Kamis, 15 Maret 2012

Prof. A.D. Pirous, 80 Tahun Kemudian



SUATU kali di tahun 1960, sekelompok seniman yang menyebut dirinya Sanggar Seniman, mengadakan pameran bersama di Balai Wartawan  Bandung (depan Hotel Savoy Homan) Pada hari pembukaan datanglah seorang pengunjung, orang Kanada. Ia mengamati sebuah lukisan dan bertanya pada senimannya apakah karya itu dijual. Si seniman terkejut karena baru kali ini ia mendapat pertanyaan semacam itu. Karena gugup ia pamit sebentar untuk melapor pada teman-temannya. Dengan polos dan kebingunan ia ceritakan bahwa ada orang asing yang ingin membeli karyanya.

“Ya, sudah jual saja,” kata But Moechtar,
seniman yang ketika itu sudah bisa menjual karya seharga Rp.20.000.
“Berapa?” tanyanya lagi. 
“Yah, Rp.7.500 saja,” kata But Moechtar. Maka berjalanlah seniman itu kembali menemui calon pembelinya sambil terus memikirkan angka Rp.7.500. Tak percaya dengan angka sebesar itu, ia menurunkannya menjadi 

Rp. 6.500. “Ok. I Take it”, kata orang Kanada yang langsung membeli karyanya. Jika peristiwa itu lantas menjadi pancang pertama baginya untuk memasuki dunia kesenimanan, maka itu bukan karena nilai uangnya. Peristiwa itu dianggapnya sebagai rahmat atau jadi semacam hutang nasib baginya. 

Berpuluh-puluh tahun kemudian, ketika ia telah menjadi seniman terkenal sekaligus guru yang namanya tak bisa dipisahkan dari  FSRD ITB, suatu hari seorang seniman muda yang pernah menjadi muridnya meminta padanya membuka pameran lukisannya. Ia bersedia dan menyukai karya-karya seniman muda itu.

Usai membuka pameran, ia bertanya pada pelukis muda itu, “Apakah kamu sudah pernah menjual karyamu?” Ketika seniman muda itu menjawab belum, ia segera memilih sebuah karya. Ia tak ingin tahu berapa harganya, tapi ia ingin membelinya dengan harga Rp. 6.500.000, dan seniman itu bersedia.

“Kenapa Rp. 6.500.000? Karena saya ingin membayar harga Rp 6.500 karya saya yang terjual tahun 1960 itu. Saya beli bukan karena saya kaya raya, tapi saya merasa punya hutang dalam hidup saya, dan saya akan membayarnya. Dengan membeli karya itu saya ingin mengatakan bahwa dia itu berbakat. Dan belakangan seniman muda itu berkembang dengan baik,” tutur A.D Pirous, pelukis senior Kota Bandung yang 11 Maret yang baru lalu tepat berusia 80 tahun.

Berbincang dengan pelukis penting dalam khazanah seni rupa modern Indonesia dan tokoh terkemuka dalam dunia pendidikan seni ini, adalah bertemu dengan sosok seorang ayah atau kakek yang hangat. Terlebih ketika ia menuturkan seluruh perjalanan kesenimanannya yang berawal di tahun 1960 itu. Dan kini, dalam usianya yang 80 tahun, tak ada yang lebih ingin direnungkannya kecuali rasa syukur bahwa seluruh perjalanannya merupakan ikhtiar untuk menjadi orang yang berguna bagi masyarakatnya.

Perenungan inilah yang ingin ditegaskannya lewat Pameran Retrospeksi bertajuk “Ja’ u Timu “ (Mengarahlah ke Timur) di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) Bandung, 11 Maret-8 April 2012. Selain pameran, juga akan berlangsung seminar yang berangkat dari kiprah A.D Pirous untuk lantas mempertanyakan makna dan hakikat karya seni bagi masyarakat dan kemanusian hari ini. Tampaknya inilah yang membedakannya dengan Pameran Retrospeksi A.D. Pirous di Galeri Nasional tahun 2002 yang lalu.

 “Jadi tidak ada nafsu untuk memamerkan karya-karya itu lagi. Tapi mencoba memamerkan dan mencari tahu apa maknanya dari semua yang sudah saya lakukan. Tidak usah lagi mempertanyakan bagaimana saya mengemas karya. Tapi saya lebih suka orang menyadari apa sebenarnya yang saya katakan di balik karya yang saya kemas itu. Demikian pula dalam seminar, saya ingin mengajak para cendikiawan ulung seperti Syafeei Maarif,  Ignas Kleiden, Kennet M. Goerge, dan Yasraf Amir Piliang untuk membicarakan apa sebenarnya fungsi seni dalam kesadaran kita berbangsa, identitas, keyakinan dan harga diri bangsa hari ini. Saya ingin melemparkan diri saya untuk menjadi kasus dalam melihat situasi bangsa ini, bukan untuk membicarakan masalah saya,” ujar ayah dari tiga anak dan kakek tiga cucu ini.

Berikut petikan wawancara bersama pelukis penting dalam perkembangan seni rupa Islam dan Guru Besar Emiretus Fakultas FSRD ITB ini, di rumahnya, Senin (28/2).

Dalam usia 80 tahun seperti sekarang bagaimana Anda melihat perjalanan Anda sebagai seniman di hadapan pertanyaan apa manfaat karya seni yang telah Anda lakukan?

Saya tidak pernah menghitung untung rugi dari apa yang saya lakukan. Saya hanya melakukan apa yang saya anggap benar. Dan sekali saya lakukan, saya akan melakukannya dengan sempurna dan habis-habisan. Dalam karir saya sebagai seniman saya seorang pemain total footbal. Saya tidak suka setengah. Karena itu saya sukar sekali membuat komitmen, karena begitu saya membuat komitmen saya tidak akan bisa lepas, mati saya baru bisa lepas. Itu perangai saya. Jadi saya berpedoman pada sikap hidup seorang pembalap. Pembalap itu selalu ingin dekat ke finis, melihat kiri kanan supaya tahu dia posisinya dimana. Yang dia jaga kecepatan dan tenaga yang dikeluarkan agar pas dengan limit dan menjaga agar jangan tergelincir, keletihan, tidak tahu diri, sombong, pongah, tidak menjaga kesehatan. Tapi berjalanlah dengan serius, periksa di mana posisimu sebagai seorang pembalap. Karena itu saya selalu melihat kiri kanan dengan semangat tinggi.  Bukan membabi buta, bukan menutup diri seperti katak dalam tempurung.

Dalam umur 80 tahun sekarang, apa ada perubahan dalam diri Anda dalam menjawab pertanyaan apa sebenarnya menjadi seniman itu?

Ya, dalam ketika usia 40 tahun, saya menyadari kepentingan dan sangat menghargai kemampuan saya sebagai seniman yang bertumpu pada ketrampilan (skill) dan virtuositas; bagaimana melukis yang baik, bagaimana teknik yang bagus, bagaimana kanvas yg besar itu tampak menjadi kecil, dan kanvas kecil dengan sebuah tema yang besar bisa tampak menjadi besar. Itu maslah yang pelik bagi saya dan saya ulik betul. Bagaimana supaya orang tahu kalau itu adalah karya Pirous. Tapi lepas dari umur 40 tahun , bukan itu lagi pesonanya. Tapi lebih kepada apa yang mau dikatakan, bukan lagi pada bagaimana mengatakannya.

Artinya lebih pada tema?

Ya. Jadi berkesenian itu artinya buat saya perlahan berubah menjadi catatan intelektual dan catatan emosional dalam meraup nilai-nilai yang ada di sekitar saya. Berkesenian itu menjadi keinginan untuk mengatakan sesuatu, mengatakan isi. Bukan lagi perkaran teknik dan gaya. Apakah mau pake abstrak dan lain-lain, I dont care. Bagi saya cara bagaimana mengatakan itu adalah masalah yang sudah lewat. Masa lalu. Masa saya sekarang itu adalah apa yang ingin dan akan saya katakan lewat karya saya itu. Saya ingin mensinergikan tiga kekuatan; otak,  hati, tangan. Ini sesuatu yang ada dalam progress  kehidupan manusia. Hanya ada orang sadar dan tidak. Ada yang membuatnya jadi pegangan dalam berkipah, ada yang lebih memilih jalan semaunya sehingga dengan begitu, misalnya, dia terlalu kering karena terlalu banyak pikirannya yang keluar tapi tidak diikuti oleh kemampuan tangannya. Ada juga yang mengabaikan isi kepalanya karena terlalu mengandalkan ketrampilan tangannya. Mungkin karyanya menyenangkan, tapi kosong. Karena itu saya melihat ketiga unsur itu sangat sinergi. Dan itu yang saya anut.
.
                                                              **
SEJAK pamerannya yang pertama di Balai Wartawan Bandung tahun 1960 sampai usia 80 tahun sekarang, halaman tulisan ini kelewat sempit untuk menyebutkan segenap jejak perjalanan A.D. Pirous. Baik sebagai seniman maupun jejaknya yang penting dalam dunia pendidikan seni. Mulai dari eksplorasi lukisannya yang memberi perkembangan segar bagi tradisi seni rupa Islam (kaligrafi) dan seni grafis di Indonesia,  mendirikan Jurusan Desain Grafis pertama di negeri ini, sampai kiprah pemikirannya menggagas awal Pasar Seni ITB tahun 1972.

Sejak ia meninggalkan kampung halamannya di Meulaboh demi sekolah di Medan hingga kedatangannya di Bandung untuk menjadi mahasiswa seni rupa ITB, A.D. Pirous tanpa sadar telah bergerak ke arah apa yang diamanatkan oleh ayahnya, “Ja’ u Timu”, “Pergilah ke arah Timur”.  A.D. Pirous mengenang, ia adalah anak lelaki terkecil dan ketika ia masih berusia 14 tahun ayahnya telah berusia 72 tahun. Mengingat jarak usia itulah ayahnya memberi amanat agar ia mengarahkan perjalanan hidupnya ke Timur.

“Orang Aceh itu sangat peka dengan orientasi geografis. Timur adalah tempatnya matahari terbit, karena itu hadist Rasullah memerintahkan kita mencari ilmu ke negeri China yang letaknya di Timur,” katanya, seraya menjelaskan alasan mengapa pameran retrospeksinya bertajuk “Jau’u Timu” 

Bagaimana rasanya berusia 80 tahun sambil  melihat semua yang telah Anda lakukan?

Sebagai seorang muslim, saya harus bersyukur pada Allah. Saya sangat ingat pada Surah Ar-rahman yang mengingatkan berulangkali agar kita jangan mendustai nikmat yang telah dianugerahkan. Sekecil apapun. Tapi, sebagai seniman yang punya nafsu seorang pembalap, saya selalu mengejar “The Best” yang ingin saya lakukan.

Maksudnya ada yang Anda sesali karena belum sempat dilakukan?

Bukan bentuk penyesalan. Tapi, I dont have much time. Karena itulah sekarang karya-karya saya tanpa saya sadari sudah mencoba mengacu pada kesadaran bahwa sy sudah 80 tahun. Karya-karya terakhir berjudul “Kembalilah SurgaKu” itu mengambil inspirasi dari Surah Al-Fajar. Sadar atau tidak sadar saya sudah membuat garis vertikal yang makin lama makin keras, di samping tidak bisa menghindar dari keterlibatan dengan garis horisontal . Dalam pameran ini dalam bentuk karya akan terlihat, misalnya, “Sekeping Langit dari Ruh Mahfuds”. Itu lukisan yang mengerikan bagi saya karena di situ saya hamburkan kata “Kun Fayakun”. 

Menjadi seniman itu apa sih buat Anda?

Saya tak pernah menganalisa terlalu jauh. Buat saya hanya berusaha menjalani hidup dengan lebih baik. Jangan dilebih-lebihkan. Anda bisa lihat bagaimana studio saya, bagaimana saya berpakaian, bagaiamana saya bercerita. Bagi saya menjadi seniman itu jadi seseorang yang berguna untuk orang lain, jadi orang baik. Kelebihan yang kita miliki harus kita syukuri sebagai kasih sayang dari Allah. Lantas kenapa juga itu harus jadi kesombongan kita?

Sebenarnya kelak Anda ingin dikenang sebagai apa?

Sebagai orang yang baik. Karena dalam karya-karya saya banyak sekali saya mengungkapkan kalimat hadist Khairunnaas anfa’uhum linnaas (Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat untuk manusia yang lainnya). Kewajiban kita sebagai muslim, menjadi orang baik. Orang baik itu bagaimana? Berguna bagi orang lain. Dalam bentuk apa? Dalam bentuk yang seimbang dengan kemampuan kita. Kalau kita tidak pernah bertindak yang berguna bagi orang lain, sebenarnya kita tidak punya hak hidup di dunia ini. (Ahda Imran)


2 komentar:

  1. Terimakasih Kang Ahda Imran yang pengasih dan penyayang telah berbagi tulisan yang manakjubkan :)

    BalasHapus
  2. Terima kasih telah membacanya, Ima..

    BalasHapus