Minggu, 13 November 2011

Yasraf Amir Piliang, “Kampung Halaman sebagai Akar Diri”

MUDIK Lebaran di tengah ledakan komunikasi dan budaya konsumsi hari ini sesungguhnya menjadi tantangan serius pada apa dan bagaimana identitas itu mesti dipertahankan. Ledakan komunikasi dengan berbagai medianya termasuk tentunya jejaring sosial, sedikit banyaknya memengaruhi identitas diri seseorang. Seluruhnya membawa setiap individu ke dalam keragaman identitas, sehingga identitas semata menjadi pilihan ketimbang dianggap sebagai akar yang tetap. Dalam kondisi inilah identitas primordial seseorang menjadi terguncang, bahkan terancam.

Kondisi semacam ini amat mudah ditemukan pada orang-orang kota  yang hidup di tengah persaingan kebendaan, gaya, pencitraan, status dan gengsi. Karena itu makna identitas dalam diri manusia kota cenderung cair, dinamis, mudah berpindah, dan rapuh. Kerapuhan ini bersebab pada efek dari posisi mereka dalam dunia informasi, ledakan komunikasi, konsumsi hiburan, atau gaya hidup yang bergerak liar tanpa henti. Maka mudah dipahami jika konsep identitas manusia kota tak bertautan lagi dengan konsep identitas primordial. Ia sudah dicemari oleh aneka ajakan identitas dari berbagai sumber budaya.

“Akan tetapi, manusia tidak bisa tercabut sepenuhnya dari identitas primordial itu. Mudik lebaran merupakan tradisi kultural yang dapat menjaga “ikatan primordial” seseorang dengan “yang asal”, “yang asli”, yang “otentik”. Antusias para pemudik di antaranya karena alasan primordial ini. Kampung halaman merupakan “akar’ diri seseorang yang memberinya identitas otentik setelah merantau,“ ujar Yasraf Amir Piliang, penulis dan pemikir yang intens mengkaji berbagai fenomena masyarakat kontemporer.


 Lebaran mudik, kata lelaki kelahiran Maninjau Sumatera Barat 1956 ini, adalah peneguhan akan rasa kepastian eksistensial karena dalam dunia multi-identitas yang bersifat chaotic sekarang orang merasakan ketidaknyamanan eksistensial. Mereka digiring ke dalam aneka seruan dan panggilan identitas, melalui arena dan aneka komunikasi, informasi, konsumsi dan tontonan masyarakat konsumer. Akan tetapi,  identitas otentik ini tidak membawa para perantau kota ke dalam kepastian eksistensi, sehingga terjadi paradoks. Mereka melihat kampung halaman sebagai identitas otentik.

Tapi, mereka tidak mau hidup seutuhnya dalam identitas primordial itu karena telah memiliki keterikatan dengan identitas urban. Mereka lalu membuat “jarak” dengan identitas primordial tersebut, meskipun tak mau kehilangan. Untuk itulah, mereka mendatanginya setiap lebaran.

 Maksud Anda mereka berada di “ ruang antara”, begitu?

Ya, mereka mendatangi kampung halaman tiap lebaran, tapi karena sudah terlanjur berjarak mudik lebaran mungkin tinggal sebagai cara meneguhkan memori dan ingatan masa lalu. Arena nostalgia pengobat rindu yang kini telah berjarak dengan identitas de facto di perkotaan.

 Tapi ngomong-ngomong, kampung halaman pun bukanlah ruang yang bersih dari ledakan komunikasi dan konsumsi. Ini membuat jarak mental antara masyarakat kampung halaman dan masyarakat kota seringkali tak ada bedanya. Apakah Anda melihat hal ini?

 Perkembangan abad informasi dan masyarakat jejaring (network society) telah memperkecil jarak antara budaya kota dan budaya desa, meskipun masih ada beberapa perbedaan keduanya. Masuknya pengaruh budaya urban ke desa, ikut memasukkan nilai-nilai citra, status, prestise dan strata gaya hidup ke desa. Pengkelasan sosial berdasarkan kepemilikan benda-benda (televisi, hand phone, motor, mobil) mulai merasuki dinamika kehidupan pedesaan.

Desa kini tumbuh dalam spirit kota. Dalam kondisi demikian, ruang-ruang primordial untuk membangkitkan nostalgia kian meredup, karena orang-orang desa mulai disibukkan dengan persaingan kebendaan dan pencitraan. Kedatangan para pemudik urban yang membawa tanda-tanda kelas sosial di perkotaan (pakaian, asesori, alat komunikasi, mobil), kian memperteguh persaingan material dan gaya hidup itu. Sehingga desa mulai kehilangan “aura” komunalitas, keintiman kultural (cultural intimacy), persaudaraan dan kebersamaan. Manusia desa, dalam kadar tertentu, kini mungkin ikut menjadi individualis, penyendiri dan pemuja citra.  Mudik lebaran kini bukan untuk memperteguh perekat sosial dan keintiman kultural, tapi ajang persaingan individualias akan materi dan citra.
                                                                     **
MESKI pun secara akademis berasal dari disiplin ilmu desain, tapi percakapan dengan alumnus Central Saint Martins College of Art & Design London  ini tak akan lengkap tanpa membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan fenomena budaya masyarakat kontemporer. Termasuk fenomena agama dan keberagamaan, sebagaimana bukunya yang terbaru  Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi (Mizan, 2011).  Dalam pandangannya, perkembangan globalisasi, abad informasi dan masyarakat konsumer (consumer society) memberikan pengaruh besar pada agama dan dunia keberagamaan.

Perkembangan peradaban tampaknya telah dan terus menggeser makna agama di tengah masyarakat. Paling tidak itu terasa benar dalam praktik-praktik beragama yang di warnai oleh ledakan komunikasi dan konsumsi. Sampai sejauh mana Anda melihat gejala pergeseran itu direpresentasikan oleh masyarakat dalam konteks ramadan dan Lebaran ini?

Perkembangan globalisasi, abad informasi dan masyarakat konsumer (consumer society) memberikan pengaruh besar pada agama dan dunia keberagamaan. Peradaban yang dibangun oleh dunia tanpa sekat, sistem komunikasi  tanpa batas, sistem informasi  tanpa jeda, sistem tontonan tanpa akhir, sistem seduksi tanpa lelah, dan  sistem konsumsi tanpa puas  menjadi sebuah peluang sekaligus ancaman terhadap keberkanjutan agama itu sendiri. Menjadi peluang, karena melalui sistem komunikasi dan informasi yang masif dengan jangkauan yang nyaris tanpa batas, komunikasi dan da’wah keagamaan menemukan ranah baru yang memberikan efek masif. Ajaran, doktrin dan seruan-seruan keagamaan menjadi lebih mudah disebarkan. Menjadi ancaman, karena dunia konsumer, komoditi, informasi, tontonan dan hiburan memiliki  “doktrin” atau “ajaran” sendiri, yang dalam berbagai aspek berbeda bahkan bertentangan dengan doktrin dan ajaran agama.

Yang tercipta adalah sebuah ranah (field), yang di dalamnya terjadi pertarungan memperebutkan kesadaran, pikiran dan penerimaan publik atau umat. Seruan agama (salat, puasa, zakat) bertarung dengan “seruan” masyarakat konsumer untuk belanja, menonton, menghibur diri, menampilkan gaya hidup, menunjukkan kelas sosial, mendapatkan posisi sosial dan polularitas.

Dengan perkataan lain, seruan agama bertarung dengan seruan budaya populer (popular culture), yang merayakan sifat-sifat kedangkalan, menghibur, permukaan, pesona, kesenangan dan kepuasan hasrat. Ironisnya, agama dan kehidupan keberagamaan kini justeru masuk dan terjerat ke dalam skema budaya populer itu sendiri. Sehingga, terjadi pergeseran tentang bagaimana nilai keagamaan dipandang, doktrin keagamaan dipahami dan ritual-ritual agama dipraktikkan.

Seperti budaya populer, agama kini tampak kian dangkal, permukaan dan banal. Dalam konteks ramadan, lebaran serta dakwah keagamaan, kebanalan ini ditunjukkan oleh antusiasnya umat merayakan gemerlap gaya, tanda, tema, gaya hidup dan diferensiasi sosial dalam ritual puasa dan lebaran, sehingga melupakan mereka pada esensi dan nilai-nilai sejati puasa dan lebaran itu sendiri.

Ledakan komunikasi tentu saja memberi banyak makna pada Lebaran dan semangat kebersamaan, silahturahmi, meneguhkan kembali kekerabatan, atau memaknai kembali kesadaran identitas kolektif. Apakah Anda setuju dengan pandangan ini?

Dulu masayarakat bersekat, di mana ada pemahaman tentang diri (we) yang dipertentangkan  dengan “sang liyan” (the other). Sang liyan ini kerap  dipandang sebagai “sang asing” (the stranger) bahkan “sang musuh” (the enemy). Kontras antara rasa kedirian dan keliyanan inilah yang memperkukuh identitas diri primordial. Karenanya, rasa kebersamaan, silaturrahmi dan kekerabatan merupakan akibat logis dari identitas primordial ini.  “Pulang bersama”dapat menunjukkan rasa kebersamaan itu, di mana semangat kolektivitas atau komunitas melenyapkan rasa individualitas.

Akan tetapi, mudik lebaran bersama dapat kehilangan makna kebersamaan, silaturrahmi dan kekerabatan, bila kondisi kebersamaan itu justeru dikontaminasi oleh semangat kedirian atau “individualisme”, yaitu hasrat mempertontonkan kelas sosial, status sosial, prestise dan tingkatan gaya hidup di dalam pulang bersama. Berkumpul bersama kini tidak lagi dilandasi oleh semangat kolektivitas dan komunitas, tetapi berkumpul bersama untuk memperlihat posisi masing-masing di dalam strata sosial, melalui aneka strata material dan tanda-tanda sosial: pakaian, hand phone, mobil. Kebersamaan, kekerabatan dan silaturrahmi kini terancam tinggal jargon, karena dikuasai “ruh” persaingan penampilan dan identitas individu.** (Ahda Imran)

SUMBER:  Pikiran Rakyat, 28 Agustus 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar