Minggu, 13 November 2011

Dari Batujaya Sampai Atlantik

DALAM pengertian harfiahnya reinventing adalah menemukan kembali. Dan ketika ia dijadikan frasa “Reinventing Sunda” bagi keperluan sebuah konferensi dalam konteks budaya, maka konferensi tersebut hendak diandaikan sebagai upaya untuk mencari dan menemukan kembali sejarah atau identitas budaya Sunda yang (dibayangkan) hilang. Meski tentu saja disadari bahwa hasrat besar semacam itu terlalu sederhana dicapai hanya dengan sebuah konferensi, tapi paling tidak konferensi tersebut bisa dianggap sebagai permulaan untuk menggagas kesadaran ihwal perlunya dilakukan proses pencarian demi menemukan kembali sesuatu yang hilang itu. Sesuatu yang menjadi hasrat setiap komunitias budaya yang menganggap bahwa ada sesuatu yang lenyap dalam sejarah dan jatidiri budayanya.


Demi memulai kesadaran inilah sebuah konferensi diadakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jawa Barat. Tak tanggung-tanggung konferensi ini berskala internasional dengan mengundang sejumlah pembicara dari Amerika Serikat, Australia, Prancis, dan Indonesia. International Conference on Sundanese Culture (ICSC), di Hotel Salak Bogor, 25-27 Oktober 2010.

Seperti tajuknya, Reinventing Sunda in Strengthening the National Culture and Promoting Cultural Diversity, konferensi ini membayangkan dirinya menjadi permulaan bagi kesadaran untuk mencari dan menemukan kembali jatidiri budaya Sunda demi memperkuat budaya nasional dan keberagaman budaya. Inilah konferensi internasional versi berikutnya setelah Konferensi Internasional Budaya  Sunda (KIBS) di Gedung Merdeka Bandung yang digagas oleh Ajip Rosisi, 22-25 Agustus 2001.

Berbeda dengan KIBS yang berangkat dari berbagai isu dan fenomena budaya Sunda, konferensi internasional budaya Sunda versi Disparbud Jabar ini membatasi dirinya ke dalam dua isu. Kedua isu tersebut tak hanya menjadi pintu masuk bagi menemukan kembali budaya Sunda, tapi juga yang menjanjikan semacam kebanggaan pada jatidiri budaya Sunda. Pertama, artefak peradaban budaya Sunda yang dihasratkan bisa menjadi warisan dunia yang direpresentasikan oleh kompleks percandian Batujaya di Karawang.

Dan kedua, isu yang dihembuskan oleh terbitnya dua buku yang dianggap fenomenal, yakni, “Atlantis the Lost Continent Finally Found” karya Prof. Arysio Santos dan “Eden in East” karya Stephen Oppenheimer. Kedua buku yang telah diterjemaahkan ke dalam bahasa Indonesia ini menyebutkan bahwa Indonesia atau Paparan Sunda (Sunda Land) bukan hanya benua yang hilang, tapi juga disebut sebagai asal-muasal peradaban manusia.

Konferensi yang dibuka oleh Gubernur Jabar Ahmad Heriyawan ini berangkat dari kedua isu tersebut. Antara kehendak dan mengihtiarkan kompleks percandian Batujaya diakui sebagai warisan dunia oleh Unesco, dan keinginan memeriksa kebenaran bahwa Sunda Land adalah benua Atlantik yang hilang, kawasan yang dipercaya menjadi asal-muasal perdaban manusia.
                                                                    **
DI antara kedua isu yang ditating oleh konferensi terdapat sejumlah cara pandang yang berbeda. Tak hanya di antara para pembicara tapi juga di sebagian peserta konferensi yang diikuti oleh kalangan seniman-budayawan, sejarawan, dan para tokoh adat. Dan umumnya perbedaan itu bergerak di seputar isu atau dugaan benar tidaknya bahwa Paparan Sunda adalah benua Atlantik yang hilang, yang jadi muasal peradaban manusia seperti disebutkan oleh kedua buku karya Prof. Arysio Santos dan Prof.Stephen Oppenheimer.

Sedangkan ihwal kompleks percandian Batujaya nyaris tidak menawarkan perbincangan apapun, kecuali penjelasan Dr. Hasan Djafar dan kunjungan peserta konferensi ke kompleks percandian yang dianggap sebagai candi Budha Mahayana tertua di Pulau Jawa tersebut, yakni, Candi Jiwa dan Candi Blandongan.

Perbincangan seputar isu Paparan Sunda sebagai pusat peradaban manusia sayup-sayup telah muncul sejak hari pertama. Bahkan lebih jauh, isu melebar ke wilayah identifikasi budaya (etnis) Sunda sebagai identifikasi Nusantara, bahkan seluruh sejarah manusia. Argumen yang mendasarinya adalah penamaan Sunda Besar dan Sunda Kecil dalam peta Nusantara terdahulu.

Terlebih lagi pandangan ini seolah memeroleh pembenaran dari kedua buku karya Prof. Arsio Santos dan Prof. Stephen Oppen Heimer. Bahkan lebih jauh, lenyapnya penamaan Sunda Besar dan Sunda Kecl dari peta Nusantara disinyalir merupakan upaya sistematis untuk melenyapkan sejarah dan identitas budaya Sunda.

Sedangkan Argumen sebaliknya muncul dari Dr. Junus Satrio Atmojo dan Prof. Edy Sediawati. Dalam pandangan keduanya,  identifikasi kawasan geografis (Sunda Besar dan Sunda Kecil), identifikasi etnis, dan identifikasi budaya. Menyatukan ketiganya dalam satu identifikasi akan menimbulkan kekisruhan.

“Kemungkinan pertama yang memperkenalkan istilah itu adalah Ptolomeus orang asing pertama yang datang dan membuat peta di gugusan Nusantara. Penamaan suatu kawasan geografis mendasar pada pertemuannya dengan orang-orang yang ada di situ. Mungkin saja ketika itu ia bertemu dengan orang Sunda dan lantas menggunakan kata Sunda sebagai indikasi tempat, sedangkan sekarang sudah jadi indikasi etnik. Sehingga terjadi kekisruhan antara pengertian etnik, kawasan, dan budaya,” papar Edy Sediawati.

Meski demikian, pandangan yang disebut Edy Sediawati sebagai kekisruhan antara ketiga pengertian ini muncul kembali ke permukaan pada sesi kedua, sebagaimana mengemuka dalam uraian Hidayat Suryalaga ketika tampil sebagai pembicara bersama Dede Yusuf dan  Radhar Pancadahana.

Dalam telaahnya atas beberapa fase perjalanan sejarah Sunda, Hidayat Suryalaga melakukan pembagian dari fase Sunda Bihari (masa silam), Kamari (belum lama berlalu/kemarin), Kiwari (sekarang), dan Baring Supagi (yang akan datang). Tapi pada permulaan seluruh fase itu ada juga disebutnya masa prahistoris, yakni, Paparan Sunda yang diidentifikasi sebagai Atlantis yang hilang disebut dalam buku karya Prof. Arysio Santos.

Pada bagian ini Hidayat Suryalaga juga menuturkan pengalamannya dengan seorang kepala suku dayak ihwal asal-usul mereka, yang konon berasal dari sebuah dataran yang subur dengan sebuah sungai yang bermuara di Manila, dan sungai itu ditenggarai sebagai apa yang kini bernama Sungai Citarum. Tentang penyebutan lenyapnya penamaan Sunda Besar dan Sunda Kecil, ia mengatakan satu-satunya kini yang tersisa hanya Selat Sunda.

“Dan mungkin nama Selat Sunda pun akan lenyap kalau nanti dibangun jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera,” ujarnya.

Jika komplek percandian Batujaya nyaris tanpa perbincangan, maka konferensi ini memberi porsi perbincangan yang lebih besar untuk mengurai  isu perihal Paparan Sunda sebagai yang dipercaya menjadi tempat muasal peradaban kuno umat manusia. Stephen Oppenheimer percaya bahwa nenek moyang bangsa Polynesia bukanlah berasal dari mereka yang menyebar keluar dari Taiwan sebagaimana diyakini.

“Bukti-bukti baru yang saling terkait menunjukkan bahwa gen-lines yang ditemukan di Polynesia diturunkan dari Paparan Sunda lebih dari limaribu tahun yang lalu,” katanya.   

Senada dengan Oppenheimer yang menjelaskan sejumlah bukti antropologis, baik Arysia Santos, Ian Peterson, atau Hans Berekoven meyakini hal yang sama, bahwa Sunda Land adalah benua Atlantik yang hilang, dan yang menjadi muasal peradaban kuno manusia. Kajian lebih jauh, baik dari pendekatan geologi dan geografi diuraikan oleh Prof. Dr. R.P. Koemoedinata dan Prof. Dr. Adjat Sudradjat. Berbeda dengan Prof. R.P, Koesoemadinata yang uraiannya lebih terfokus pada sejumlah temuan geologis di cekungan Bandung, Prof Adjat Sudrajat memaparkan sejumlah pandangannya ihwal terbentuknya kawasan Sunda Land yang subur.

Secara geologis banyak fakta yang memberi petunjuk bahwa Sunda Land memang pernah ada pada masa jaman es. Paparan Sunda ini merupakan kesatuan dari sejumlah gugusan pulau yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara. Paparan ini demikian subur dan kaya dengan flora fauna. Ini bisa dibuktikan dalam penyelidikan geologi terdapatnya sungai panjang di dasar laut, yang oleh banyak peneliti kemudian dikenal dengan The Great Sunda River.

Tapi, guru besar geologi Unpad Bandung ini tidaklah setuju jika disebut bahwa Sunda Land adalah Benua Atlantik seperti yang disebut dalam buku “Atlantis The Lost Continent Finally Found” karya Prof. Arsyo Santos. Paparan Sunda bukanlah Atlantic Continent  yang hilang, sebab tak ada bukti-bukti geologis yang memberi petunjuk ke arah itu. Bahkan dalam pandangannya benua  Atlantik lebih merupakan sesuatu yang abstrak, imajinasi kaum filsuf dalam mencari kebijakan.

“Jadi bagi saya Atlantic Continent itu sesuatu yang abstrak. Lalu munculah banyak spekulasi di mana sebenarnya benua itu? Dan orang Sunda berharap itu adalah Sunda Land. Terlebih paparan Sunda adalah kawasan yang pernah ada pada jaman es dan sangat subur. Dan saya mendukung hal itu. Tapi bahwa itu adalah benua Atlantik,  saya tidak mendukungnya “ ujar Adjat Sudradjat, seraya mengurai hubungan Atlantik dengan percakapan antara Timaeus dan Critias dalam karya Plato serta penamaan Atlan putra Poseidon (Dewa Laut dalam mitologi Yunani).

“The Lost Atlantic sebagai negeri yang subur itu hanya imajiner dalam kerangka berpikir filsafat yang tak ditemukan di dunia, kecuali dalam hati masing-masing manusia,” katanya.

Meski pada prinsipnya terdapat persamaan pandangan perihal Sunda Land sebagai tanah yang subuh, yang ada sebelum jaman es puluhan ribu tahun yang lalu, konferensi ini menyimpan sejumlah perbedaan. Sebagian kalangan percaya bahwa Sunda Land itu adalah Atlantic Continent seperti yang dimaksud oleh Prof. Arysio Santos, terlebih lagi berbagai cerita tradisional Sunda menyiratkan hal itu. Tapi, sebagian lain seperti Prof. Adjat Sudrajat mencoba lebih kritis dan berhati-hati. Demikian pula sejarawan Sobana Hardjasaputra.

“Dalam ilmu sejarah, kalau fakta-fakta belum lengkap jangan kita berani-beraninya mengambil kesimpulan,” kata Sobana. (Ahda Imran)


Konferensi yang Kehilangan Fokus

BERGERAK di antara kompleks percandian Batujaya Karawang dan Benua Altantik, membuat konferensi internasional ini kehilangan fokus isu yang hendak diangkatnya ke permukaan. Batujaya adalah permasalahn yang konkret sedang Benua Atlantis tetaplah merupakan sesuatu yang abstrak. Di antara kedua itulah konferensi ini berlangsung. Terlebih lagi, format konferensi yang tidak membagi dirinya ke dalam berbagai sidang komisi ini, akhirnya kurang bisa menjadi ruang bagi 400  peserta konferensi untuk memaparkan pandangannya.

Demikian sejumlah pandangan mengemuka dari budayawan Endo Suanda, Anis Djatisunda, dan sejarawan Sobana Hardjasaputra. Dalam pandangan Endo, tema besar yang diusung oleh Internasional Conference on Sundanese Cultural (ICSC) bukanlah tidak penting. “Tapi buku benua Atlantik itu isu besar, lalu ada candi. Mengapa konferensi ini tidak concern dan fokus saja pada apa yang dipaparkan oleh Dr. Hasan Djafar tentang kompleks percandian di Batujaya. Konferensi yang begini terlalu abstrak dan berapa lama orang yang bisa menanggapi. Isu, audience, tidak jelas ukurannya,” ujar Endo Sunda.

ICSC, kata dia, sama sekali tidak merefleksikan apa yang pernah digagas oleh Ajip Rosidi dengan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) tahun 2010. Dalam pandangannya, ini yang menjelaskan bahwa berbagai event pertemuan budaya di Jabar tidak memiliki master plan yang jelas. Sehingga fokus tema, konsep atau strategi dan pengembangan yang dilakukan tidak memiliki benang merah, yang akhirnya tidak bisa dievaluasi pencapaiannya.

“Sebaliknya, kalau ada master plan yang jelas pilihan tema, kurasi para peserta, dan langkah-langkah konkret yang akan dilakukan menjadi bisa dievaluasi. “Yang lebih penting buat saya bukan seminar dan konferensi, tapi mengadakan work-shop sebagai langkah pada apa yang mesti dilakukan. Misalnya, pendataan riil tentang khazanah budaya Sunda,”tambahnya.

Karena itulah, Endo menilai bagaimana mungkin isu kesundaan bisa diangkat jika tanpa data yang riil. Dan sebenarnya apa yang dilakukan oleh Dr. Hasan Djafar menyimpan banyak data yang bisa ditindaklanjuti sebagai sebuah isu yang konkret ketimbang tergoda oleh isu-isu yang kelewat abstrak.

”Sekarang banyak orang dan pihak yang memiliki data. Tapi bagaimana mengolah seluruh data itu sehingga bisa diakses oleh publik. Dan saya pikir itu jauh lebih perlu dipikirkan ketimbang mengusut secara emosional peristilahan yang tak hubungannya dengan merevitalisasi budaya Sunda. Apakah jika peristilahan itu dipakai budaya Sunda akan terangkat kembali? Romantisme itu penting, tapi soalnya bagaimana menerjemahkannya menjadi energi yang konkret, ” ujarnya.

Pandangan tentang fokus konferensi juga muncul dari budayawan Anis Djatisunda dan sejarawan Sobana Hardjasaputra. Anis DjatiSunda merasa bingung dengan arah konferensi dan fokus yang disasarnya. Ia mempertanyakan hubungan antara membicarakan Benua Atlantis dan percandian Batujaya. Sedang Sobana Hardjasaputra menyoroti fotmat konferensi yang hanya memiliki satu sidang pleno, tanpa adanya pembagian komisi menurut topik yang dipilih.

“Konferensi ini jadi terkesan ngarawu ku siku,” ujarnya.

Tapi apa pun konferensi telah melahirkan apa yang disebut dengan ‘Deklarasi Bogor”. Deklarasi ini terdiri dari sembilan point, yang di antaranya menyangkut upaya penelitian lebih intens tentang pemikiran masyarakat Sunda masa silam demi meningkatnya kesadaran pada kearifan lokal.  Deklarasi ini disebutkan telah mendapatkan dukungan penuh dari Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Kementrian Pendidikan Nasional, dan Duta  Besar/Wakil Republik Indonesia untuk UNESCO.

Deklarasi ini disusun oleh satu tim yang mewakili beberapa kelompok pada masyarakat Sunda, yang berkesempatan hadir di dalam kegiatan International Conference on Sundanese Culture.** (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 31 Oktober 2010)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar