Minggu, 13 November 2011

Nietzsche, Puisi, dan Keabadian

Tak pernah kutemukan perempuan
            yang ingin kujadikan ibu anak-anakku,
 kecuali perempuan yang kucintai ini:
  karena kucintai kau, oh Keabadian!

  Karena kucintai kau, oh Keabadian!


BEGITU  Friedrich Nietzsche (1844-1900) selalu menyeru dalam bait terakhir, menutup setiap bagian dalam puisi “Tujuh Materai (Atau Lagu Ya dan Amin)”. Puisi yang termaktub dalam bukunya yang terkenal Also Sprach Zarahustra (Demikian Zarahutra Bersabda) ini, terdiri dari tujuh bagian. Dan dalam setiap akhir bagiannya, seruan ihwal keabadian yang dipujanya itu selalu muncul. 

Seruan dalam perulangan ini tampaknya bukan sekadar menjadi semacam komposisi estetis dalam bangun persajakan, tapi juga memberi tekanan pada betapa ia mencintai keabadian. Keabadian  yang dipersonifikasikannya sebagai seorang perempuan. Dan sebelum bait itu, ia pun selalu menulis bait yang sama; oh, bagaimana aku tak syahwatkan keabadian/dan cincin kawin segala cincin/-cincin Sang Keberulangan
Gairah pada keabadian dan keberulangan, yang akan membawa kembali segala sesuatu dalam hidup manusia, selalu menjadi seruan utama Zarahustra. Figur fiktif yang bertahun-tahun menyendiri dalam roh kesunyian di atas perbukitan, lalu turun menuju kota dan mengajarkan apa yang disebutnya dengan Ubermensch. Dalam ajaran itu Zarahutra tak hanya meyakini bahwa Tuhan sudah mati, tapi juga mengajarkan sebuah iman ihwal kehendak manusia untuk berkuasa (Will to Power).

Dengan kehendak berkuasa inilah manusia bisa menikmati totalitas hidup dalam kepenuhannya. Sebuah gagasan puitik demi memaklumatkan posisi manusia yang melepaskan makna dirinya dari segala ikatan. Tak hanya moralitas tapi juga ikatan dari berbagai harapan. Termasuk harapan yang masih disisakan oleh masa lalu atau yang dijanjikan oleh masa depan.

Tak ada harapan pada apapun kecuali pada dunia itu sendiri. Kekinian diyakininya sebagai keabadian sepanjang manusia setia pada gairah dan kuasa nasibnya sebagai manusia (Amor Fati). Kesetiaan inilah yang akan menjadi bukti bahwa segala sesuatu akan berulang sebagai keabadian. Gairah pada keabadian yang jauh lebih agung dari penderitaan, seperti ia juga menyeru; gairah-lebih dalam dari nestapa/.../Tapi segala gairah hasratkan keabadian/ (“Nyanyian Mabuk”). Gairah pada keabadian akan membawa manusia sebagai mahluk supra-historis. Mahluk yang mengatasi nestapa dan keriangan.
                                                          **
BERBEDA dari para filsuf lainnya, Nietzsche tak bisa disendirikan dari puisi. Banyak kalangan menghubungkan Nietzsche dan puisi karena gaya penulisannya yang aforistik dan tidak sistematis sebagaimana halnya gaya penulisan sejumlah filsuf.  Mungkin saja benar, terlebih gaya aforisme itu lebih dari sekadar disadari oleh Nietzsche.  Tapi juga merepresentasikan kebenciannya pada gaya penulisan yang sistematis, yang dipandangnya sebagai penjara. 

Meski begitu, hubungan Nietzsche dan puisi tak berhenti sampai di situ. Dari riwayat hidupnya diketahui bahwa pada usia 14 tahun, semasa tinggal di asrama Profta, bersama sejumlah temannya ia mendirikan klub sastra Germania. Sejak itulah ia terus berlatih mengungkapkan berbagai pemikirannya ke dalam puisi.

Dengan kata lain,  Nietzsche adalah filsuf sekaligus juga seorang penyair. Terutama dalam karyanya yang monumental Also Sprach Zarahustra atau Der Wille zur Macht (Kehendak untuk Berkuasa), dengan gaya aforismenya yang menakjubkan, Nietzsche menyuguhkan berbagai gagasan yang mencengangkan ihwal Tuhan dan dunia manusia. Dan satu hal yang selalu dilekatkan pada gagasan pemikiran Nietzsche adalah provokasinya yang ektreem tentang kematian Tuhan, dan kehendak manusia untuk berkuasa sebagai ubermensch, keabadian, nihilisme segala nilai,dan  penolakannya pada moralitas dan kebenaran mutlak. Dan inilah yang memosisikan Nietzsche, yang oleh sebagian kalangan, dianggap sebagai “nabi pasca-modernitas”.

Dengan  menghadirkan warna dasar semacam itulah, sejumlah aforisme Nietzche dari beberapa karyanya dipilih dan dikumpulkan menjadi sebuah kumpulan puisi. Diterjemaahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan kumpulan puisi ini menjadi buku ke VI dari Seri Puisi Jerman yang diterjemaahkan ke dalam bahasa Indonesia. Duet Bertold  Damshäuser dan Agus R Sarjono kembali mengeditori Seri Puisi Jerman ini, setelah sebelumnya terbit kumpulan puisi Hans Magnus Enzerberger, Paul Celan,  Bertold Brecht, dan Goethe.

Ada banyak buku terjemaahan karya-karya Nietzsche, demikian pula sejumlah buku yang mengurai sosok dan pemikiran filsuf Jerman yang dianggap radikal dan kontroversial ini. Tapi, pembacaan atas Nietzsche melalui puisi mungkin bisa dibilang dengan jari sebelah tangan. Kekosongan inilah yang tampaknya hendak diisi oleh penerbitan kumpulan puisi bertajuk “Syahwat Keabadian” ini.      

Buku ini juga menyuguhkan sejumlah periode yang menjadi jejak pemikiran Nietzsche yang hadir dalam bentuk puisi. Puisi-puisi itu dipilih dan diambil dari sejumlah karya Nietzsche, mulai dari Die Frohliche Wissenschaft (Sains Girang) hingga Also Sprach Zarahustra. Perkembangan pemikiran Nietzsche hadir dalam puisi yang merepresentasikan biografi gagasan dan kegelisahannya. Baik semasa ia masih menyebut Tuhan dengan pilu; Di malam seram ngeri/ Aku menatapMu, harus merengkuhMu (Engkau Memanggil, Tuhan, Kuhampiri); hingga ketika ia dengan “lancang” menulis, “baik dan jahat cuma prasangka/ Tuhan”- ucap ular, lalu menghilang (Dari Surga).

Seperti hasrat akan keabadian yang dipersonifikasikannya sebagai perempuan yang dicintai, begitulah puisi-puisi Nietzcshe menghadirkan gagasannya ihwal penolakannya pada moralitas dan kebenaran mutlak. Di atas keduanya inilah gairah kerja keras manusia bukanlah demi kesenangan, melainkan untuk berkuasa. Manusia mesti berkuasa sebagai individu yang bebas,  hasrat dan gairah yang dimetaforakannya sebagai api yang tak pernah puas; aku membara habisi diri./Segala yang kupegang menjelma cahaya, yang kulepas arang belaka:pastilah aku api sejati (Ecco Homo).

Sebagai puisi ide, karya-karya Nietzsche berlimpah dengan sinisme pada Tuhan dan agama. Keduanya lebih dari sekadar merujuk pada konteks cara pandang Nietzsche terhadap gereja Eropa ketika itu, yang dianggapnya melulu menjadikan manusia sebagai segerombolan domba. Melainkan juga merepresentasikan penolakannya akan kebenaran dan moralitas mutlak yang membelenggu manusia. Hilangnya kesadaran manusia sebagai individu karena suatu kebenaran mutlak, dimetaforakannya dengan tabiat dombawi. Sebaliknya, kebebasan manusia sebagai individu yang memberontaki segenap kebenaran mutlak dibayangkannya sebagai burung rajawali.

Dalam sajak “Cuma Pandir! Cuma Penyair!”, keduanya dihadapkan. Di sinilah ia berseru, “Atau jadilah rajawali,/yang sabar waspada mengintai ke ngarai,/ke ngarai diri sendiri.../” Puisi ini menarik karena melukiskan gagasan atau sinisme Nietzsche perihal manusia yang ingin meminang kebenaran. Kaukah peminang kebenaran? , adalah pertanyaan yang terus muncul sembari terus mencemooh dan meragukan kebenaran itu yang membuatnya terus terusir. Karena itulah, alih-alih meminang kebenaran yang hanya akan membelenggu seperti halnya para filsuf, Nietzsche lebih memilih kepandiran dan keleluasaan pencarian seorang penyair.

Kepandiran yang membuatnya leluasa menjelahi berbagai pengalaman, dan luput dari sifatnya yang dombawi; kerinduan-kerindua penyair,/kerinduan yang berlumur ribuan larva,/bersifat rajawali, bersifat macan kumbang,/kau yang pandir! Kau yang penyair!//Kau yang menemukan manusia/sebagai dewa maupun domba,/mencabik dewa dalam manusia/dan terbahak dalam bahak mencabik,/Itu, itulah bahagiamu,/bahagia macan kumbang dan rajawali,/bahagia penyair dan si pandir! 
                                                                **
PUISI–puisi Nietzsche adalah puisi seorang Dynosian. Nafsu dan gairah seorang penyendiri yang menentang kesantunan moralitas serta kebenaran umum. Nafsu seorang nihilistik yang mempertanyakan segenap nilai kebenaran seraya terus mencari kebenaran itu sendiri. Karena itulah ia kerap dipandang sebagai manusia yang dirundung oleh berbagai kontradiksi. Ia dihujat sebagai orang gila sekaligus dipuja sebagai seorang pencari Tuhan seraya juga ia menolak keberadaanNya demi kehendak untuk berkuasa.

Sebagai filsuf dan penyair, kontradiksi gagasan Nietzsche juga berada di antara keduanya. Termasuk ihwal keabadian dan kepercayaannya bahwa segala sesuatu akan berulang. Bagi Paul Strathern (1997), misalnya, pengulangan abadi yang diserukan Nietzsche lebih merupakan sebuah gagasan puitik yang menarik agar manusia menikmati hidup sampai pada kepenuhannya. Tapi, sebagai gagasan moral atau filosofis, hal itu sangatlah dangkal.

Demikian pula bagi Bertold Damshäuser. Dalam tulisan pengantarnya di buku ini, ia menyebut gagasan Keberulangan Abadi itu hanyalah sebuah ide yang tak berdasar, jelas tak terbuktikan, tak masuk akal. Ide itu dicari-cari oleh Nietzsche yang haus akan makna keabadian, yang sekaligus juga menolak metafisika dan karena itu melarang diri untuk mencari makna dalam transendentalitas (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 19 September 2010)

1 komentar:

  1. Terimakasih atas tulisannya,.. Mas sudah pernah baca karya Puisi Nietzsche yang Nyanyian malam belom??

    BalasHapus