Sabtu, 12 November 2011

Panjang Sprei dari Kelambu


SETELAH membaca tulisan Ajip Rosidi,  "Bandung dan Kehidupan Intelektual" ( Pikiran Rakyat 4 Mei 2005), mendadak saya ingat pada peribahasa orang kampung saya di Payakumbuh sana,  panjang sprei dari kelambu. Sebuah peribahasa untuk melukiskan sikap, pemikiran, perangai atau suatu keadaan yang melupakan apa yang semestinya didahulukan, dan sebaliknya mendahulukan apa yang seharusnya dikemudiankan. 

Meski tentu saja ungkapan dan pengertian peribahasa itu tidak sepenuhnya tepat diberlakukan terhadap tulisan Ajip, namun Ajip dalam tulisannya itu secara terang-terang sedang mendahulukan hasratnya  menilai, tanpa penilaian itu diberinya kelambu sejumlah argumen dan data.


Dan tentu saja ini tak hanya mengganggu, tapi juga menggelisahkan. Sebab sekaligus ia tak hanya sedang meniadakan kemunculan sebuah generasi baru dalam komunitas seni dan dunia intelektual di Bandung, melainkan juga meniadakan sebuah perkembangan yang tengah terjadi.    

Tulisan Ajip berangkat dari pengalamannya ketika Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) memilihnya sebagai salah seorang juri dalam Lomba Penulisan Kritik Seni. Dari sejumlah tulisan peserta yang masuk--- yang datang dari berbagai kota dan rata-rata menurutnya menunjukan kualitas yang menggembirakan--- ternyata Ajip tak menemukan satu pun peserta dari Bandung. Keheranan Ajip kemudian menggiringnya ke berbagai kemungkinan. Dari mulai kemungkinan bahwa lomba itu tidak terpublikasikan ke Bandung hingga kemungkinan para penulis kritik seni di Bandung memang tak tertarik dengan karena jumlah uang yang disediakan bagi para pemenangnya yang dianggap terlalu sedikit.

Sampai di sini, keheranan Ajip mengapa tak ada satu pun penulis dari Bandung mengikuti Lomba Penulisan Kritik Seni yang diadakan oleh lembaga bergengsi seperti DKJ itu, memang logis menjadi pertanyaan setiap orang. Rasanya memang dalam kronik suplemen Khazanah “PR” perihal lomba kritik seni itu pernah dipublikasikan. Juga, dengan tingkat kesejahteraan yang belum terlalu layak disebut kaya, para penulis di Bandung rasanya belum pantas mengganggap bahwa hadiah uang 7 juta, 5 juta dan 3 juta itu sebagai nilai yang sedikit. Atau juga rasanya tak mungkin tidak ada satu pun karya seni atau peristiwa seni di Bandung dan di kota lainnya yang merangsang para penulis itu untuk menulis sebuah kritik.   

Jika tak adanya seorang pun penulis dari Bandung yang mengikuti lomba penulisan kritik DKJ itu dianggap sebagai sebuah persoalan, maka penilaian Ajip yang berangkat dari kenyataan tersebut adalah persoalan yang lain. Sekonyong-konyong, dengan berbekal keherannya mengapa tak ada penulis Bandung yang mengikuti lomba tersebut, serta-merta Ajip menutup keheranannya itu dengan semacam kesimpulan, bahwa telah terjadi mata rantai yang putus dalam regenerasi kepenulisan kritik seni di Bandung! Terutama seni rupa.  

Dengan kata lain, di mata Ajip, kenyataan bahwa tak adanya penulis Bandung yang mengikuti lomba tersebut menjelaskan kenyataan berikutnya tentang kondisi perkembangan kepenulisan kritik seni di Bandung. Bahkan, sejak masuk ke paragraf  7 dalam tulisannya itu, Ajip lantas dengan lincah memperluas pengamatannya tentang kondisi yang terjadi dengan komunitas intelektual di Bandung. Dari mulai kondisi di lapangan seni-budaya hingga kondisi lemahnya infrastruktur yang terjadi di Bandung, dunia akademis, pergerakan mahasiswa, pemerintah hingga kondisi dunia penerbitan buku. Lalu sambil menyebut bahwa komunitas akademik dan seniman di Bandung lebih suka bertemu dengan kawannya saja, Ajip juga menegaskan betapa kondisi ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Yogyakarta.
                                            **
TULISAN Ajip menjadi menggelisahkan karena sprei yang dibentangkannya kelewat panjang, sementara kain kelambu yang dipasangnya ternyata sangat pendek. Ia mendahulukan apa yang seharusnya dikemudiankan dan tidak tak patut didahulukan.

Sebagai orang yang selalu bersemangat membaca tulisan Ajip, baik itu esai-esai lepasnya di media-massa---terutama dalam berbagai polemik--- maupun karya-karyanya yang telah dibukukan, membaca tulisan terakhir itu saya terus terang saja saya merasa kecewa. Tapi diam-diam saya juga merasa tahu mengapa Ajip menulis serupa itu. Dan itu bukan hanya pada pemakluman karena ia tidak tinggal di Bandung, melainkan juga pemakluman bahwa kerap tulisan dan pikiran-pikiran yang dilontarkannya diniatkan untuk memprovokasi sehingga orang bereaksi untuk berpolemik.

Jika benar pemakluman saya  untuk tulisannya yang terakhir tersebut, maka sekarang saya sedang melayani provokasi itu. Bukankah kalau ada orang yang menjual sebaiknya kita beli?

Secara umum tulisan Ajip lebih mengemukakan semangat penilaian ketimbang mengapungkan argumensi berupa data. Paling tidak penilaian itu terkesan menjadi tergesa-gesa. Kesusu, kata orang Yogyakarta---kota yang menurut Ajip kehidupan intelektualnya lebih semarak daripada Bandung. Jika pun ada argumen data yang disebutnya, maka itu hanya mendasar pada 3 hal, yaitu lomba penulisan kritik seni DKJ, nama-nama kritikus seni rupa dari Bandung generasi 1970 serta 1980-an,  dan Yogyakarta. Begitu juga ketika ia menilai Bandung dari lapangan sosial-politik.

Ketergesa-gesaan penilaian Ajip sangat tampak sejak ia menyebut (dalam paragraf  8) bahwa selepas Mamannoor  di Bandung mata rantai generasi penulisan kritik seni rupa terhenti. “Tapi itu juga menunjukan bahwa setelah Mamannoor (bukan Maman Noor---AI) tidak tumbuh penulis kritik seni rupa yang lebih muda di Bandung. Artinya, di Bandung tidak terjadi regenerasi alias tidak ada kaderisasi.” Bahkan dalam paragraf itu Ajip juga menyebut kondisi yang sama terjadi di lapangan hukum dan sosial-politik.

Entah dari mana Ajip bisa-bisanya menilai bahwa selepas Mamannoor, Bandung tidak lagi memunculkan generasi penulis kritik seni rupa itu. Jika penilaian itu hanya mendasar pada sebuah lomba yang diandaikan sebagai data dan fakta, rasanya penilaian itu menjadi naif. Sekaligus juga Ajip sesungguhnya sedang meniadakan kemunculan dan perkembangan para penulis kritik seni rupa di Bandung sebagai generasi terbaru selepas Mamannoor yang jumlahnya belum pernah terjadi dalam generasi sebelumnya.

Tulisan-tulisan mereka--- baik berupa kritik, ulasan, esai lepas, resensi pameran--- tak hanya ramai muncul di media-massa lokal, namun juga nasional, bahkan juga dalam berbagai buku dan jurnal seni. Kita dengan mudah menyebut nama-nama seperti Aminudin Th. Siregar, yang tak ada bulan terlewatkan tanpa tulisan kritik seni rupanya di rubrik seni sebuah media massa nasional. Atau Gustav, Rifky Effendi, Rizky A. Zelani, Asmudjo Irianto, Heru Hikayat, Noerdin Ichsan, hingga Bambang Subarnas dan sejumlah nama lain yang tentu saja usia mereka jauh lebih muda dari Mamannor. Bahkan tak jarang mereka tak hanya menulis kritik, tapi juga mengkurasi berbagai pameran, baik di Bandung atau di Jakarta

Demikian pula di lapangan kesusastraan. Meski memang perkembangannya terasa kurang terdengar, namun para penulis dari generasi terbaru pun bermunculan di Bandung. Tulisan-tulisan mereka berupa kritik dan polemik juga hadir di berbagai media-massa nasional (jika memang itu ukuran yang dikehendaki Ajip). Sebutlah, Acep Iwan Saidi, Hikmat Gumelar, Cecep Syamsul Hari, Aquarini P. Prabasmoro, Ari J. Adipurnawidjana, dan sejumlah generasi penulis lain yang tulisan kritik mereka di media-massa lokal dan nasional,  telah turut menyemarakan perbicangan di seputar perkembangan karya sastra. Sebutlah, isu sastra feminis hingga perdebatan di sekitar sastra dan seks yang sempat marak belum lama ini.   

Jika di lapangan sosial-politik Ajip hanya menyebut nama Herman Ibrahim dan Setia Permana untuk mengatakan dua nama yang muncul dari Bandung, yang tulisan keduanya banyak muncul di surat kabar lokal; maka itu tidak akan dikatakannya seandainya saja Ajip membaca tulisan-tulisan Yasraf Amir Piliang, Bambang Sugiharto atau Jakob Sumardjo, yang tulisan mereka banyak tersebar di media-massa nasional. Mereka, seperti juga Hawe Setiawan dan Idi Subandy Ibrahim,  tak hanya menulis permasalahan sosial-politik dari sekadar isu, melainkan juga menawarkan sudut pandang dari wawasan kebudayaan dan filsafat kontemporer.

Tak kalah mengherankannya juga adalah ketika Ajip menyebut bahwa tak ada gaung pemikiran apapun yang datang dari Bandung selepas reformasi tahun 1997-1998 yang lalu, untuk menegaskan betapa kehidupan intelektual di kota ini tak punya lagi kharisma. Dalam hal ini Ajip mengambil perbandingan pada para mahasiswa ITB tahun 1965-1966 yang ketika itu banyak melontarkan pemikirannya dalam berbagai tulisan, “yang memberikan arah dan pencerahan terhadap perjuangan para mahasiswa dan pelajar (KAMI dan KAPPI)”.

Karena pada masa reformasi para mahasiswa Bandung tidak melakukan hal yang sama, maka di mata Ajip dunia akademik di Bandung tidak memiliki kharisma seperti di Yogyakarta dan Semarang, di mana orang-orang seperti Amien Rais, Ichlasul Amal, Satjipto Rahardjo dan Muladi, banyak memunculkan tulisan dan pandangan-pandangannya yang jernih.

Entah bagaimana sebenarnya Ajip menggunakan logika perbandingan. Di satu sisi, ia berangkat dari ukuran masa lalu dalam menilai dunia akademik di Bandung, dalam hal ini mahasiswa. Di sisi yang lain ia menggunakan perbandingan para mahasiswa masa reformasi di Bandung, yang katanya tak pernah menulis itu, dengan , ketika itu, Ketua Umum Muhammadiyah (Amien Rais), Rektor UGM (Ichlasul Amal) dan guru besar seperti Muladi dan Satjipto Rahardjo. Mengapa para mahasiswa Bandung pada masa reformasi itu tidak dibandingkan juga dengan para mahasiswa di Yogyakarta dan Semarang?

Juga, soalnya bukanlah sesederhana itu menilai bahwa para mahasiswa Bandung di masa reformasi itu dulu tidak menulis---untuk itu kita harus memeriksa dulu berbagai tulisan di majalah-majalah kampus----; tapi, apa iya bahwa apa yang terjadi pada tahun 1965-1966 dulu itu bisa dijadikan ukuran untuk menilai sesuatu dalam konteks waktu dan ruang yang berbeda?
                                                 **
LALU dalam paragraf yang lain, seenteng itu pula Ajip menulis, “Aktivitas kesenian dan budaya seperti pameran seni rupa dan lainnya, pementasan teater, pembacaan sajak dan cerita pendek, seminar, lebih marak di Yogyakarta daripada di Bandung.” Di mata Ajip juga, dibanding Yogyakarta, Bandung kurang memiliki kegiatan atau ruang seni yang menjadi tempat bertemu para seniman untuk berdialog, saling mengenal, bertukar pandangan dalam suasana informal sambil makan atau minum.

Mungkin saja Ajip benar bahwa aktivitas kesenian di Bandung kalah semarak dibanding Yogyakarta. Terlebih lagi, meski bukan satu-satunya ukuran,  Bandung tak memiliki tradisi festival kota seperti FKY (Festival Kesenian Yogyakarta). Namun soalnya, penilaian dan perbandingan itu bukanlah melulu berharap bahwa Ajip akan mengemukakan barang sepintas dinamika peta kesenian di Yogyakarta, melainkan juga bagaimana  ia melakukan pembacaan pada aktivitas kesenian di Bandung.

Dan keduanya ternyata tidak dilakukan Ajip, terutama pada yang terakhir itu. Ajip tak memberikan informasi apa pun tentang Yogyakarta atau Bandung dalam suatu pandang yang sifatnya komparatif lewat pemaparan fakta dan data dari kedua kota tersebut. Bahkan juga tidak tentang Bandung!   

Paling tidak bagi saya, sebagai orang yang harus rajin mendatangi berbagai peristiwa seni-budaya, kecuali dalam acara Konferensi Internasional Budaya Sunda, peringatan 60 Tahun Nano.S, dan Ulang tahun serta peluncuran buku Ajip di STSI Bandung beberapa waktu yang lalu. 

Sampai hari ini saya belum pernah bertemu, melihat atau mendengar Ajip hadir dalam acara kesenian dan diskusi-diskusi---baik formal maupun informal sambil makan dan minum kopi--- di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Bandung, Tobucil, Ultimus, Sanggar Luhur, Studio Pohaci. Centre Cultural Ledeng, Griya Seni Popo Iskandar (GSPI), Galeri Soemardja, Selasar Sunaryo, Babakan Siliwangi, Taman Budaya, Asia Afrika Culture Centre (AACC), Rumentang Siang, atau di Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK).

Yang saya tahu hanyalah Ajip tinggal di Pabelan Magelang, sesekali ke Jakarta, dan jika pun ke Bandung hanya bisa ditemui di Jalan Karawitan. Karena itu saya ragu bahwa Ajip setiap pekan membaca rubrik Kronik Budaya dalam suplemen budaya Khazanah “PR” yang seakan-akan membuat tiada hari di Bandung tanpa adanya pementasan, pameran dan diskusi seni. Bahkan bukan sekali dua kali dalam satu hari atau malam berlangsung lebih dari satu acara kesenian di tempat yang berbeda. Semuanya tentu saja lepas dari perdebatan tentang kualitas.  

Akhirnya, mungkin adalah semacam pemakluman mengapa Ajip tak tahu dan tidak mengikuti perkembangan kehidupan intelektual di Bandung, terutama yang tumbuh dari generasi-generasi baru. Namun tentu saja sangat sulit memaklumi sebuah ketidaktahuan yang nyelonong dan ujug-ujug saja membuat penilaian tanpa memperlengkapi dirinya dengan data dan alasan-alasan yang empirik.

Soalnya kemudian, penilaian  itu juga menyimpan sikap pandangan yang meniadakan kemunculan generasi terbaru dalam komunitas intelektual di Bandung. Dari mulai para kritikus seni, komunitas seniman, ruang-ruang seni, hingga para akademisi dan intelektual lainnya.

Tentu saja bukan berarti kehidupan intelektual di Bandung bukan tanpa persoalan. Sebagian gejala dan kenyataan yang dipaparkan Ajip mungkin ada benarnya. Komunitas seniman dan para akademisi yang lebih suka bergerombol dengan kawan akrabnya, yang tak sedikit menjadi broker dengan menjadikan agenda seni-budaya sebagai proyek, hingga dunia penerbitan yang tidak kondusif.     

Tapi bukan berarti lantas gejala dan kenyataan semacam itu melahirkan penilaian yang terlalu terlalu jauh. Sebab bukan tidak mungkin perangai semacam itu juga terdapat pada generasi terdahulu di Bandung, seperti juga bukan tidak mungkin juga itu terjadi di banyak kota.

Apalagi penilaian itu lantas sayup-sayup menghembuskan semacam kepercayaan, bahwa kehidupan intelektual di Bandung hanya terjadi pada generasi terdahulu dan meniadakan dinamika perkembangan generasi terkini,  tanpa sekali pun ia pernah mengikuti dan mengetahui perkembangannya! Padahal, tentu saja sebagai sastrawan dan budayawan senior Ajip tahu, bahwa sprei tidak boleh lebih panjang dari kelambu.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar