Jumat, 23 Maret 2012

Cihampelas (1), Denyut Sebuah Kawasan



MENYEBUT Cihampelas, maka ingatan orang tak sekadar tertuju pada sebuah kawasan yang secara geografis berada di Kota Bandung. Mungkin sejak akhir tahun 1980, ketika tempat ini pelan-pelan mulai dikenal sebagai kawasan perdagangan jeans yang sebelumnya berada di kawasan Pajajaran, Cihampelas mulai menunjukkan denyut perkembangan yang menyimpang dari masa lalunya. 

Dari kawasan yang oleh pemerintal kolonial dirancang sebagai kawasan hunian, tumbuh berubah menjadi kawasan perdagangan. Denyut perkembangan ini menarik, karena perubahan fungsi kawasan ini terjadi sebagai proses yang berada di luar rancangan institusi formal pemerintah.


Karena itu, bisalah kemudian kita menyebut bahwa pada kenyataannya masyarakat memiliki kesanggupan untuk mengondisikan sebuah kawasan lebih dari sekadar mengubah fungsinya. Tapi juga menaruhnya untuk menjadi tempat bagi berlakunya hukum abadi ekonomi, yakni, permintaan dan penawaran.

Sebagai kawasan yang telah berubah menjadi fungsi ekonomi semacam inilah, Cihampelas terus berdenyut. Pada perkembangan seterusnya kawasan ini tak hanya menghadirkan fungsinya sebagai kawasan perdagangan, melainkan juga maknanya sebagai kawasan yang menyediakan berbagai hal bagi tentang peristiwa konsumsi. Peristiwa yang kemudian dikemas dengan jargon, semisal, “Wisata Belanja”. Jargon itu seakan memberi pengertian bahwa berbelanja di Cihampelas bukan hanya sekadar membeli sesuatu, tapi juga memiliki makna yang lebih dari sekadar itu.

Pengakuan Yusuf (35) asal Wonosobo yang datang ke Cihampelas bersama rombongan  menggunakan bus di hari Minggu (5/9), agaknya bisa mewakili pandangan semacam itu. “Ya, kalau cuma mau beli baju lebaran, di Wonosobo juga kan bisa, banyak toko baju. Tapi kalau belinya di Bandung kan beda. Apalagi belinya di Cihampelas.”

Yuni (29) yang datang bersama seluruh keluarganya dari Jakarta juga mengatakan hal yang sama. Baginya belanja ke Bandung adalah belanja ke Cihampelas bukan ke tempat-tempat yang lain, seolah-olah Bandung melulu hanyalah Cihampelas meski di kota ini bertebaran Factory outlet (FO) di banyak tempat. “Ya, kayak beli batik di Yogjakarta, enaknya ‘kan beli Malioboro. Begitu juga beli baju atau jeans di Bandung, lebih afdol kalau belinya di Cihampelas,” tuturnya.      

Lewat jargon “Wisata Belanja”, Cihampelas tak hanya sekadar menjadi tempat orang untuk membeli sesuatu, karena ternyata di mana tempat orang membelinya juga menjadi penting. Dan inilah yang dimiliki oleh Cihampelas, tempat belanja dengan pemaknaan yang berbeda dari sejumlah tempat belanja lainnya di Bandung. 

Bahkan, terutama bagi mereka yang datang dari luar kota Bandung, seakan-akan apa yang dibeli tidak lagi menjadi penting sepanjang Anda membelinya di Bandung, dan itu adalah Cihampelas. Dengan kata lain, ini menjelaskan bahwa Cihampelas lebih dari sekadar sebuah tempat untuk berbelanja di Bandung, melainkan di mata mereka Cihampelas adalah Bandung itu sendiri, seperti halnya Yogjakarta adalah Malioboro.
                                                              **
DENYUT inilah yang lantas juga membawa Cihampelas ke dalam sebutan ikon wisata belanja di Kota Bandung. Meski pada awalnya kawasan ini lebih berkonsentrasi sebagai sentra perdagangan jeans, tapi dalam perkembangannya yang lebih jauh, Cihampelas memanjakan para penyuka belanja dengan berbagai jenis fesyen. 

Di luar jeans, ada berbagai jenis dan model busana, atribut serta pernak-pernik untuk orang bergaya, belum lagi berjenis-jenis cindera mata dan pengganan a la Bandung.  Semuanya di sediakan di berbagai tempat. Dari mulai di deretan outlet dengan desain-desain yang unik, deretan kios, pedagang kaki lima hingga para pengasong.

Dan seluruhnya inilah yang kian membuat Cihampelas sebagai kawasan tempat berlakunya hukum permintaan dan penawaran. Atas nama ini pula, kawasan ini terus berdenyut dan menyediakan berbagai peluang pasar berikutnya bagi para pelaku di dunia usaha. Tak ada satu meter pun di kawasan ini yang disia-siakan demi melayani keperluan para pelancong, di luar keperluan mereka berbelanja. 

Dan bermunculanlah di Cihampelas sejumlah agen perjalanan dan travel, kafe, rumah makan, hotel, pertokoan, bahkan juga mall yang luas dengan berbagai fasilitas yang tak sekadar menjadi tempat orang berbelanja, tapi juga bergaya.

Di luar itu, di trotoar dan sejumlah jalan yang bermuara di koridor Jl. Cihampelas juga bermunculan warung kopi dan warung makan, atau sisi-sisi jalan yang berubah fungsinya sebagai tempat parkir yang dikelola oleh warga sekitar. Demikian pula, para tukang jahit atau permak pakaian yang mangkal di setiap outlet. Atau lagi, usaha kos-kos-an warga di kawasan Cihampelas. 

Semua itu dengan mudah bisa ditemukan sejak dari Cihampelas atas  di Utara ( pertigaan Jl.Cihampelas dan Jl. Siliwangi) hingga Cihampelas bawah di Selatan (simpang di bawah Jembatan Layang Pasupati). Terutama di hari-hari libur, di mana Cihampelas dipadati oleh pelancong, tak terbayangkan berapa angka nol dalam perputaran jumlah uang di tempat ini. Mulai dari deretan outlet, mall, travel, hotel, toko cindera mata dan oleh-oleh, kafe, rumah makan, hingga omset para pedagang kaki lima, warung rokok, tukang jahit permak pakaian sampai parkir.   

Mencermati denyutnya semacam itu, lantas dengan mudah orang bisa mengatakan betapa Cihampelas dalam fungsinya sebagai kawasan ekonomi tak cukup hanya dihitung dari angka perputaran uang, tapi juga telah menjadi kawasan yang menyediakan berbagai lapangan kerja, termasuk bagi para penduduk di sekitarnya. Surya Arga, manajer operasional sebuah outlet mengatakan sepanjang mememuhi syarat, warga sekitar Cihampelas selalu diprioritaskan setiap kali ada lowongan untuk menjadi karyawan.  Bahkan ia mengaku setiap kali outlet-nya memerlukan karyawan baru, dia sendiri yang mengantarkan formulir lowongan kerja itu pada  RT setempat. 

Meski begitu, ada sejumlah permasalahan berikutnya yang mengendap di balik semua denyut yang kini tengah berlangsung. Baik itu permasalahan yang ada di permukaan atau fenomena yang lazim muncul ketika sebuah kawasan mengalami perubahan fungsi dan berdenyut demikian cepatnya. Dari mulai fenomena hubungan sosial hingga lingkungan. Seluruhnya ini merupakan risiko yang mesti dijawab, terutama lagi denyut perkembangan Cihampelas berlangsung nyaris di luar antisipasi, prediksi, dan dugaan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung.
                                                          **
SATU hal yang amat dirasakan ketika Cihampelas berubah dan berdenyut dengan sendirinya ini adalah keramaian yang melahirkan kemacetan. Koridor Cihampelas, terutama di hari-hari libur, selalu dijejali oleh kedatangan para pelancong yang tak hanya menggunakan kendaraan pribadi, tapi juga bus. Keramaian itu tak berimbang dengan koridor Cihampelas yang hanya memiliki lebar jalan delapanbelas meter. Kedatangan para pelancong juga berbaur dengan angkutan umum yang berhenti seenaknya, sehingga bagi warga Kota Bandung, Jl. Cihampelas adalah jalan yang mesti dihindari karena kemacetannya.

Sedangkan bahu jalan pun sudah berfungsi sebagai lahan parkir, sehingga keluar masuk kendaraan menimbulkan kemacetan. Para pejalan kaki pun tumpah ke sisi jalan, bukan hanya karena trotoar yang “dikuasai” para pedagang kaki lima, tapi juga karena kondisi trotoar yang umumnya sudah rusak.  Denyut Cihampelas yang dibiarkan terjadi dengan sendirinya ini juga sangat mengabaikan aspek lingkungan. Tertutupnya dranaise membuat air hujan selalu tumpah ke jalanan dan menimbulkan banjir.   

 Mencermati Cihampelas dalam kenyataan semacam itu, agaknya inilah yang dimaksud oleh Jo Santoso dalam buku “(Menyiasat) Kota Tanpa Warga” (2006), yang menyebut betapa strategi pengembangan kota-kota besar di Indonesia lebih banyak diserahkan pada kekuatan pasar ketimbang membuat strategi jangka panjang.

Minimnya infrastruktur, inilah yang amat terasa dalam denyut perkembangan Cihampelas sebagai kawasan ekonomi. Contoh yang paling nyata adalah ketiadaan sarana lahan parkir. Karena itulah dalam pandangan Aat Suratin aktivis budaya yang banyak menyoroti perkembangan kota, perkembangan Cihampelas disebutnya sebagai kawasan usaha yang digagas tanpa proyeksi jumlah manusia yang  datang untuk berbanding lurus dengan sarana yang memadai, di antaranya lahan parkir. 

“Cihampelas hanyalah satu contoh pada betapa hampir di setiap kawasan usaha sarana itu tak pernah memadai. Sehingga dampaknya merugikan warga kota dan masyarakat pengguna jalan yang berhak mendapat kenyamanan dan keamanan,” ujarnya.

Minimnya infrastruktur  sebagai kawasan ekonomi seolah kian membenarkan betapa perkembangan Cihampelas amat lamban diantisipasi oleh pemkot Bandung. Tapi Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Ir. Juniarso Ridwan menolak anggapan tersebut. Dalam pandangannya pemkot Bandung telah lama mengantisipasi perkembangan Cihampelas sebagai salah satu kawasan sentra industri dan perdagangan.

“Tapi memang banyak akibat dan hal yang sifatnya di luar dugaan, unpredicrable, “ katanya seraya menguraikan program Revitalisasi Lima Kawasan Sentra Industri dan Perdagangan Kota Bandung Tahun 2008, di antaranya kawasan Cihampelas.**       
    
   
    
Berharap Pada Revitalisasi

KEMACETAN di Cihampelas karena sarana atau infrastrukturnya yang minim sebagai kawasan wisata belanja, sebenarnya bukanlah soal baru. Meski begitu hingga hari ini bisa dikatakan tak ada yang berubah dengan kondisi Cihampelas. Ia tetap sebagai kawasan yang dijejali oleh kesibukan orang melakukan wisata belanja dengan kemacetan yang diakibatkannya. 

Mengubah kondisi Cihampelas tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan, terlebih lagi kawasan ini seakan kadung terlalu lama dibiarkan tumbuh berdenyut dengan sendirinya, kawasan hunian yang berubah jadi kawasan sentra perdagangan.

Dalam Rencana Umum Tata Ruang Perda No. 2 th. 1992, Cihampelas masih dikategorikan sebagai kawasan campuran. Kawasan merupakan transisi dari pemukiman menjadi kawasan jasa dan perdagangan. Kemudian melalui Perda No.2 th.2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, koridor Cihampelas diubah beruntukannya menjadi kawasan perdagangan. Karena itulah, menurut Kepala Dina Tata Ruang dan Cipta Karya Ir. Juniarso Ridwan diperlukan sejumlah penataan.

“Khusus untuk koridor Cihampelas, kami plotting pola parkir bersama sehingga bisa terbangun parkir yang memadai,” ujarnya.

Menjawab anggapan bahwa perubahan dan perkembangan Cihampelas lebih cepat ketimbang antisipasi pemkot Bandung, ia mengatakan pemkot tengah dan selalu berupaya melakukan sinergi dengan pelaku ekonomi di Cihampelas untuk bersama mengondisikannya lebih  nyaman sebagai kawasan wisata belanja. 
Jika pemerintah bergerak dengan regulasi dan penyediaan anggaran untuk infrastruktur, dari mulai dranaise sampai trotoar, ia berharap para pelaku bisnis mau membenahi lahan parkir sehingga menjadi pola parkir bersama yang ada di lahan mereka.

“Hanya memang pelaku usaha di Cihampelas tidak merespon positif atau tidak cepat merespon, sehingga pemkot seolah bekerja sendirian melakukan penataan. Pemkot sudah berkali-kali melakukan pendekatan. Pada saat bertemu mereka selalu siap, tapi begitu di gerakan, bahkan untuk diajak rapat saja yang datang malah satpam atau pegawainya, bukan pemiliknya. Ini yang jadi repot, ” tuturnya.

Tentang revitalisasi kawasan Cihampelas, Juniarso Ridwan mengatakan salah satu yang menjadi fokus adalah jalan dan seluruh kelengkapannya, termasuk parkir bersama. Dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) juga disebutkan bagaimana revitalisasi itu mengintegrasikan banyak hal, jalan, drainase, air bersih, sampai sampah.   

Dalam RTBL Kota Bandung Tahun 2008, dicantumkan fungsi kawasan Cihampelas sebagai kawasan perdagangan yang terbagai menjadi tiga segmen; pusat oleh-oleh, pertokoan jeans, dan campuran. Demikian pula dalam Rencana Tata Guna Lahan, yang merevitalisasi setiap bagian dalam masihng-masing segmen.   
Revitalisasi Cihampelas mau tak mau memang menawarkan sejumlah harapan, meski memang terlalu pagi untuk diharap bisa mengubah kondisi Cihampelas, terlebih , seperti disebut Juniarso Ridwan tanpa adanya respon dari pelaku bisnis itu sendiri. 

Tapi bagaimana pun, paling tidak revitalisasi ini di mata pelaku bisnis Hendry Husada menjadi penting demi meningkatkan kualitas Cihampelas sebagai kawasan perdagangan yang telah menjadi ikon Kota Bandung. 

“Meski selalu macet dan minimnya infrastruktur, tapi kami terus berusaha untuk eksis agar Cihampelas ini terus menjadi ikon wisata belanja Kota Bandung. Cihampelas ini adalah kawasan perdagangan yang paling unik, menyatukan perdagangan dengan desain unik krearivitas toko-tokonya, “ ujar Hendry.

Merespon revitalisasi pemkot Bandung, Hendry mengatakan revitalisasi itu menarik sekaligus dan penting untuk mendesain kembali Cihampelas. Sebagai pemilik belasan outlet, Hendry menyebutkan bahwa ia hendak merespon rencana revitalisasi itu dengan desain sejumlah outletnya dengan desain khas lokal tradisi Sunda.

“Saya sedang berdisikusi dengan sejumlah desainer untuk menciptakan tokoh super hero yang bisa dianggap mewakili Bandung dan budaya lokal Sunda, sehingga sosok itu bisa sejajar hadir bersama para super hero lainnya, seperti Batman, Superman, atau Rambo,” ujarnya lagi.

Menguraikan sejumlah responnya terhadap revitalisasi Cihampelas, Hendry tetap pada keinginan memertahankan Cihampelas sebagai kawasan belanja yang unik. Yang memadukan wisata dan belanja. Untuk itu, misalnya, dalam salah satu outletnya ia mengajak orang untuk tak hanya berbelanja, tapi juga menyaksikan sejumlah binatang langka. Revitalisasi Cihampelas, kata dia, haruslah dilakukan dengan kreatif demi keunikan Cihampelas. Untuk itulah ia pun tengah mendesain sejumlah outlenya dengan semacam desain jembatan yang unik, yang menonjolkan khazanah lokal.

Revitalisasi Cihampelas di sisi lain juga menimbulkan banyak harapan, yang tak hanya untuk menjawab permasalahan selama ini, tapi juga ke depan. Seniman Tisna Sanja berharap bahwa infrastruktur di Cihampelas akan semakin rumit jika kolam renang Cihampelas yang sudah ada sejak tahun 1900 itu dirubah menjadi apartemen ribuan kamar. Menurutnya, kawasan Cihampelas akan jadi kawasan yang unik di dunia jika bekas kolam renang itu menjadi pusat kreativitas seni dan kebudayaan air, seperti pusat budaya bambu di Saung Angklung Udjo.

“Akan jadi sinergi yang menarik jika tempat itu lantas berpadu dengan pusat bisnis fesyen Cihampelas, “ ujarnya seraya menyebut kawasan perdagangan dan wisata di sejumlah kota di dunia yang memadukan pusat seni dan kebudayaan bersama kawasan perdagangan. (Ahda Imran, Pikiran Rakyat 25 September 2011)  
    


2 komentar: