,  untuk lantas menariknya pada kepercayaan bahwa bahasa Sunda berada dalam situasi yang kritis, maka pemikiran akan digiring pada gamangnya budaya Sunda melakukan negosiasi budaya di tengah realitas global hari ini. Hal ini menjadi niscaya karena bahasa pada akhirnya juga, bahkan sangat, berurusan dengan ruang pengalaman.

Karena itu, seraya meminjam pemikiran Malinowsky tentang bahasa adalah pengalaman keseharian, dalam tulisannya “Matinya Bahasa Sunda” (Khazanah, 17 Februari 2007), Acep Iwan Saidi menyebut soalnya bukanlah memperkarakan banyaknya keluarga yang di rumahnya tidak lagi memakai bahasa Sunda atau memperkarakan kurikulum pendidikan di sekolah. Sebab, soalnya berhulu dari ruang empirisme keseharian itu sendiri, realitas global yang tidak berkorelasi dengan bahasa Sunda. Tidak mungkin lahir dan lestari bahasa Sunda jika ruang dan waktu tempat orang Sunda berinteraksi dipenuhi benda dan pemikiran yang menjauhkan mereka dari alam kesundaan itu sendiri.

Seiiring dengan pandangan Malinowsky, dalam pendekatan hubungan bahasa dan biologis Noam Chomsky (2000) memandang bahwa otak manusia memiliki sebuah komponen yang disebutnya dengan daya bahasa (the language faculty). Lingkungan memicu daya bahasa untuk lalu membentuk sebuah proses pertumbuhan internal.
                                                                 **
  
LALU benarkah realitas global dengan seluruh produk peradabannya hari ini akan mereduksi bahasa ibu karena kegamangan identitas budaya lokal itu sendiri dalam melakukan negosiasi budaya? Atau justru kita hendak bersikukuh percaya pada tabiat realitas global yang menyimpan paradoks dan menyediakan sejumlah perubahan yang produkstif bagi proses pemaknaan budaya lokal dan bahasa ibu, sehingga negosiasi itu akan berlangsung?

Kedua pertanyaan itu menyediakan sejumlah hipotesa atau mungkin jawaban spekulatif. Tapi apapun, tantangan yang mesti dijawab hari ini adalah bagaimana bahasa ibu bisa mengurai dirinya dari standar-standar baku untuk berkompromi dengan berbagai perubahan. Ia harus menggeser kedudukannya dan beranjak dari semangat-semangat masa silam dan bergabung dengan pengalaman keseharian kekinian.

Jika tidak, alih-alih ia membawa atau menghubungkan anak muda (golongan yang dirisaukan itu)  ke dalam ruang pengalaman keseharian, bahasa ibu sejenis itu tak lebih dari jejak-jejak masa lalu yang malah menjadi beban. Sesuatu yang melulu menjadi hapalan di ruang kelas atau menjadi bahasa yang sifatnya instruksional, seperti kegenitan birokrasi yang ditunjukkan oleh sebuah kedinasan di Jabar.

Di luar sejumlah data statistik yang selalu menjadi tradisi kecemasan setiap tahun ketika Hari Bahasa Ibu diperingati,  mungkin tak ada salahnya jika kita sedikit mengambil jarak dari rasa pesimis. Lebih dari sekadar mengemukakan beberapa fakta perihal “negosiasi lingustik” yang pernah dilakukan oleh bahasa Sunda, tulisan Fatimah Djajasudarma juga secara tak langsung sedang menjelaskan jejak dari sebuah negosiasi budaya.

Negosiasi budaya hingga  mencampurbaurkan apa yang datang, bersanding dengan yang asing sehingga ia tak lagi dianggap sebagai yang liyan, mau tak mau merupakan bagian tersendiri dalam karakter berbagai budaya lokal di Indonesia. Dan ini tak hanya terjadi dalam konteks pemikiran, mental, etos, kepercayaan, dan nilai-nilai, tapi juga dalam cara berbusana jenis olahan makanan, bahkan hingga dalam perkembangan bahasa. (Ahda Imran)**
 

       






Optimisme dan Logika Korban

PANDANGAN yang banyak mencemaskan perkembangan bahasa Sunda yang terus mengalami penurunan jumlah penuturnya, seperti yang selalu muncul dalam peringatan bahasa ibu, mau tak mau menyaran pada semacam pesimisme. Setiap menyambut hari bahasa ibu, pesimisme itu selalu muncul dari data statistik. Bahkan seringkali dilengkapi dengan prediksi-prediksi yang kian menebalkan pesimisme itu. Dan ujung dari pesimisme itu kemudian menekan pada pengertian bahwa di tengah realitas global sekarang bahasa Sunda kian terancam. Dengan kata lain, kecemasan dan pesimisme itu mengarah pada bayangan serbuan realitas global telah menyebabkan bahasa Sunda menjadi korban.

Pesimisme ini juga sebenarnya juga menjadi pertanyaan ketika kita berada di Bandung sekalipun. Sangatlah tidak sulit menemukan orang berbicara bahasa Sunda, baik dalam angkot maupun di tempat-tempat umum lainnya. Termasuk anak-anak sekolah. Jangan sebut lagi jika kita berada di Ciamis, Garut, Tasikmalaya, atau sejumlah kota lainnya yang akan menjadi janggal jika orang menggunakan bahasa Indonesia. Bahwa ada juga yang memakai bahasa Indonesia di Bandung, maka itu menjadi lumrah mengingat Bandung adalah sebuah kota kosmopolitan. Maka kemudian seringkali mengemuka pertanyaan, benarkah bahasa Sunda mengalami penurunan? Atau jangan-jangan kecemasan itu terlalu berlebihan?

Dalam pandangan aktivis budaya Gustaff Handiman Iskandar kecemasan itu membayangkan identifikasi diri sebagai pihak yang tak berdaya. Sebuah keadaan yang secara tak langsung membuat orang lantas menyalahkan keadaan atau sejumlah pihak. Ia bahkan melihat hasil survey semacam itu, yang selalu muncul setiap tahun, jadi terlalu paranoid.

“Saya masih ingat ketika kita diskusi akhir tahun di “PR” yang menyinggung-nyinggung kebiasaan kita menciptakan mental victim (korban). Saya takut ini malah menjadi doa. Kecamasan itu akan terjadi dan tak memberi peluan pada kita untuk bersikap optimis,” ujar aktivis yang akrab dengan berbagai komunitas kreatif di Bandung ini.

Dalam pengalamannya sehari-hari, ia dengan mudah menemuikan penutur bahasa Sunda di mana pun di Bandung. Termasuk di komunitas Underground. Ia melihat bagaimana bahasa itu adalah sebuah kode genetik kultural dan tidak mungkin bisa dihilangkan karena ia hidup di dalam dan bersama masyarakatnya.  Ia mengakui mungkin salah sepuluh tahun yang lalu ada semacam rasa gengsi anak-anak muda di kota besar seperti Bandung untuk bicara dengan bahasa Sunda.

“Tapi keadaan sekarang sudah berubah. Tak ada lagi anak-anak muda yang malu berbahasa Sunda, paling tidak yang saya amat di komunitas underground. Begitu juga di dunia seni tradisi Sunda. Tak sedikit anak-anak muda di Bandung yang menciptakan musik hiphop dengan lirik bahasa Sunda. Mereka pun tak sungkan-sungkan berlatih Karinding atau Celempung. Bahkan ada kelompok “Karinding Atack” yang setiap minggu manggung dan mereka sedang bersiap melempar album. Ini semua menjawab tudingan bahwa anak-anak muda sudah malu berbahasa Sunda dan seni tradisi,”papar Gustaff.

Dalam pandangannya, hasil-hasil survey setiap tahun itu terlalu pesimis melihat realitas di lapangan. Dunia maya juga tak bisa diabaikan begitu saja dalam konteks perkembangan bahasa Sunda.  Dengan mudah akan ditemukan berbagai website bahasa daerah, termasuk bahasa Sunda.

“Cyber cultural saya kira malah telah memberi peluang bagi perkembangan bahasa Sunda. Silahkan gunakan fasilitas mesin pencari untuk mengklik “bahasa Sunda”, maka akan muncul begitu banyak item ihwal bahasa Sunda,” katanya, seraya menambahkan keyakinannya  bahwa di masa mendatang penutur bahasa Sunda tidak hanya akan sebatas orang Sunda.

                                                                         **
SIKAP pesimisme yang memunculkan kecemasan ihwal nasib bahasa Sunda yang muncul tiap tahun dari mulai hasil survei hingga pidato pada pejabat, tampaknya di seberang lain dilihat secara berbeda oleh mereka yang selama ini berada “di lapangan”. Bahkan mereka sama sekali tidak pesimis dan cemas perihal masa depan bahasa Sunda. Bagi mereka tantangan di tengah realitas global hari ini, justru menyediakan peluang bagi perkembangan bahasa Sunda.

“Saya adalah orang yang berani mengatakan bahwa bahasa Sunda tidak akan hilang! Sebab saya punya data. Malah, kalau mau ekstreem lagi, sepanjang Teater Sunda Kiwari dan “Festival Drama Basa Sunda” masih ada, bahasa dan budaya Sunda tidak akan hilang,” kata Dadi. P. Danubrata, pimpinan TSK.

Serupa dengan apa yang dikemukakan Gustaff dari pencermatannya terhadap komunitas underground, bagi Dadi P. Danubrata Festival Drama Basa Sunda (FDBS) yang digelar setiap dua sekali dan selalu diikuti dengan antusias oleh para remaja dari berbagai kota di seluruh Jabar, merupakan jawaban telak atas kecemasan bahwa bahasa Sunda.

Sedangkan dari Ciamis, sastrawan Godi Suwarna mengatakan  jika seseorang berada di Ciamis, Tasikmalaya, Garut dan ia berbicara dengan bahasa Indonesia justru akan dianggap aneh. Karena itu sebagai orang yang tinggal di daerah ia tidak merasa pesimis apalagi cemas hanya karena hasil-hasil survey tahunan atau lontaran pernyataan tentang nasib bahasa Sunda.

Senada dengan Gustaff, ia pun menilai bahwa dunia internet telah menjadi peluang bagi perkembangan bahasa Sunda. “Dari Jerman, teman saya Ging Ginanjar rajin sekali ngajak chatting di jejaring Facebook. Dia bilang, pengen melenturkan lagi bahasa Sunda!” tuturnya. (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, tahun, bulan dan tanggal pemuatan tak terlacak)



  








  





     

    





         
   


 

 












 
   




Tidak ada komentar:

Posting Komentar