Sabtu, 12 November 2011

Sanento Yuliman: Laut, Gerak Alam, dan Semesta Manusia

DALAM khazanah perpuisian Indonesia modern ada banyak penyair yang menghamparkan laut dalam karya mereka. Lewat laut sebagai perlambangan, terbaca juga di situ gagasan yang hendak dan tengah dihadirkan. Juga terasa bagaimana di baliknya penyair menyelami dan memaknai dunia serta memaktubkan gagasannya. Meskipun umumnya citraan laut banyak hadir dalam sajak sebagai strategi puitik yang dilakukan penyair untuk meyimbolisasikan kenyataan dunia yang luas dan bergerak, namun sikap, cara pandang, dan gagasan kesadaran yang diusungnya menyimpan sejumlah perbedaan.


 Sebutlah, bagaimana laut dalam sajak  Sanusi Pane “Dibawa Gelombang” berbeda pemaknaannya dalam sajak-sajak Sutan Takdir Alisyahbana (STA), dan terlebih lagi dalam karya Asrul Sani.  Jika Sanusi Pane memaknai laut sebagai ruang batin dunia yang tenang penuh ketentraman, sehingga lukisan laut dalam sajak itu tak ubahnya sebuah telaga, tempat  Alun membawa bidukku perlahan/ Dalam kesunyian malam waktu/ Tidak berpawang tidak berkawan//;  maka dalam “Menuju ke Laut” STA menyelami laut itu sebagai ruang yang bergerak dinamis tempat manusia bergulat mengatasi alam, tempat Ombak ria berkejar-kejaran/di gelanggang biru bertepi langit/Pasir rata berulang dikecup,/tebingcuram ditentang diserang,/dalam bergurau bersama angin,/dalam berlomba bersama mega..

Laut STA pada sajak “Dalam Gelombang” juga berbeda dengan perlambangan laut Amir Hamzah “Berdiri Aku”, meski keduanya memiliki kecenderungan tematik yang sama, yakni hubungan manusia dan Tuhan. Demikian pula pada sejumlah sajak Asrul Sani di mana laut dihadirkan sebagai proses simbolisasi untuk mengungkapkan hasrat pada kemerdekaan, kebebasan, pencarian pergulatan manusia yang terlepas dari kungkungan tradisi dan masa lalu, seperti yang terbaca dalam sajak “Surat dari Ibu”, “Anak Laut”, “Orang Dalam Perahu”, atau “Elang Laut”.

Maka menjadi jelas, meskipun para penyair berangkat dari perlambangan yang sama, yakni laut metafora atau personifikasi dari kenyataan dunia sebagai ruang dalam eksistensi manusia, namun masing-masing mereka memiliki cara atau strategi estetika serta kesadaran yang berbeda dalam memberi pemaknaan konotatif atas laut. Perbedaan ini di lain sisi tidak hanya menjelaskan perbedaan mereka dalam orientasi budaya, namun juga menerangkan konteks waktu dan ruang ketika itu.
                                                            **
DALAM tradisi perpuisian Indonesia periode akhir  tahun 1960 dan 1970-an, laut masih banyak muncul dalam karya sejumlah para penyair. Bahkan bisa dikatakan perlambangan laut senantiasa ditemukan dalam kumpulan-kumpulan sajak mereka, seperti yang bahkan terisyaratkan dalam judul sejumlah kumpulan puisi, sebutlah, “Laut Belum Pasang” (Abdul Hadi W.M), “Sukma Laut” (Aspar Paturusi), atau “Madura Akulah Lautmu”, “Bantalku Ombak Selimutku Angin”, “Lautmu Tak Habis Gelombang” (D.Zawawi Imron). Tentu saja di situ para penyair tak hanya sekadar memindahkan laut ke dalam baris-baris puisi, melainkan terdapat berbagai strategi perlambangan yang mereka olah, juga cara pandang dan gagasan kesadaran yang didedahkan di sebaliknya.

Dan lewat sajaknya yang terkenal, “Laut”, Sanento Yuliman adalah satu di antara penyair itu.  Sebuah sajak yang dimuat di Majalah Horison No.II Desember 1967, yang pada tahun itu dianugerahi pujian Redaktur Horison untuk bidang puisi. Sajak panjang ini terdiri dari 5 bagian yang secara kuat menghadirkan laut sebagai sebuah strategi estetika perlambangan untuk menuliskan gagasan kesadaran tentang realitas kemanusiaan di Indonesia pada sekitar tahun 1967.  Tahun ketika Indonesia penuh dengan ketegangan sosial-politik menjelang runtuhnya rejim Orde Lama.  

Laut sebagai strategi perlambangan dalam sajak Sanento adalah laut yang dihadirkan dari tabiat manusia di tengah gemuruh kenyataan. Sebuah strategi perlambangan terbalik dari apa yang umumnya ditempuh sejumlah penyair. Jika  Sanusi Pane, STA, Asrul Sani, hingga Abdul Hadi W.M, Aspar Paturusi atau D. Zawawi Imron, menggunakan laut untuk mengungkapkan kenyataan manusia; maka yang dilakukan Sanento adalah membaca dan menemukan laut itu dari kenyataan manusia. 

Dengan kata lain, dalam sajak itu Sanento tidaklah melukiskan laut untuk mengungkapkan kenyataan manusia, tapi dari kenyataan manusia itulah ia melihat laut. Bukanlah laut yang hadir untuk mengungkapkan pergulatan kenyataan manusia, namun pergulatan itulah yang menyaran sebagai laut. Bait awal sajak itupun sudah memperjelas posisi manusia di hadapan laut. Di situ manusia tidaklah berada di tengah laut seperti dalam sajak Sanusi Pane, STA, atau D. Zawawi Imron. Tapi,  Di tepi laut luas kita berdiri, dan sambil menunjuk/karang-karang dan bangkai kapal/Engkau mengeluh seperti ombak, …//

Menghamparkan laut dari tabiat dari kenyataan kemanusiaan di Indonesia di  tengah kekacauan sosial-politik tahun 1967, inilah yang dilakukan Sanento dalam sajak panjangnya itu. Karena itulah, berbeda dengan Asrul Sani yang dalam sajaknya “Anak Laut” dan “Elang Laut” dengan girang menyebut laut sebagai hasrat untuk merengkuh masa depan yang penuh kebebasan dan kemerdekaan, laut Sanento adalah pemandangan yang mendebarkan, rahasia dan malapetaka, bunyinya yang riuh, penuh bangkai kapal, pedang, meriam berlumut, perkakas yang sudah lama tenggelam, camar yang melayang dalam warna yang redup dan tua, serta tulang-tulang mereka yang mati di laut; //…/ Tulang-tulang yang tidak lagi berbentuk, namun/masih dialiri dendam/…    

Seluruh pemandangan yang menakutkan itu tidaklah berada di luar diri manusia, tapi berada di dalam diri kemanusiaan itu sendiri. Oleh Sanento laut  diluluhkan ke dalam kenyataan kemanusiaan, sehingga tak ada jarak antara laut di luar dan di dalam diri manusia. Dan antara laut di dalam diri kita/Dan laut di sekitar kita, tak ada karang pemisah/ataupun pantai/Keduanya saling menembus,/saling merangkum,/keduanya membentang/…//       
  
Meski di tengah hingar-bingar politik yang kerap membuat penyair menyerahkan estetika puisi pada tema sehingga bahasa hanya menjadi kendaraan yang difungsikan untuk memotret kenyataan faktual, seperti yang banyak terjadi di masa-masa reformasi 1998, namun sajak “Laut” Sanento lolos dari kecenderungan seperti itu. Kenyataan yang terjadi di tahun 1967 itu tidak hanya dipindahkan ke dalam teks, namun dihadirkan dengan  temuan-temuan imaji, metafora dan personifikasi yang menggetarkan. 

Lihatlah, bagaimana ia melukiskan setiap orang di tahun 1967 itu tenggelam dalam kesumat.  Dan malam ini takkala kita jatuh/Makin jauh ke dalam gelap, ke bagian dalam dari/yang terpendam/Kita mendengar/Seperti pukulan berjuta sayap, gelepur yang kacau/dan hingar/Peperangan terpendam, perbenturan berbagai arus/tersembunyi/Permusuhan di dasar, dalam hakekat, dalam gelap/Yang menyeret dalam persabungan, hantam-/menghantam.
             
Membaca sajak “Laut” Sanento adalah membaca bagaimana seorang penyair menghikmati apa yang terjadi dengan situasi kemanusiaan di sekelilingnya. Situasi kemanusiaan yang pengap, yang nyaris membawa setiap orang hidup dalam rasa putus asa karena tak ada lagi tempat untuk berlindung, Burung-burung mempunyai sarang/Serigala mempunyai guha, tapi anak manusia/Tak punya tempat untuk membaringkan hatinya//.  Dalam sajaknya yang lain “Bayang-bayang” nada keputus-asaan manusia di tengaj situasi sosial-politik ini juga sangat terasa, Kanak-kanak mempunyai rumah/Tempat untuk menghapus air mata, untuk menyusupkan kepala dan berlindung/Dari ejekan dan pukulan dunia: Orang dewasa/Adalah yatim-piatu yang tidak berumah   
            
Sanento mengkonkretkan pengalamannya lewat strategi pengucapan yang jitu, sehingga sampai hari inipun kita seolah terus diajak melihat laut dalam berbagai tabiat manusia. Laut yang terus bergerak, mendentum,   dan saling memukul.  Jikapun ada ketenangan, manusia tetap diam-diam menyimpan suara lain dalam dasar dirinya yang sangat menakutkan. Dan burung itu meyanyi, Megahlah//Sebagai karang abadi/Di tengah ombak dan di tengah padang/Tengahhari//Dan suara lain adalah suara/Gelap bersabung gelap, ditempat-tempat/tersembunyi.    
                                                                      **
TENTU saja Sanento Yuliman tak hanya menulis sajak “Laut”. Dari sejumlah sajak Sanento yang termuat dalam antologi “Laut Biru Langit Baru” atau “Tonggak 3”, juga yang berceceran di sejumlah media-massa,  kita bisa menemukan bagaimana kecenderungan strategi estetik yang dibangunnya berangkat kuat dari sensifitasnya terhadap citraan alam.  Ketajamannya dalam mengolah citraan alam hadir lewat bahasa pengucapan yang terasa menjadi nada dasar dalam sajak-sajaknya, yang langsung berhubungan dengan bangun wilayah tematik sajak.

 Seperti terasa dalam sajak “Laut”, misalnya, olahan citraan alam itu tampak bergerak dan menghamparkan semesta ketegangan dalam kenyataan manusia.  Dalam sajaknya yang lain, dengan suasana dan bangun tema yang nyaris sama, yakni, “Pertempuran Subuh”, citraan alam di situ hadir sebagai latar (lanskap) yang muram dalam imajinasi-imajinasi  visual yang menggetarkan; //di timur//deretan awan:/lengkung alis yang kelam//…//horizon pun senyap/seperti mata yang pejam//angin//napas yang dalam//…//tiba-tiba langit mengangkat/pelupuknya, dari nyala terbuka, memandang/mata/hari,murah dan merah//…//(dilangit/burung-burung beterbangan:/bayang-bayang yang gelisah/di antara bintang-bintang.
             
Demikian pula dalam sajaknya yang lain, “Bayang-bayang”.  Suasana dan fokus sajak panjang ini sama dengan “Laut”, demikian pula secara tematik.  Sebuah sajak yang merekam situasi ketegangan dan kegelisahan di sekitar akhir tahun 1960-an., di mana keberadaan manusia hanya hadir sebagai bayang-bayang.. Dan beribu bayang-bayang, berjuta bayang-bayang/ Di Medan dan di Jakarta, di Ambon dan di mana saja/ Menyaksikan pagi itu merekah seperti mawar/ Tapi semua baying-bayang terlalu sibuk untuk mengerti//. 
            
Citraan alam , dalam personifikasi, alegori, dan metafora, di sini lagi-lagi hadir untuk menjadi bingkai dalam menatap kenyataan kemanusiaan yang menyedihkan. Kemarau menghirup sungai-sungai dan benih./Kemarau tajam dan menyala./ Menggaruk dan mencabik ladang dan sawah, mengeduk/ Sumur-sumur curam di kota-kota./Kemarau ganas dan berdebu//…//Hujan/Memukul padang dan bukit. Hujan membangunkan/ Sungai-sungai, dan sungai-sungai memperoleh kembali tenaganya, meliku dan melonjak/Menderu sepanjang lembah, menampar tebing-tebing, menerobos kampung-kampung/Melemparkan jembatan-jembatan yang menjerat pinggang mereka./ Hujan gelap/ Dan menakutkan Hujan menderu di kota-kota//   
            
Gerak alam yang diolah menjadi  perangkat puitik dilakukan Sanento demikian fasih. Tak hanya gerak-gerik alam yang dihadapkan pada kenyataan kemanusiaan yang mendebarkan seperti dalam “Laut”, “Bayang-bayang”, atau sejumlah sajaknya yang lain. Tapi juga gerak-gerik alam yang dihadirkan dalam kesadaran terhadap misteri alam itu sendiri. Satu sajaknya yang paling padat melukiskan keindahan dan misteri alam itu adalah “Dari Besakih”. 

Sebuah sajak yang langsung menghamparkan panorama alam, gunung yang bersidekap, alun rumput, dan langit biru yang menjadi pusat dari seluruh keheningan dan misteri. /dan dekat hanya hati kita/mendegap-degupkan duka/ketika harum rumput mengalun/ketika bumi mengigau/dengan beribu hijau//ketika burung-burung gugur dari kepaknya/ dan masih mengepak ke langit/ ketika bunga-bunga luruh dari wanginya/dan masih semerbak ke langit/ ketika semua yang cerai-berai di bumi/disatukan oleh langit/ oleh biru yang satu/oleh rindu.
            
Jika menulis puisi disebut sebagai pekerjaan melakukan proses simbolisasi, maka Sanento Yuliman melakukan proses simbolisasi itu dengan menghikmati alam. Ia menghubungkan dan mempertautkan gerak alam dan gerak-gerik kenyataan semesta manusia. Ia melihat manusia melalui alam dan menemukan alam lewat tabiat manusia. Tentu saja,  dalam tradisi perpuisian Indonesia dan dunia citraan alam dalam sajak bukanlah sesuatu yang baru.  Tapi soalnya bukanlah apa itu baru atau bukan, melainkan bagaimana penyair mengolahnya, sehingga ia luput dari ungkapan-ungkapan yang klise. (Ahda Imran, Majalah Sastra Horison, nomor pemuatan tak terlacak)**   
                                                   
Cilame, Maret 2007 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar