Minggu, 13 November 2011

Menatap Kembali Tayub



GATOT Wiradikusuma (Atot) sudah tak muda lagi, kelahiran 1927. Akan tetapi, ayah tiga anak dan tiga cucu ini seolah menemukan dunianya kembali di pakalangan tayub. Memakai kain batik, penutup kelapa khas para menak (bendo), berselempang selendang (soder) warna kuning, ia berjalan pelan menghampiri sinden dan para nayaga. Meminta lagu ”Gawir”, lalu dalam gaya tari halusan (leunyepan) ia duduk setengah bersila, khusyuk, sebelum lantas menghaturkan sembah hormat, dan mulailah ia ngibing tayub.

Meski tak bisa mengingkari usianya yang sudah sepuh, tetapi tampaknya tayub sudah menjadi bagian dalam sejarah tubuh Gatot Wiradikusuma. Ia mulai belajar ngibing tayub leunyepan di Rancaekek tahun 1943. Pada masa sebelumnya jenis tarian para bangsawan Sunda ini juga dikenal dengan Tari Keurses. Mengikuti pukulan kendang, tubuh Gatot Wiradikusuma bergerak tenang dan halus, gerak pergelangan tangan (ukel), pola lantai yang minimalis, dan tangan yang sesekali terbuka seraya mengibaskan sampurnya.

Penampilan Gatot Wiradikusuma merupakan bagian dari pertunjukan "Tayuban" di Gedung Kesenian (GK) Dewi Asri STSI Bandung, Sabtu (24/4). Pertunjukan yang diselenggarakan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) STSI Bandung ini diniatkan sebagai konservasi seni tradisi yang didokumentasikan, sehingga
pelaksanaan tayuban diupayakan sesuai dengan aslinya. Dari mulai lagu "Kidung" sebagai bubuka, hingga "prosesi" mengundang seorang tampil nayub lewat penyerahan soder dan keris (nyoderan) yang dimulai dari pengibing yang lebih tua, hingga penampilan ronggeng dan sawer.

Meski tayub juga mengenal pola standar, misalnya, duduk sila mando atau calik jengkreng di awal menayub sembari menghaturkan sembah, tetapi spontanitas dan improvisasi tetaplah menjadi karakter dasar tarian yang penuh prestise di kalangan menak ini.

Bahkan improvisasi dan spontanitas inilah yang kerap menjadi ukuran dari kemahiran seorang penayub. Terutama ketika ia tampil menayub secara tunggal. Berbagai idiom gerak hadir secara spontan seiring tabuhan kendang dan suasana lagu yang mengiringinya. Dari kemampuan melakukan improvisasi dan spontanitas ini pula, para penayub dari berbagai daerah mengembangkan gayanya, yang berbeda dari penayub lainnya.
                                                                            **

INILAH juga yang ditampilkan oleh para penayub sepuh dari Bandung, Sumedang, dan Bogor dalam acara `Tayuban" hari itu. Jika Gatot Wiradikusuma tampil dengan karakter leunyepan yang halus, maka sejumlah penayub sepuh lainnya menampilkan karakter gagahan (ponggawa, kering, atau gunung sari).
Karakter gagahan menampilkan suasana yang lebih dinamis, pola lantai yang lebih meruang, ekspresi yang kuat, dan di sana sini terdapat paduan idiom gerak Topeng Cirebon dan Tari Wayang. Misalnya saja, gaya tayuban Oyok (75) dari Bandung dan Wahyudin (78) dari Sumedang. Baik ketika keduanya nayub secara tunggal atau berdua atau pun ketika ditemani ronggeng. Pola lantai yang tegas, ukel yang dinamis dan menghentak, maupun sepak soder (mengait selendang dengan jari kaki dan melemparkannya ke udara) yang atraktif, improvisasi mereka yang genit ketika menggoda ronggeng.

Demikian pula gaya yang ditampilkan oleh penayub Wawan Darmawan (Bogor). Lelaki bertubuh tegap berusia 66 tahun memamerkan kemahirannya nayub dengan gaya paduan Tari Wayang yang sayup-sayup juga memerlihatkan olahan gerak pencak-silat. Ukel yang cepat atau rentangan tangan yang terbuka dengan pola lantai yang kuat, atau kecepatan sepak sodernya. Hal yang sama juga ditampilkan oleh penayub Ain Salim (Bandung). Kehalusan, wibawa, dan ketegasan seorang bangsawan dibawakannya penuh kharisma. Geraknya amat terukur di antara presisi ketukan kendang.

Meski begitu, dari sejumlah penayub yang tampil hari itu, terutama pada tayuban tunggal, tampak bahwa tari ini amat meletakkan konsentrasi teknik geraknya pada kaki, bahu, tangan, dan kepala. Aura yang tersimpan dalam ibing tayub tampaknya memang lebih terasa ketika penayub tampil secara tunggal. Tubuh yang selalu tegak, sikap dasar tangan yang setengah merentang (lontang) dan tekukan lengan (tumpang tali ), atau mengangkat kain (sinjang kirut), ditambah sorot mata, dan langkah kaki penayub terasa memancarkan wibawa seorang bangsawan, antara kehalusan dan ketegasan.

Ditambah lagi dengan kain batik, blangkon, dan baju takwa yang menambah kewibawaan mereka. Begitu juga soder dan keris yang diselipkan di pinggang. Akan tetapi, lain halnya ketika mereka ngibing (menari) bersama para ronggeng. Wibawa itu seolah lenyap ditelan oleh kegenitan mereka sebagai lelaki. Misalnya, bagaimana penayub Wahyudin yang berkali-kali membuat gerakan seolah mencium ronggeng sehingga mengundang tawa penonton.

Sebagai bagian dari dunia klangenan (kesenangan) para menak, ibing tayub lebih merupakan tari pergaulan ketimbang tontonan. Tayub atau menayub di situ menjadi bagian dari silaturahmi kesenangan para menak yang tetap menjaga kesantunan di antara mereka. Inilah yang juga diperlihatkan oleh para penayub dalam "Tayuban" hari itu, paling tidak agar sesuai sebagaimana aslinya. Misalnya, etika penayub yang lebih muda meminta izin pada penayub yang lebih tua untuk ikut nayub. Apalagi jika penayub yang lebih tua itu sedang menari bersama ronggeng yang juga diminati oleh penayub yang lebih mudah. Isyarat meminta izin itu disampaikan secara sangat santun lewat ujung ibu jari tangan.

Demikian juga dengan sawer. Setiap kali seorang penayub tampil, para ronggeng akan menghampiri mereka membawa tempat uang meminta sawer. Meski bukan ronggeng sesungguhnya, tetapi kehadiran tiga ronggeng yang merupakan alumni STSI dalam acara "Tayuban" hari itu tetaplah mampu menghadirkan suasana yang lebih dinamis dan hangat. Gerakan mereka sensual melayani kenakalan dan kegenitan para penayub sering kali membuat suasana menjadi kocak. Misalnya, ketika seorang penayub yang sedang menari bersama seorang ronggeng pura-pura tidak tahu ketika seorang penayub lain berulang kali menyampaikan isyarat meminta izin untuk nayub bersama ronggeng tersebut. Atau ketika seorang penayub sepuh yang diberi air minum semata-mata agar ia beristirahat sehingga ronggengnya bisa diambil alih.

Meski penuh kesantunan, tetapi tayub tetaplah tak bisa dipisahkan dari gaya hidup hedonis para menak pada masanya. Bahkan menurut Anis Sudjana, esensi dari tayub adalah minuman keras (miras) dan ronggeng. Akan tetapi acara "Tayuban" yang lebih merupakan upaya untuk melakukan konservasi dan revitalisasi semacam itu tentu mustahil bisa sepenuhnya menghadirkan tayub dalam detail-detail sebagaimana aslinya. Terlebih lagi ronggeng dan ciu (arak) atau miras lainnya. Jika ronggeng diperankan oleh para alumni, maka miras pun diganti dengan minuman mineral gelas yang dikelilingkan di pakalangan tayub!

Akan tetapi seluruhnya itu tidaklah lantas mengurangi pemaknaan tayub sebagai sebuah genre tari pergaulan para menak Sunda dan suasana yang diusungnya. Memang kemudian terasa menjadi semacam "simulakra" (kenyataan palsu), tetapi tekanan program yang hendak diusung tampaknya lebih pada estetika tari dan suasana yang memancar di dalamnya. Paling tidak suasana ini masih terasa ketika sejumlah penayub tampil bersama nayub bersama ronggeng Rina Belok. Suasana sering kali menjadi konyol, penuh kenakalan, juga liar. Tetabuhan yang riuh, gerak ronggeng yang sensual, para lelaki penayub yang seolah tak bisa lagi mengontrol tariannya.

Meski terkesan tayub adalah tari pergaulan di antara para menak Sunda yang tetap menjaga kesantunan dan penuh prestise, tetapi pada beberapa bagian, jenis tari ini merupakan ruang kesenangan para bangsawan untuk melepaskan hasrat-hasrat hedonisnya. Hasrat yang tata cara ekspresinya berbeda dengan orang kebanyakan. Pelepasan naluri-naluri rendah para bangsawan dalam sebuah tarian pergaulan seraya tetap menjaga martabat dan prestisenya.

Menurut salah seorang dosen Jurusan Tari STSI Bandung yang hari itu ikut nayub, Anis Sudjana, tayub merupakan tarian klangenan (kesenangan) atau tari pergaulan yang berbeda dengan tari tontonan. Tayub tak hanya ada di tatar Sunda, tetapi juga ada di Blora dan Gunung Kidul. Meski demikian, tayub masih ada di sejumlah daerah di Jawa Barat seperti di Panawangan atau di Situraga (Sumedang) dengan berbagai nama. Ada yang masih menyebutnya tayub, mahabu, atau bangreng. Dan seluruhnya itu pada hakikatnya masih digolongkan sebagai tayub meski sudah dipengaruhi oleh seni-seni rakyat di lingkungannya.  (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 2 Mei 2010)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar