Minggu, 20 Juli 2014

Menyoal RUU Kebudayaan




Ahda Imran—Penyair dan Esais

KEBUDAYAAN  tak pernah tersebut dalam hiruk-pikuk pilpres 2014. Apa lagi menjadi tema dalam perdebatan capres-cawapres. Bahkan pada perdebatan capres ihwal pertahanan dan ketahanan nasional, kedua capres tak sekalipun menyebut ketahanan budaya sebagai bagian dari visi-misi mereka. Kenyataan ini cukup mengherankan mengingat hubungan negara dan kebudayaan ialah suatu keniscayaan sebagaimana termaktub dalam konstitusi (Pasal 32 UUD 1945). 

Sementara jauh dari hingar bingar pilpres, RUU Kebudayaan mendesak untuk segera disahkan menjelang berakhirnya periode keanggotaan DPR RI (2009-2014). Desakan terhadap RUU yang telah disusun sejak tahun 2011 itu seolah kejar target. Terlebih lagi desakan juga terus bermunculan dari berbagai komunitas budaya. Terakhir dari hasil Temu Redaktur Kebudayaan III di Siak, Riau, 20-22 Mei 2014, dalam bentuk Petisi Siak 2014.

Salah satu butir petisi tersebut ialah desakan agar DPRI dan pemerintah segera mengesahkan RUU Kebudayaan sehingga pemerintahan baru hasil pilpres 2014 segera bisa menindaklanjuti. Tak jelas benar bagaimana sebenarnya forum pertemuan para redaktur kebudayaan itu  melakukan pembacaan atas RUU tersebut, seolah-olah RUU itu tak perlu lagi dipersoalkan.
   
Inferior                                                                         
RUU Kebudayaan terdiri atas tujuh bab dan 94 pasal ditambah penjelasan. Secara umum RUU ini hendak menjadi landasan strategi budaya dalam berbagai fenomena aktual yang terjadi di tengah realitas global. Namun, alih-alih menjawab keniscayaan itu dengan penuh percaya diri, bahkan sejak pagi RUU ini telah memperlihatkan sikap inferior.

Bahkan Inferioritas ini telah ditaruh sebagai pertimbangan terbitnya UU Kebudayaan, sebagaimana termaktub dalam Konsideran Menimbang huruf “c” ; bahwa nilai budaya dan keanekaragaman budaya di Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh globalisasi sehingga dapat menimbulkan perubahan nilai budaya dalam masyarakat. 

Kalimat ini memosisikan globalisasi sebagai antagonis yang berbahaya bagi identitas sistem nilai berbagai budaya Indonesia. Sebaliknya dari itu, RUU ini memandang keberbagaian budaya di Indonesia sangat lemah, rentan terhadap pengaruh yang datang dari luar. Artinya, alih-alih dibaca sebagai ruang dialog, globalisasi dimaknai sebagai ancaman yang berbahaya. Pandangan ini jelas mengabaikan pembacaan atas realitas historis, bagaimana beragam budaya di Indonesia terbentuk sebagai hasil pertemuan dan dialektika kebudayaan yang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam.  

Penilaian bahwa berbagai budaya di Indonesia itu sangat rentan terhadap pengaruh yang datang dari luar, membawa logika penilaian; budaya global itu kuat dan budaya Indonesia itu lemah. Sangat sulit membayangkan strategi budaya suatu negara dijalankan di atas landasan UU yang disusun dengan pertimbangan yang inferior semacam ini. 

Pengendalian
Penilaian bahwa budaya Indonesia sangat rentan, akhirnya menjadi pembenaran pentingnya pemerintah mengelola, mengawasi, dan mengendalikan kebudayaan, sebagaimana RUU ini memaktubkannya dalam Pasal 1 Poin 5.  Asumsi bahwa budaya Indonesia lemah di tengah globalisasi lebih jauh memberi peran besar pada pemerintah untuk tak sekadar mengawasi dan mengendalikan, namun juga melindungi.

Tentu saja adalah kewajiban negara melindungi berbagai aset dan potensi budaya. Namun dalam RUU ini bentuk proteksi yang dilakukan muncul dari ketidakpercayaan bahwa berbagai budaya di Indonesia memiliki mekanisme perlindungan dirinya. Oleh sebab itulah ada sembilan pasal yang menyebut pembentukan Komisi Perlindungan Kebudayaan. Komisi ini dibentuk oleh pemerintah dan bertanggungjawab pada presiden.   
Tugas pokok komisi ini adalah mengawasi penyelenggaraan kebudayaan, membuat sejumlah kriteria dampak negarif kebudayaan, hingga menetapkan status sebuah bentuk budaya yang berdampak negatif.

Dengan eufemisme melindungi, komisi ini lebih terkesan sebagai  perpanjangan tangan pemerintah; mengawasi, mengontrol, menyensor beragam ekspresi kebudayaan. Keberadaan komisi ini jauh dari menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 32 UUD 1945.  

Pembacaan yang lebih kritis dan hati-hati atas RUU Kebudayaan tampaknya lebih diperlukan ketimbang mendesak pengesahannya. Mengesahkan RUU ini menjadi UU Kebudayaan dengan semangat yang akan menjadi landasan bagi dominasi pemerintah serupa itu, risikonya kelewat besar. Apalagi hanya demi kepuasan para anggora DPR untuk melunasi semua kewajibannya.**

Sumber: Pikiran Rakyat, 19 Juli 2014