Jumat, 11 November 2011

Karim Raslan, “Malaysia Harus Belajar Pada Indonesia”

ALIH-alih menganggap bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang gagal, Malaysia semestinya mau melihat dengan objektif bagaimana Indonesia pelan-pelan mulai bangkit dari keterpurukannya. Di bidang ekonomi, liberalisasi politik pasca reformasi 1998 secara perlahan telah mulai membangkitkan kembali kegairahan dunia usaha dan iklim investasi di sejumlah kota besar di Indonesia. Dan lebih dari sekadar itu, liberalisasi politik secara perlahan telah membawa Indonesia ke dalam sebuah fase demokrasi yang lebih matang dibanding sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Malaysia.

Terbukanya ruang bagi perbedaan politik, agama, budaya, juga kebebasan pers, merupakan bagian paling penting dari perkembangan demokrasi di Indonesia. Inilah yang semestinya diapresiasi oleh publik Malaysia tentang Indonesia ketimbang
hanya sekadar mengidentifikasi orang Indonesia dari keberadaan para TKI dengan pandangan yang serba negatif.    

Adalah kolomnis Malaysia Karim Raslan yang selama ini getol menyajikan potret Indonesia yang lain ke tengah publik Malaysia. Lewat esai dan kolom-kolomnya di sejumlah suratkabar berbahasa Inggris dan Melayu, penulis jebolan St. John College, Cambridge Inggris ini bercerita ihwal perjalanannya ke banyak tempat di Indonesia. Tak hanya itu, ia pun bercerita sisi lain di balik berbagai peristiwa penting yang terjadi di Indonesia . Mulai dari terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI pertama yang dipilih secara langsung tahun 1999, sosok Gus Dur, NU, PRRI, hingga seni.
Seluruh tulisan Raslan Karim bermuara pada satu hal, yakni, semangatnya untuk bercerita bahwa Indonesia adalah sebuah negara besar dan penting dengan perjalanan demokrasi yang kian matang.  Demokrasi yang memberi tempat pada keberagaman budaya, etnis, dan agama. Sesuatu yang tak dimiliki oleh Malaysia. Sebagian tulisan Raslam Karim tentang Indonesia ini telah terbit dalam buku berjudul “Ceritalah Indonesia”. Buku ini diluncurkan dan diskusikan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM)  Bandung, 8 November 2010.  

“Ada banyak hal yang berlaku di Indonesia. Kaya dengan keberagaman, kebebasan, dan demokrasi yang bisa jadi contoh buat rakyat di Malaysia. Di sini, orang Kristen Jawa tetap dianggap sama dengan orang Indonesia lainnya. Dan saya mencontoh Indonesia dari segi ini untuk menyampaikan kepada kawan-kawan saya di Malaysia, bahwa kita harus belajar dari Indonesia, dari pluralisme, kebebasan, dan juga demokrasi,” ujar lelaki berdarah Melayu dan Inggris ini.

Berikut percakapan bersama Karim Raslan sesuai mendiskusikan bukunya. 

                                                         **
SEJAK  kapan Anda menulis tema Indonesia dan mengapa?

Indonesia menjadi perhatian saya sejak tahun 1998-1999. Hampir bersamaan dengan itu, saya pun sangat kecewa dengan kejadian di Malaysia dengan apa yang terjadi pada Anwar Ibrahim. Meski saya bukan pendukungnya, saya merasa negara kami sudah bersikap tidak adil. Kalau orang nomor dua saja bisa ditangkap dan diperlakukan seperti itu, apalagi orang lain. Karena itu saya berpikir bahwa untuk mengubah keadaan semacam itu, saya harus mulai dari tempat yang berbeda. Jadi sejak itu, saya mulai sering ke Indonesia. Pertama, bahasa Malaysia-Indonesia saya bisa lebih fasih. Dan yang kedua,  ada banyak hal yang berlaku di Indonesia, seperti kebebasan media dan demokrasi yang bisa jadi contoh buat rakyat di Malaysia.


Ada anggapan kaum muda di Malaysia tak memahami  sejarah  hubungan Indonesia-Malaysia sehingga mereka kurang menghargai  dan menghormati Indonesia sebagai saudara serumpun. Apakah itu benar?

Pasti. Pengetahuan mereka tentang latar belakang kedua negara  sangat tipis. Sebabnya adalah kegalalan pendidikan kami di Malaysia. Mereka harus paham sejarah sebelum adanya Traktat London (1824), perjanjian antara Inggris dan Belanda yang membelah Selat Malaka menjadi dua kekuasaan, Semenanjung Malaya menjadi  Inggris dan Sumatera milik Belanda. Jadi dengan traktat itu kita dipisahkan. Jika kita tengok dari perspektif sejarah dan kekeluargaan sangat dekat,  antara Semenanjung Malaya dengan orang Minang, Riau, Medan sampai ke Palembang.  Tapi, harus diakui hubungan antara pulau Jawa dengan Semenanjung tidaklah sedekat dengan Sumatra.
                                                            
Memang tidak ada studi kajian tentang Indonesia di Malaysia?

Wah, tidak ada banyak. Itu masalahnya. Tapi sekarang banyak yang ingin belajar tentang Indonesia. Saya sepuluh tahun menulis tentang dan tampaknya sekarang pun mulai tumbuh para penulis yang berminat ke arah itu. Menurut saya, yang paling penting di sini adalah keadaan ekonomi Indonesia sudah berkembang. Dan juga ada demokrasi, ada kebebasan media, negaranya bukan hancur, tapi lebih kuat.

Malaysia sebenarnya adalah juga negara yang plural, ada etnis Melayu, Cina, dan India. Apa yang Anda lihat dengan pluralisme di Malaysia dan di Indonesia sebagai suatu perbandingan?

Jauh bedanya. Di Indonesia sangat pluralis. Oleh sebab itu saya sangat kagum pada Gus Dur (Abdurrachman Wahid). Beliau berani untuk membiarkan orang Tionghoa mempunyai hak-hak yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain. Jadi pluralisme yang dipakai di Indonesia jauh lebih kuat daripada Malaysia. Oleh sebab kami ingin menyatukan orang Melayu dan memisahkan orang Melayu daripada orang asing (Tionghoa dan India, yang dianggap asing padahal mereka warga negara Malaysia). Di sini orang Kristen Jawa dianggap sama dengan orang Indonesia. Jadi menurut saya, ini suatu kelemahan cara negara Malaysia diperintah. Dan saya mencontoh Indonesia dari segi ini untuk menyampaikan kepada kawan-kawan saya di Malaysia bahwa kita harus belajar dari Indonesia, dari pluralisme, kebebasan media, dan juga demokrasi.
                                                          

Karim, sebagai orang Melayu berdarah Inggris, apa artinya menjadi seorang Melayu bagi Anda?

Sulit dikatakan. Perjalanan saya, riwayat saya, dan hampir semua energi saya menumpu kepada isu itu, apakah identitas saya? Jadi waktu saya di Sumatera, saya banyak Interview dan ngobrol dengan orang Melayu Sumatera untuk  memahami apakah kemelayuan itu. Sebab di Malaysia, identitas Melayu itu sudah masuk ke dalam tata negara. Orang Melayu itu muslim, biasa dengan bahasa Malaysia, dan juga berpakaian Melayu. Jadi itu dijadikan sebagai alat oleh kerajaan untuk menyatukan kaum Melayu muslim agar mereka menjadi kaum yang lebih dominan. Padahal menurut saya, istilah Melayu itu lebih beragam. Dan saya datang ke Indonesia, sudah pasti ingin belajar bahasa Melayu, bahasa Indonesia dan juga untuk memahami apa Melayu itu. Barangkali istilah Melayu yang dipakai oleh Malaysia itu meniru, dan hanya dijadikan alat  politik. Padahal di Indonesia orang yang muslim bukan semuanya Melayu. Ada muslim Jawa, muslim Banjar, muslim Sunda, dan mereka mempraktikkan agamannya dengan cara yang sedikit berbeda. Muslim NU dan muslim Muhammadiyah, misalnya. Sedangkan di Malaysia semuanya harus sama, harus disatukan. Kami ditakut-takuti bahwa kalau kami tidak bersatu nanti kami dikuasai oleh orang Cina, India, orang asing, padahal mereka pun warga negara Malaysia. Jadi salah satu sebab mengapa saya sering ke Indonesia, yaitu, untuk memahami dengan cara yang lebih dalam mengenai istilah Melayu.

                                                              **
SEBAGAI penulis Karim Raslan tak sungkan untuk berbicara hal-hal genting ihwal hubungan Indonesia-Malaysia yang akhir-akhir ini mengalami ketegangan, tanpa lantas terjebak ke dalam pandangan hitam-putih yang sempit. Dengan kata lain, pandangannya lebih merupakan pandangan seorang penulis ketimbang pandangan seorang warga negara Malaysia.

Meningkatnya ketegangan antara kedua negara, kata Karim, tak hanya bersebab pada buruknya diplomasi di antara kedua negara. Tapi, juga diperkeruh oleh sejumlah permasalahan domestik kedua negara. “Ya, politik domestik akan memengaruhi suasana politik internasional,” ujarnya.                                                               

“Kami harus mengakui bahwa Anwar Ibrahim, ketua partai pembangkang itu, sosok dan sambutannya di Indonesia sangat baik dan hangat, kalau dibandingkan dengan pejabat-pejabat Malaysia yang lain,” kata dia lagi.

Suasana politik domestik di Indonesia juga sama. Turut memperkeruh hubungan kedua negara. Karim menuturkan pengalamannya beberapa kali menjadi narasumber di TV. Pada awalnya beberapa narasumber dari Indonesia sama-sama menghantam Malaysia, tapi sesudah lima sampai sepuluh menit, mereka lebih fokus menyoroti kepemimpinan SBY.

“Jadi masalahnya buat saya adalah kita harus ingat bahwa ada masyarakat yang  dikeruhkan oleh retorika kayak gini. Banyak politisi dari banyak partai di Indonesia dan Malaysia yang memainkan isu ini,” papar Karim.

Lalu bagamana pendapat publik Malaysia atas tulisan-tulisan Anda yang bertemakan Indonesia?

Dulu ketika saya baru memulai ini, banyak orang yang tidak setuju. Mereka bilang, ah, Indonesia adalah negara yang gagal, negara yang tidak ada harapan untuk masa depan. Itu tahun 2000-2001. Tapi setelah tahun 2004-2005, lebih ramai, khususnya pengusaha Malaysia yang melihat bahwa Indonesia berpotensi untuk menanamkam investasi. Sekarang sudah tahun 2010 dan perkembangan Indonesia kian membaik, beberapa pengusaha Malaysia sudah turun ke Indonesia. Sekarang, kalau saya di Malaysia, setiap hari saya diundang untuk memberi ajaran tentang Indonesia, bagaimana kita masuk Indonesia, dan lain-lain. Sebab ekonomi yang paling penting. Kalau ada peluang untuk ekonomi, pasti orang mau. Jadi ini yang sangat penting untuk mengubah perspektif orang Malaysia terhadap Indonesia.

 Sebagai penulis pernahkah anda mendapat teguran  karena tulisan Anda, teutama ihwal Indonesia?

Sebetulnya ada. Tapi jangan lupa,  latar belakang saya ini sangat elit,  saya sangat dekat para menteri. Jadi menurut mereka, Ah,  itu hanya Karim saja...” Jadi itu salah satunya, dan yang kedua mereka tahu bahwa kritik saya sangat terus terang. Saya ingin Malaysia maju, kami harus lihat contohnya di Indonesia di mana mereka bisa memenej proses demokrasi dengan baik. Dan kami tidak bisa menolak, kami harus belajar sebab kami harus ikut. Jadi mereka sudah tahu bahwa ide-ide saya ialah untuk negara saya.  Pasti banyak juga yang tidak suka

Seandainya Anda boleh memilih dan dilahirkan kembali, antara Malaysia dan Indonesia, di mana Anda ingin dilahirkan dan menjadi warga negaranya?
                                             
(Tertawa). Mungkin saya mau jadi warga negara Brazil saja. Tapi pada saat saya masih kecil, saya tetap warga negara Malaysia tapi dengan cara mancanegara. Bapak saya sangat ingin anak-anaknya bisa ke mana-mana dan bergaul dengan siapapun.
(Ahda Imran)


Karim Raslan, Petaling Jaya Selangor 1963
Pendidikan               : St. Johns College Cambridge, Inggris
Pekerjaan                 : Kolomnis
Karya-karya             : “Pahlawan dan Cerita Lainnya” (2006), “Ceritalah Malaysia,” 
                                   “Ceritalah Indonesia” (2010).      

3 komentar:

  1. pandangn yg bagus ,,, kita semua hrus sling belajar demi menutupi kekurangn msing2....,,

    BalasHapus
  2. kalau ditanya, mau jadi warga negara Indonesia atau Malaysia?

    ehmmm, jawabnya: Kaya seperti Malaysia, bebas seperti Indonesia. hahahahaha

    BalasHapus