Minggu, 13 November 2011

BUNGA DARI YUNIZAR



BUNGA-bunga itu terlihat aneh. Ia tumbuh dengan garis batang dan reranting yang kaku, jauh dari lentur sebagaimana mestinya, bahkan tak ada selembar pun daun. Bunga-bunga itu pun terlihat tidak tumbuh di ujung ranting, tapi seolah menclok begitu saja. Alih-alih memamerkan kelopaknya yang indah dan lembut, bunga itu terlihat kaku. Kelopak-kelopaknya tampak keras dengan bentuknya yang terlalu sederhana untuk menyebutnya kelopak bunga.

Tak ada apapun di kelopak-kelopak bunga itu, embun, sisa air hujan, semut, kupu-kupu, bahkan juga gerak angin yang membuat kelopak bunga itu bergerak atau jatuh. Warna bunga-bunga itu pun aneh. Ia hanya mempunyai satu warna seperti batang dan rantingnya, bahkan juga seperti warna pot tempat ia tegak tumbuh.

Inilah bunga yang dihadirkan oleh Yunizar di atas selusin kanvasnya dalam pameran tunggalnya bertajuk “Jogja Psychedeli Flowers from Yunizar”, di Galeri Soemardja Bandung, selama hampir satu bulan (3-30 Agustus 2010) yang lalu. Sebagaimana judulnya, pameran yang dikuratori oleh Aminuddin T.H. Siregar ini memang seluruhnya mengusung bunga sebagai subjek matter-nya. Sebuah seri yang dilengkapi oleh satu karya objek berupa ribuan lebah.


Bunga dari Yunizar adalah bunga yang membuat orang jadi bertanya-tanya; mengapa pelukis ini melukis bunga tak ubahnya dengan bunga di buku gambar anak TK atau SD? Naif dan tidak mewakili logika visual bunga sebagaimana bunga sebagai bagian dari alam.

Tapi itulah bunga-bunga Yunizar. Duabelas bunga yang hadir itu seolah bukan untuk menyatakan dirinya bahwa ia hadir untuk melayani hasrat orang banyak demi keperluan menatap realitas bunga yang diulang ke atas kanvas. Kanvas Yunizar adalah dunia asing bagi hasrat-hasrat semacam itu. Dunia yang menolak setiap objek untuk dihadirkan sebagaimana mestinya seperti yang selalu dilayani oleh kerja fotografi atau oleh style ungkap realisme dalam seni lukis. Tampaknya, sebagai pelukis Yunizar tidak menugaskan dirinya untuk menjadi pelayan bagi hasrat-hasrat semacam itu.  

Di atas kanvasnya, Yunizar memperlakukan bunga bukanlah dengan keindahan yang berfokus pada imajinasi demi memperbesar aksentuasi kelembutan. Ia menghadirkan bunga jauh dari niatan merepresentasikan berbagai kesadaran yang seringkali menjadi umum. Sebutlah, cinta, keindahan alam, atau sesuatu yang lalu menjadi metafora, idiom, dan simbol yang mengelebatkan berbagai gagasan kesadaran.

Bunga Yunizar seolah hadir dan dihadirkan begitu saja. Ia tumbuh dan lahir dari gerak atau sensibilitas intuisi pelukis yang tak ubahnya dengan kanak-kanak. Ekplorasi bentuk terkesan amat sederhana dan seragam, meniru bunga matahari yang umumnya terlihat dalam gambar kanak-kanak. Bulatan yang dilingkupi oleh kelopak yang bergelombang ritmis. Hanya itu. 

Pula begitu dengan jalinan reranting yang nyaris tanpa liuk atau kelokan yang rumit. Teknik pewarnaan Yunizar pada dua belas bunga dalam pameran ini terkesan lepas tapi tetap terasa amat memperhitungkan kepatuhannya pada bentuk objek, tanpa ada sedikit pun lelehan yang mengambar di bidang kanvas. Tapi, menariknya itu tetap memperlihatkan pulasan yang spontan. Tekstur pulasannya pada volume objek tampak tebal dan spontan.

Tapi pada “A Thousand Flowers” Yunizar menyuguhkan kejelian dan ketekunannya menyuntuki detail objek. Pohon bunga putih ini hadir di atas bidang hitam, tampak rimbun memenuhi seluruh bidang, merambat dengan pot yang menjadi pusatnya. Bunga-bunga itu terasa rimbun, warna, bentuk, dan ukurannya seragam, menyebar dari sebatang pohon. Meski tak ada penanda yang menyaran ke sebuah representasi, tapi komposisi dan kerimbunan pohon bunga putih yang merambat ke segenap bidang seakan hendak menegaskan gerak pertumbuhan alam.

Dan lepas dari soal itu, karya ini kembali memberi penegasan sekali ihwal konsentrasi Yunizar yang kukuh demi mengolah unsur kebentukan. Bentuk bunga yang rimbun dan liukan batang-batang bunga yang menyebar dan merambat menyuguhkan unsur kebentukan serupa motif dan ornamen fauna.  Demikian pula pada “Silver Flower II” yang menghadirkan kerimbunan bunga di atas bidang merah. Warna silver pada bunga dan liukan batang, terasa kian menegaskan apa yang dikehendaki Yunizar; bahwa ia tidaklah hendak mengulang realitas bunga di atas kanvasnya.
                                                                       **
BUNGA sebagai objek fisikal adalah ruang pengalaman yang dihadirkan Yunizar bukan lagi sebagai representasi dari alam. Melainkan representasi dari bentuk bunga itu sendiri sebagaimana ia menampak dari alam bawah sadar seorang pelukis. Bunga-bunga Yunizar adalah bunga yang tidak tumbuh dari alam, tapi dari sebuah cara pandang perihal bagaimana alam itu sendiri dipandang. Alam yang bukan lagi menjadi subjek otonom sebagaimana kodratnya. Bunga-bunga Yunizar, di satu sisi, juga bisa dipandang sebagai kehadiran objek fisikal alam yang lahir bukan dari suatu bangun persepsi yang berkorespondensi dengan realitas (alam). Melainkan dari rasa personal itu sendiri.

Tapi, kritikus Tony Godfrey melihat seri lukisan bunga Yunizar hadir dengan struktur sekuat pohon, semacam peringatan betapa bertenaga dan gigihnya alam. Alih-alih bunga itu dipandang sebagai medium pencurahan pikiran yang lirikal, ia adalah sesuatu yang dihadirkan secara arsitektonik dan lebih mementingkan perasaan tertentu. Bunga-bunga Yunizar tidaklah sedang menghadirkan warna dan bentuk bunga, melainkan sesuatu yang abadi.

Dalam pandangannya, jika mencoba membaca gambaran tersebut sebagai citra barang-barang di dunia nyata, bunga-bunga itu menyerupai rangkaian bunga studio yang berskala kecil. Mereka adalah gambaran yang agung atau rangkaian bunga yang sangat tidak agung. Lalu apakah Yunizar melukis mereka dari kehidupan?  Tony Golfrey meragukannya, karena bunga-bunga Yunizar itu lebih mirip denah untuk rangkaian bunga.

Sedang kurator Aminudin TH Siregar memandang bunga-bunga Yunizar dengan pertautannya pada apa yang ia sebut sebagai “neurotisme” dan hubungannya dengan sejarah seni rupa Indonesia. Neurotisme sebagai aspek telah lama ada tapi nyaris tak pernah dibaca di tengah dominannya orang melihat kubu formalisme Bandung dan realisme Yogja. Kubu ini diwakili oleh Nashar, Oesman Efendie, dan Trisno Sumardjo. Dan inilah yang menjadi genealogis estetika Yunizar. Posisi historis Yunizar dengan demikian sangat jelas. Dan dengan itu menurutnya kita bisa melakukan pembacaan yang lebih leluasa berbekal sandaran historis tersebut pada masa yang akan datang.** (Ahda Imran,
Pikiran Rakyat, 5 September 2010)  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar