Kamis, 15 Maret 2012

Cihampelas (3), Belanja dalam Ruang Visual


BEGITU turun dari kendaraan, pandangan anak lelaki itu langsung tertuju pada Spiderman yang melayang di atas sebuah toko, yang ada di seberangnya. Spiderman berukuran massif itu adalah sebuah patung dalam pose yang sedang mengangkang. Kedua tangannya terbuka. Di belakangnya lanskap sebuah kota di kejauhan dan jejaring. Entah apa yang sedang dibayangkan oleh anak lelaki umur lima tahunan itu. Mungkin dalam fantasinya, super hero yang sering disaksikannya dalam film itu sedang melesat, meloncat-loncat di antara gedung sambil menyemburkan jaring laba-labanya nan ajaib.


Belum usai fantasi itu, ia pun dikejutkan oleh pemandangan yang lain. Di sebelah Spiderman, tampak jagoan lainnya, muncul mendadak dari tembok toko, Superman! Ia sedang terbang, muncul dari balik dinding toko dengan pose melesat terbang. Kedua tangannya lurus ke depan dalam posisi terbang. Hanya separuh tubuhnya yang muncul dari balik tembok yang diterobosnya. Sebuah momen yang menakjubkan. Tapi sebelum anak itu meneruskan fantasinya, ibunya memanggil. Anak itu berjalan ke arah keluarganya yang sedang menunggu sambil sesekali memandang kembali ke arah patung dua jagoannya itu.

Sedang di antara keramaian para pelancong dan kemacetan sepanjang koridor Cihampelas hari itu, Sabtu (25/9),  tak jauh dari outlet memamerkan Spiderman dan Superman, beberapa anak muda memandang heran ke arah sosok pemuda yang sedang duduk di pinggir dinding lantai dua sebuah distro. Pakaiannya agak kumal, celana selutut, dan bertelanjang kaki. Setelah tahu bahwa itu hanya sebuah patung, anak-anak muda itu hanya tersenyum. Termasuk juga ketika menemukan sebuah patung lain di ujung tangga distro tersebut. Patung seorang anak muda yang berdiri menghadap ke arah jalan, menyandang tas punggung.

Tak cukup hanya itu, ketika pengunjung hendak naik ke tangga kayu distro tersebut, ia akan dikejutkan oleh patung pemuda lainnya, duduk berjongkok sambil merokok, memandang ke arah tangga, rambutnya gimbal.
Begitulah. Di antara keramaian para pengunjung, di Cihampelas orang tak hanya dipersilahkan untuk berbelanja, berjalan-jalan, dan bergaya. Tapi juga disuguhi berbagai “pameran” visual yang unik. Dan itu tak hanya dinikmati oleh mereka yang berjalan di trotoar atau yang sedang berbelanja, tapi juga oleh mereka yang berada di kendaraan, di jalan yang selalu macet.
                                                                         **
CIHAMPELAS dengan keunikan semacam itu bukanlah pemandangan baru. Sejak akhir tahun 1980, di awal perubahannya dari kawasan hunian menjadi kawasan perdagangan jins dan fesyen, Cihampelas mulai ingin memiliki karakternya sendiri sebagai sebuah ruang visual yang berlainan dengan kawasan-kawasan lain. Tak hanya di Bandung, tapi juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia atau mungkin di dunia.

Atas nama keunikan itulah toko-toko atau outlet, merasa tak cukup hanya memajang barang dagangannya lewat sosok manekin yang pucat dan mati. Tapi juga menaruh sesuatu di atas tokonya dalam warna, ukuran, dan desain eksterior yang akan menarik perhatian. Tak hanya para jagoan yang sedang trend dalam film, semisal, Rambo, Batman, Cat Woman, atau Spiderman, tapi juga pernah sebuah mobil ujug-ujug menclok di atas sebuah toko. Tentu saja tak ada hubungan antara desain sosok atau objek yang dipajang itu dengan produk yang mereka jual, karena memang tujuannya melulu untuk menarik perhatian sehingga dengan begitu orang mau masuk ke dalam toko.

Banyak yang beranggapan, berlombanya toko-toko dan outlet di Cihampelas membuat desain edan-edan-an seperti itu karena tingkat persaingan. Jika benar begitu, artinya persaingan itu telah melahirkan kreativitas. Dan ketika jumlah volume pengunjung kian ramai sehingga kawasan ini disebut sebagai ikon wisata belanja Kota Bandung, yang tentu membuat persaingan semakin kencang, sejatinya kreativitas itu akan semakin tertantang. Terlebih lagi tantangan itu demi menjawab apa yang menjadi program pemkot Bandung dengan rencana revitalisasi lima kawasan, termasuk Cihampelas.

“Buat saya revitalisasi Cihampelas harus dilakukan dengan ide-ide kreatif para pemilik outlet, sehingga Cihampelas bisa tetap eksis dengan keunikannya,” kata Hendry Husada salah seorang pelaku usaha.
Dengan memiliki belasan outlet, agaknya di mata Hendry persaingan bukanlah terjadi di antara sesama pelaku usaha di Cihampelas, melainkan persaingan antar kawasan belanja di Kota Bandung di mana  sejumlah Factory-outlet (FO) juga ada di situ, seperti,  Dago atau kawasan Jl. Martadinata.  

“Kami akan membuat desain outlet dengan nuansa khazanah lokal, termasuk juga menampilkan sosok super hero masyarakat Bandung atau Sunda. Hanya soalnya siapa super hero yang bisa mewakilinya? Kami ingin sekali mendapat masukan tentang itu, apakah Si Cepot yang sudah dikenal banyak orang, atau siapa?” papar pelaku bisnis yang mulai membuka outlet di Cihampelas sejak tahun 1989 ini.

Mengikuti pertumbuhan Cihampelas sebagai kawasan belanja dengan karakteristiknya sebagai ruang visual dan berbagai “pameran” eksterior deretan toko atau outlet dalam konteks perkembangan peradaban urban, agaknya inilah yang dimaksud oleh    Wayne Attoe (1975) dengan apa yang disebutnya dengan teori Urban Catalyst. Teori ini menyebutkan bagaimana pertumbuhan dari perkembangan sebuah kota terus menghasilkan berbagai fenomena yang tak terduga.

Katalisasi Urban ini salah satu ini bisa ditenggarai pada kemunculan bangunan yang sifatnya mixed use, sebagaimana kita menemukannya di Cihampelas. Bangunan toko atau outlet dengan segala pernak pernik eksterior dan interiornya,  tidak lagi hadir hanya untuk menunjukkan fungsinya sebagai tempat jual-beli. Melainkan juga untuk sebagai bagian utuh dari sebuah ruang visual. Visualisasi berbagai desain ini, sekali lagi, tidak berhubungan dengan produk yang dijual. Ia hanya dirancang semata-mata demi keunikan untuk menambah daya pikat kepentingan aktivitas komersial. Hal ini bisa menjadi indikator penting untuk mencermati bagaimana pembangunan dan peradaban urban tidak memiliki orientasi apa pun, melainkan demi peningkatan nilai finansial. 

Dalam pandangan pengamat perkotaan Arizal Noor, soalnya bukanlah apakah itu baik atau buruk. Sebagai kawasan perdagangan yang tak hanya menawarkan berbagai produk jins dan fesyen, soalnya adalah bagaimana seluruh keunikan desain di Cihampelas bisa memberi penguatan pada bagian-bagian yang telah ada sebelumnya. Termasuk pada bagian yang menjadi jejak dari masa lalunya sebagai kawasan hunian.

“Saya kira ini sangat penting, untuk juga memberi akses kreativitas pada warga yang menghuni kawasan ini,” ujar staf pengajar Undip Semarang yang kebetulan hari itu, Sabtu (25/9) sedang mengunjungi sebuah mall di kawasan Cihampelas bersama keluarganya.

Cihampelas sebagai ruang visual, tampaknya akan terus menghadirkan berbagai desain eksterior yang unik. Keunikan memang hendak dijadikan pusat dari daya tarik Cihampelas yang tak bisa dipisahkan dari berbagai produk yang ditawarkan. Para super hero agaknya akan terus bermunculan sebagai sosok penting yang melayang dan berdiri tegak di atas toko atau outlet, begitu pula sosok dari khazanah budaya lokal (Sunda) seperti yang diinginkan oleh Hendry Husada. Sebagai kawasan yang telah memilih karakteristiknya sebagai ruang visual, maka itu semua terletak kreativitas. Kreativitas yang juga bisa menyatu dengan lingkungan dan masa lalunya, juga dengan jejaknya sebagai kawasan hunian.   

Selesai berbelanja, di samping ayah dan ibunya yang membawa beberapa kantong belanjaan besar bertuliskan nama berbagai outlet, anak lelaki itu lagi-lagi memandang ke arah Spiderman dan Superman. Sebelum lantas ditarik ibunya ke dalam mobil. (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 26 September 2010)

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar