Minggu, 13 November 2011

Gedung Merdeka, Jejak Gaya Hidup Kaum Elite

PADA awalnya mereka biasa berkumpul di Warung De Vries. Minum teh sambil mendiskusikan berbagai urusan. Mereka itu orang-orang kelas elite Eropa di Kota Bandung. Para pengusaha atau juragan perkebunan, saudagar, pedagang, perwira militer, dan tentu saja pembesar Hindia Belanda. “Societeit Concordia”, begitu nama perkumpulan mereka, didirikan tahun 1879 dengan tujuan “ de bevordering van gezellig verkeer” atau meningkatkan hubungan sosial di kalangan orang-orang Eropa di Bandung.

Atas prakarsa para pengusaha Belanda pemilik perkebunan teh, tahun 1895 didirikanlah sebuah gedung di seberang Warung De Vries. Mereka lalu pindah berkumpul di gedung yang lalu diberi nama Gedung Concordia. Tak jelas benar mengapa para Meneer itu merasa harus memindahkan tempat berkumpul mereka dari Warung De Vries, padahal Gedung Concordia itu masih berupa bangunan sederhana. Alasan yang paling mungkin adalah jumlah anggota perkumpulan yang semakin banyak dan memerlukan tempat berkumpul yang lebih luas. Tahun 1920 Gedung Concordia kembali disempurnakan.

Keberadaan Gedung Concordia jelas berhubungan dengan kebutuhan komunitas orang-orang Eropa di Bandung. Tak hanya sebagai tempat berkumpul dan bersantai, tapi juga sebagai tempat untuk melayani gengsi dan hasrat gaya hidup borjuis mereka. Terlebih lagi ketika tahun 1928 gedung ini untuk terakhir kalinya kembali disempurnakan bentuknya lewat rancangan Van Gallen Last dan C.P. Wolff Schoemaker, seperti yang kita lihat sekarang sebagai Gedung Merdeka. Nama yang diberikan oleh Presiden Soekarno menjelang berlangsungnya KAA.


Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk dan menikmati kemewahan Gedung Concordia. Jangankan kaum pribumi (inlandeer), bahkan orang kulit putih yang tidak memiliki jaringan ke dalam komunitas elite Eropa di Bandung sangat sulit untuk bisa sekadar masuk ke dalamnya. Gedung ini merupakan tempat pertemuan paling mewah dan modern. Di dalamnya terdapat ruangan tempat minum, bersantai, dan menyaksikan pertunjukan kesenian. Lantainya terbuat dari marmer Italia, belum lagi lampu-lampu kristal dan berbagai fasilitas yang ketika itu terbilang mewah. Terutama malam di hari-hari libur, gedung ini dipenuhi oleh kalangan klas elite Eropa.

Keberadaan Gedung Concordia yang terletak tak jauh dari kawasan Bragaweg (Jln. Braga), juga Hotel Homman (didirikan tahun 1880) dan Hotel Preanger (didirikan tahun 1897), seolah menjelaskan konfigurasi ruang sosial Kota Bandung sebagai kota kosmopolitan ketika itu, lengkap dengan gaya hidup masyarakat urbannya

Memandang Gedung Merdeka hari ini sebenarnya adalah menatap makna keberadaan gedung tersebut sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar sebuah bangunan bercorak khas bangunan peninggalan kolonialisme Belanda. Bahkan, ia lebih dari sekadar fungsi yang menunjuk pada serangkaian sejarah yang berhubungan dengan gedung tersebut. Dari mulai pada jaman Jepang ketika namanya diubah menjadi Dai Toa Kaman, yang fungsinya sebagai tempat kesenian dan hiburan bagi bala tentara Dai Nippon itu, gedung tempat diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, atau yang pernah menjadi Gedung Konstituante di tahun 1950-an, dan Gedung MPRS di tahun 1960.

Lebih dari sekadar yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa besar dan bersejarah semacam itu, makna keberadaan Gedung Merdeka merupakan ikon dari jejak perjalanan gaya hidup urban yang pernah terjadi di Kota Bandung. Gaya hidup para elite pengusaha perkebunan, opsir, dan para pembesar Hindia Belanda yang melahirkan konfigurasi ruang sosial sebuah kota seperti Bandung.

Sekarang, perkumpulan “Societeit Concordia” itu sudah tidak ada, meski Warung De Vries di seberang Gedung Merdeka masih tegak. Gedung Merdeka pun masih tegak berdiri di Jalan Asia Afrika No. 65. Sore atau malam, lewatlah di depannya. Tentu saja kita tidak akan menemukan lagi para Meneer dan Mevrouw yang sedang menikmati gaya hidupnya yang eksklusif. 

Tapi kita akan melihat para anak muda yang berpotret-ria dengan latar gedung yang bersejarah tersebut dalam berbagai pose dan gaya. Satu...dua...tiga...ceklek! **(Ahda Imran, Pikiran Rakyat 11 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar