Minggu, 13 November 2011

MONJU DAN PANGGUNG BAMBU


KEBERADAAN panggung bambu di plaza Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat  (Monju) menjelaskan betapa sesungguhnya pemerintah tak penah memiliki konsep dan visi yang jelas ihwal apa dan bagaimana sesungguhnya makna dari sebuah ruang publik. Apa yang mereka asumsikan sebagai ruang publik, selalu dibangun atas selera kekuasaan dan uang. Maka, selalu akhirnya ruang publik yang mereka ciptakan hanyalah bentuk dari kehadiran fisik yang tidak berkorelasi dengan sejarah, etika dan estetika ruang di sekelilingnya.

Keberadaan panggung bambu sejak Desember 2010 di plaza Monju jelas menghalangi pemandangan orang ke arah monumen. Desain Monju yang dikerjakan oleh seniman pematung Sunaryo tahun 1995 dengan biaya 22 Milyar rupiah di atas areal seluas 4. 100 meter itu, tentu dikerjakan dengan berbagai perhitungan yang cermat. Termasuk perhitungan jarak pandang ruang ke arah monumen.
                                        
Keberadaan panggung bambu itu telah menjadi interupsi yang tidak berkorelasi dengan estetika ruang yang telah ada sebelumnya, yakni, garis lurus yang menghubungkan puncak Gedung Sate, monumen, dan Gunung Tangkubanparahu di arah Utara. Panggung dengan biaya 600 juta rupiah itu seolah ditaruh begitu juga tanpa mempertimbangkan struktur visualnya yang seirama dengan estetika elemen-elemen yang telah ada sebelumnya. Terutama di siang atau sore hari, di atas plaza Monju, panggung bambu yang dibangun oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jabar itu seolah benda asing yang ujuk-ujuk ada di situ.


Maka menjadi masuk akal jika dengan posisinya itu panggung tersebut dianggap telah mengurangi kemegahan dan wibawa monumen tersebut. Di sisi lain, keberadaan panggung bambu tersebut tak ayal lagi telah mencederai kesantunan atas karya seorang seniman seperti Sunaryo, yang sejak panggung itu didirikan sampai hari ini belum pernah diberitahu apalagi dimintakan pertimbangan. Meski monumen itu telah menjadi asset pemerintah.

Demikian sejumlah seniman yang memandang kritis keberadaan panggung bambu di plaza Monju. Panggung bambu dengan terpal putih tersebut merupakan upaya Disparbud Jabar untuk merivitalisasi kawasan Monju sebagai ruang publik. Panggung bambu itu difungsikan sebagai tempat berlangsungnya berbagai pertunjukan seni tradisi. Sejumlah even pernah berlangsung di tempat itu, dari mulai World Music Festival hingga berbagai pertunjukan tradisi.

Upaya Disparbud Jabar untuk merevitalisasi Monju di satu sisi bisa dimaklumi. Sebab selama ini, meski letaknya langsung berhadapan dengan gedung tempat ngantornya orang-orang yang mengurus propinsi ini,  nasib Monju demikian mengenaskan. Kumuh, liar, dan tak ubahnya dengan kawasan Monumen Perjuangan Bandung Lautan Api (BLA) di kawasan Tegallega dulu. Gagasan mendirikan panggung bambu adalah bagian dari revitalisasi tersebut, sehingga Monju bisa dibayangkan menjadi ruang publik seniman-budayawan menampilkan ekpresi kreatif mereka yang langsung berinteraksi dengan publik.
                                                             **                           
TAPI, itulah. Niat baik tersebut dianggap tidak memiliki konsep yang jelas ihwal apa dan bagaimana sebenarnya sebuah ruang publik. Terlebih lagi bagaimana semestinya sebuah ruang publik hadir bukan untuk mengganggu estetika dan elemen-elemen ruang yang telah ada sebelumnya. Dan inilah tampaknya yang tidak dipertimbangkan. Aktivis budaya Aat Suratin memandang keberadaan panggung bambu itu mungkin niat dan gagasan tidaklah salah, hanya saja niat dan gagasan yang bagus itu diletakkan di tempat yang salah.  

“Sebelumnya saya mengira panggung bambu itu hanya sementara, tapi ternyata permanen. Saya pikir gagasannya bagus. Tapi dengan penempatannya seperti sekarang, secara etis, Disparbud semestinya memberitahu dulu pematungnya atau meminta pertimbangan. Sebagai seorang pematung yang dikenal dengan karya-karya patung dan monumen publiknya, Sunaryo tentu sudah cermat dengan berbagai perhitungan ruangnya. Ini niat baik diletakkan diletakkan di tempat yang salah. Itu kan ruang publik yang sudah dirancang penuh perhitungan, belum lagi penghargaan pada satu karya. Jangankan seniman, orang awam saja akan berpikir kenapa panggung itu jadi malah menghalangi monumen?” papar Aat.

Hal senada juga dilontarkan oleh seniman Tisna Sanjaya. Ia melihat apa yang terjadi dengan Monju dan panggung bambu itu mencerminkan bagaimana selama ini estetika ruang di Kota Bandung selalu hadir sebagai kolase yang bisa diciptakan oleh siapa saja sepanjang ia dekat dengan kekuasaan, apalagi bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Estetika ruang itu tak pernah dipahami sebagai bagian dari ruang publik yang demokratis, yang mempertimbangkan presisi kehadirannya di tengah berbagai elemen ruang yang lain.

“Contoh nyatanya, ya, panggung bambu di Monju itu. Beberapa kali saya melihat, di samping menghalangi pandangan orang ke arah monumen, desain dan materialnya tidak nyambung. Tapi memang selalu begitulah kita ini. Visi dan aturan apa itu ruang publik tidak pernah jelas,” ujar dosen FSRD ITB itu.
Tisna sependapat dengan Aat ihwal keperluan merivitalisasi sebuah ruang publik yang kumuh seperti Monju. “Tapi bagaimanapun,”kata dia, “Ini harus dirundingkan dengan pematungnya. Ini bukan cuma estetika yang tidak nyambung, juga ‘kan soal etika,” katanya.   

Sedang seniman dan aktivis seni Gustaff Hariman Iskandar menyebutkan, siapapun yang merancang dan membangun struktur bambu itu telah mengabaikan berbagai aspek yang terkait dengan keberadaan monumen yang sejatinya merupakan tanda penting yang menggelorakan semangat perjuangan masyarakat Jawa Barat.

“Bukannya merendahkan, tapi apabila kita amati eksisting visualnya, bangunan bambu di Monju itu jelas mengabaikan keberadaan akses utama yang menghubungkan point Gedung Sate dan Gunung Tangkuban Parahu. Selain itu, bangunan ini sepertinya juga mengabaikan konsep yang melekat pada monumen utama yang terletak di belakangnya,”ujarnya.

Sikap yang abai pada informasi dan pengetahuan yang terkait dengan eksisting fisik bangunan serta tata ruang Monju bisa jadi merupakan gejala lanjutan dari patologi sosial yang sudah sedemikian akut. “Pihak Disparbud yang menjadi sponsor pembangunan seakan menjadi pihak yang melegitimasi pengabaian ini. Selanjutnya masyarakat akan memandang proses pengabaian seperti ini sebagai persoalan biasa,” tegasnya.

Sedang di seberang lain, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat (Kadisparbud) Jabar Ir. H. Herdiwan MM justru mempertanyakan sejumlah pihak yang baru sekarang bereaksi atas keberadaan panggung bambu tersebut. Ia mengaku memang merasa tidak perlu meminta pandangan Sunaryo selaku pematung, sebab sudah menyerahkan proyek pembuatan panggung bambu tersebut pada Ikatan Arsitektur Indonesia.

“Demi Allah, saya tidak ada maksud mengganggu tata ruang dan garis lurus antara Gedung Sate, Monju, dan Tangkubanpatahu. Saya hanya ingin mengubah imej masyarakat terhadap kawasan di sekitar Monju yang selama ini kumuh dan jadi tempat yang tidak senonoh. Saya ingin mengubahnya menjadi ruang publik dan pentas seni tradisi Sunda, seperti yang beberapa kali pernah berlangsung,” katanya, seraya menambahkan bahwa pilihan bambu merupakan cerminan dari filosfi budaya Sunda, sebagaimana juga yang direpresentasikan oleh desain monumen itu sendiri. 

“Apa salahnya plaza Monju dipakai atau difungsikan sebagai tempat acara seni tradisi yang saat ini banyak tidak diperhatikan? Kami merasa prihatin dan merasa tidak masuk akal selama lima belas tahun monumen itu terbengkalai, dipakai mabuk-mabukkan, pacaran, dan balap motor. Kok para pakar diam saja? Itukah yang pantas hadir di Monju dibanding kesenian tradisi adiluhung?” katanya.

Herdiwan benar, selama limabelas tahun kondisi Monju memang sangat menyedihkan, meski sudah sering media menyorotinya. Tapi, tak ada salahnya juga sedikit mengingatkan bahwa lembaga yang mengelola Monju ketika itu tidak lain dan tidak bukan adalah birokrasi Gedung Sate. Dan kini pengelolaanya diserahkan ke Disparbud Jabar. “Saya harus membuat sejarah ketika Monju diserahkan pada saya,” katanya.** (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 15 Mei 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar