Jumat, 11 November 2011

Kapitalisme yang Meletihkan

zine.rukukineruku.com
DALAM  pendahuluan bukunya The Challenge og Global Capitalism (2002), Robert Gilpin & Jean Millis Gilpin menyebut bahwa kapitalisme merupakan sistem ekonomi kesejahteraan paling berhasil yang pernah dikenal dunia. Dan demi kesejahteraan itulah produktivitas mesti terus ditingkatkan dengan sandaran pada kecanggihan teknologi. Proses ini meniscayakan penghancuran segala sesuatu yang sudah tua untuk digantikan oleh hal-hal baru. 

Dalam tabiat kapitalisme, proses penghancuran yang tua berlangsung sebagai sebuah proses penghancuran yang kreatif  demi menghasilkan pemenang sekaligus juga pecundang.


Dan Paul Niemand (Sahlan Bahuy) adalah pecundang itu. Seorang konsultan ekonomi yang telah melewati puncak karirnya, sehingga tak ada lagi tersisa baginya kecuali kesepian dan perasaan terasing. Ia terasing dari persaingan kedua rekannya, Aurelius Glasenapp (Puti Puspita Hadiati), Karl Sonnenschein (Deden Syarip), dua konsultan muda yang energik. Ia merasa bahwa dunia tengah melakukan penghancuran terhadap dirinya. Tapi yang lebih mengerikan ia merasa terasing dari kemanusiaannya. Keterasingan yang membuatnya letih dan nyaris menjadi gila.

Inilah yang diusung oleh kelompok mainteater dalam pertunjukan mereka “Di Bawah Lapisan Es” (Unter Eis) karya Falk Ritcher dengan sutradara Wawan Sofwan di Amphi Teater Selasar Sunaryo Art Space Bandung (15/5) yang baru lalu. Naskah lakon ini merupakan kelanjutan dari lakon “Electronik City” yang telah dipentaskan sebelumnya oleh mainteater.  Lakon ini merupakan bagian kedua dari teatrologi “Das System”. Dua lakon lainnya adalah “Hotel Palestinien” dan “Amok”.  

Dan seperti juga “Electronik City”, pemilihan lakon “Di Bawah Lapisan Es” oleh mainteater membayangkan adanya semacam konteks aktualitas di tengah kenyataan hari ini, ketika kapitalisme dan kesejahteraan dianggap sebagai hubungan yang niscaya. Pasar sebagai panglima telah membuat kapitalisme memiliki kemampuan bermetamorfa ke dalam berbagai sudut kehidupan. Tak hanya dunia usaha, tapi juga seni, gaya hidup, bahkan agama.    

Sebagai sebuah pertunjukan yang ingin mempertontonkan “jeroan” kapitalisme dan situasi kemanusiaan di dalamnya, apa yang disuguhkan oleh mainteater malam itu nyaris sepenuhnya hadir dengan monolog-monolog panjang.  Konflik, emosi, dan irama pertunjukan tidak dibangun dari idiom-idiom tubuh para pemain. Melainkan hadir dari monolog ketiga pemain yang seolah tidak saling berhubungan. Narasi tontonan berlangsung lewat apa yang termaktub dalam monolog.

Tapi itu pun sesungguhnya lebih menekan pada suasana ketimbang menjelaskan sebuah narasi. Bahkan mungkin tak ada narasi di dalamnya, kecuali narasi psikologis yang mendera Paul Niemand. Sedangkan  Aurelius Glasenapp dan  Karl Sonnenschein lebih merepresentasikan spirit kapitalisme dalam masyarakat kontemporer lewat sosok konsultan ekonom yang mengidentifikasi diri mereka tak ubahnya guru spritual. Mereka tak henti-hentinya melontarkan berbagai jargon ihwal kiat-kiat bisnis, tak ubahnya dengan  orang-orang Multi Level Marketing (MLM).
                                                              **


 PERTUNJUKAN  diawali dengan kemunculan Paul Niemand. Monolognya melukiskan kesepian dan keterasingannya sebagai seorang konsultan ekonomi. Paul tak bergerak, terus duduk dengan intonasi suara yang datar dan sesekali berteriak. Monolognya yang panjang itu merupakan awal dari bagaimana pertunjukan ini hadir dalam suasana yang statis, dan sepenuhnya meminta penonton mendengar dan berpikir.

Sebagai tontonan, pertunjukan ini tidak menyaran pada bagaimana suasana konflik dan karakter pemeranan dihadirkan dengan idiom-idiom tubuh yang dramatik. Lewat monolog-monolognya yang nyinyir, para pemain terus mengajak penonton berpikir, mendengarkan apa yang diucapkan. Karena itulah bagi mereka yang terbiasa menyaksikan berbagai adegan dramatik di atas pentas teater, pertunjukan ini akan terasa garing.

Nyaris setengah pertunjukan penonton melulu diajak mendengarkan. Jargon-jargon bisnis kapaitalisme dan raungan kesepian Paul Niemand. Dan semuanya berlangsung dengan bloking pemain yang statis. Mereka bertiga lebih banyak duduk di belakang meja panjang yang biasa digunakan dalam rapat para manajer perusahaan. Keletihan menyimak berbagai lontaran kalimat para pemain itu baru sedikit terobati ketika Aurelis Glasenapp bercerita tentang sejarah hilangnya anjing laut.

Lalu anjing laut (Deden Syarip) yang memakai baju renang perempuan itupun muncul, menaburkan es batu ke atas meja, lalu ia menari dan menyanyi. Adegan itu membuat penonton tertawa, seolah melepaskan kepenatan visual setelah melulu dicekoki monolog-monolog panjang yang meletihkan. Demikian pula mendekati adegan terakhir, ketika Aurelis Glasenapp naik ke atas meja berjalan menghampiri Paul Niemand. Perempuan berambut hijau itu berdiri merentangkan tangannya di atas meja di bawah guyuran salju, sambil terus bercoleteh tentang Tuhan, manusia, keindahan jagat kapitalisme dan budaya konsumsi.

Seperti judulnya “Di Bawah Lapisan Es” adalah sebuah pertunjukan yang dingin, seperti juga karakter pemeranannya. Pertunjukan ini tampaknya memang sulit untuk mengelak dari apa yang termaktub dalam naskah lakon. Verbalisme seolah tak bisa dihindari karena memang di situlah letak kekuatannya, paling tidak di tangan Wawan Sofwan. Lewat verbalisme inilah “jeroan” kapitalisme diungkapkan dari berbagai sudut kesadarannya. Tak hanya ihwal bisnis, etika dan spirit dunia usaha, demokrasi, budaya industri, gaya hidup, sampai agama.

Dan verbalisme pertunjukan ini bukanlah verbalisme dalam konstruk sebuah narasi. Ia kerap hadir sebagai monolog  yang terasa puitis sekaligus berat dan meletihkan. Bahkan ini telah terasa sejak kemunculan Paul Niemand. Dengan suara datar dan dingin ia bertutur tentang keterasingan eksistensi dirinya; “Pada ujung lain cakrawala, langit jatuh ke pelukan horizon. Aku disini dengan segala beban di kepalaku. Ruang yang luas terletak diantaranya. Dan aku berlari tanpa henti. Aku berlari dan berlari. Aku ingin melawan langit. Aku ingin berenang di lautan partikel. Aku berteriak pada matahari. Tapi ia tak mendengarku. Matahari tak mendengarku. Alam semesta terdiam. Semesta tak menyadari kehadiranku.

Keletihan menyimak monolog (bahkan di beberapa bagian tak ubahnya dengan dramatic -reading) dan ungkapan-ungkapan yang berkerumun dalam pertunjukan, agaknya bukan tanpa disadari oleh Wawan Sofwan. Kerjasama produksinya dengan Kineruku yang menampilkan multimedia di latar pertunjukan, bisa disebut “menolong” kehausan visual penonton sehingga pertunjukan ini tidak terasa lebih garing dan meletihkan. Terlebih lagi artikulasi pemain yang beberapa kali terpeleset. Berbagai citraan multimedia yang ditampilkan hadir sebagai tafsir visual atas suasana pertunjukan.  Demikian pula dengan musik yang membangun berbagai imaji-imaji auditif.

Mungkin hanya sebuah kebetulan, bahwa pertunjukan ini berlangsung bertepatan dengan deklarasi pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai capres-cawapres, serta isu neoliberalisme yang dialamatkan pada Boediono. Dan mungkin juga hanya sebuah kebetulan bagaimana dalam satu adegan, Aurelius Glasenapp menyeru lantang, “Jangan pernah diam di tempat, jangan pernah melihat kebelakang, bebaskanlah dirimu terhadap nilai-nilai yang mungkin tidak cocok dengan pasar!” (Ahda Imran)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar