Minggu, 13 November 2011

PELAJARAN DARI SHENZHEN



Membangun China seperti menyeberangi sungai 
dengan merasakan bebatuan yang terinjak kaki...

UNGKAPAN Deng Xiaoping (1904-1997) di atas seolah menjadi penjelasan ihwal apa dan bagaimana China bisa tumbuh menjadi negara dengan kekuatan ekonomi yang mengagumkan. Ungkapan pemimpin China generasi kedua yang juga terkenal dengan “lompatan jauh ke depan” itu mengarah pada sebuah konsep perubahan yang dilakukan secara perlahan, terukur dan memerhitungkan banyak aspek. Reformasi ekonomi dan pemerintahan yang dilakukan dengan sangat hati-hati, memadukan spirit sosialisme dan konfusianisme.

Bahkan, demi reformasi ekonomi itu China memilih bersikap pragmatis, termasuk dengan segala sesuatu yang sebelumnya diharamkan oleh komunisme sebagai ideologi negara, sebagaimana ungkapan Deng Xiaoping, “Saya tidak peduli apakah kucing itu berwarna hitam atau putih, yang penting kucing itu bisa menangkap tikus”.

Dan hasilnya adalah China yang hari ini terus tumbuh sebagai negara industri dan raksasa ekonomi yang mencengangkan. Beijing, Shanghai, Guangzhou, Shenzhen, hanyalah sedikit dari sejumlah kota di China yang telah berubah menjadi kawasan zona ekonomi dan kota metropolitan yang terpandang di dunia.
 
Kota-kota itu tumbuh sebagai zona ekonomi dengan supra dan infrastruktur yang mengagumkan. Pembangunan berbagai pusat industri di kota-kota metropolitasn itu berpadu elok dengan penataan kota dan lingkungan, moda transportasi, dan juga pembangunan infrastruktur kota lainnya. Termasuk dalam pembangunan di bidang seni-budaya bagi kepentingan turisme (pariwisata).

Shenzhen merupakan salah satu kota metropolitan
terpenting untuk melihat perkembangan dan kemajuan ekonomi China. Dengan luas 2.020 km dan jumlah penduduk 10 juta jiwa, Shenzhen tak hanya menjadi kota internasional yang memanjakan para investor asing. Tapi juga para pelancong dengan berbagai tontonan seni tradisi Cina yang spektakuler, yang dikemas secara menakjubkan.

Satu hal yang amat terasa dalam berbagai tontonan itu bukan hanya bagaimana matangnya pemerintah Cina dalam menyiapkan supra dan infrastruktur pariwisata, seni, dan budaya mereka. Melainkan juga bagaimana seluruhnya itu hadir dalam kesatuan sinergi yang matang antara komunitas seniman, swasta, pengelola pertunjukan, birokrasi pemerintah, agen/biro perjalanan, yang seluruhnya berhubungan dengan moda transportasi serta penataan tata ruang kota yang apik dan detail.


                                                                            **
DI Shenzhen, terdapat dua lokasi pariwisata dengan gedung teater yang menampilkan berbagai pertunjukan tari tradisi Cina, yakni, Splendid China (China Folk Culture Villages) dan OCT East. Umumnya ketiga gedung itu memililiki kapasitas tiga ribu tempat duduk dengan teknologi tata panggung dan tata cahaya yang canggih. Dengan luas 22 hektar, di kawasan Splendid China terdapat dua gedung teater dengan kapasitas tiga ribu tempat duduk, Impresion Theater dan Phoenix Plaza. Selain itu terdapat juga Horse Batle, sebuah teater terbuka yang menampilkan pertunjukan perang kuda meniru pertempuran pada masa Tiongkok klasik. Gedung teater yang sama juga ada di kawasan wisata OCT East, yang berada di balik lembah luar kota Shenzhen.

Mengunjungi Splendid China dan OCT East, dan tiga gedung teater yang mewah, tak hanya bertemu dengan ketakjuban menyaksikan berbagai suguhan tarian tradisonal China. Tapi juga menjadi ketakjuban yang menimbulkan sejumlah pertanyaan, bagaimana mereka bisa menciptakan sebuah kawasan pariwisata, seni dan budaya yang semacam ini? Dengan konsep atau manajemen semacam apa semua ini dimulai? Pola sinergi semacam apa yang diterapkan sehingga bisa melibatkan berbagai elemen di dalamnya?

Jawaban paling mudah tentu dihubungkan dengan China sebagai negara komunis, di mana kepatuhan pada pemerintah menjadi mutlak. Jawaban yang masuk akal. Tapi, bagaimanapun tetaplah ada sesuatu yang lebih dari sekadar itu. Paling tidak, terdapat etos manajemen dan pola sinergi yang membangun seluruhnya lebih dari sekadar kepatuhan yang berhubungan dengan karakter ideologi negara. Terlebih intitusi yang berada di belakang seluruhnya itu bukanlah pemerintah, tapi swasta.

“Semuanya ini kerjasama pemerintah dan swasta sebagai pengelola. Manajemen pengelolaan sampai hal-hal teknis diserahkan pada swasta,” ujar Amy (39), seorang guide yang fasih berbahasa Indonesia.
Pihak swasta itu juga yang mengoordinasi para seniman yang jumlahnya mencapai ribuan, termasuk dalam membuat konsep pertunjukan. “Para seniman itu umumnya para penari lulusan sekolah seni Beijing dan Guangzhou. Tapi banyak juga para pelajar yang dilibatkan. Mereka berumur 15-25 tahun,” tutur Amy lagi.

Mengumpulkan, mengoordinasi, melatih, dan menyatukan ribuan seniman dan awak panggung dalam industri pertunjukan yang berlangsung saban hari, tentu bukanlah pekerjaan mudah. Tapi tampaknya semua sudah berlangsung sebagai rutinitas yang tertata rapih dengan sendirinya. Baik pengelola, penyelenggara, maupun para seniman dan awak panggung, tampak sudah tahu benar pekerjaannya masing-masing.

                                                                       **

SEBAGAI kawasan seni-budaya Splendid China dan OCT East mulai dibangun sejak tahun 1989-2003, seiring dengan pembangunan infrastruktur Kota Shenzhen sebagai kota internasional. Kedua kawasan tersebut dibangun sebagai kesatuan dalam spirit menampilkan identitas Shenzhen sebagai kota internasional yang memberi tempat penting pada pembangunan sektor budaya. Sebuah sektor yang dengan sangat cerdik dikemas menjadi industri pariwisata itu sendiri. Di kedua tempat inilah China memamerkan seluruh khazanah budaya tradisinya.

Tapi sebenarnya yang tengah dipamerkan oleh pemerintah China tak hanya itu. Tapi lebih pada memamerkan keseriusan mereka dalam menguris atau memperlakukan khazanah seni budayanya. Seni budaya sebagai aset tampaknya disadari benar oleh pemerintah China sebagai identitas sebuah kota. Strategi pengelolaan yang profesional terasa tak hanya dari bentuk sajian, tapi juga sampai pada hal-hal yang kecil, seperti katalog, prasarana dan sarana lainnya.

Termasuk dalam hal ini adalah keseriusan dalam kesatuan konsep yang berhubungan dengan penataan kota dan lingkungan. Meski berada di pusat kota, Splendid China, misalnya, tertata dengan perhitungan yang matang termasuk dalam aspek lingkungan. Akses menuju tempat itu pun tersedia dengan mudah. Demikian pula dengan OCT East dengan paduan turistik, keindahan alam, dan suguhan ihwal seni-budaya China.

Mengunjungi Shenzhen dan menyaksikan berbagai suguhan khazanah seni-budaya China, seniman, penulis dan pengamat budaya, dan sejumlah pejabat teras Kota Bandung yang melakukan perjalanan studi banding hanya bisa berdecak kagum. Sebuah pelajaran penting bagaimana pemerintah sebuah kota menata dan mengurusi khazanah seni budayanya sehingga bisa memperkaya identitas kotanya sekaligus juga menjadi suguhan turistik yang menarik.

Dan tentu saja amat sulit membandingkan apa yang disaksikan di Shenzhen dengan bagaimana kehidupan seni-budaya di Kota Bandung. Tapi perjalanan studi banding ini meninggalkan jejak ihwal bagaimana sebenarnya sebuah kawasan seni budaya dikelola dengan sinergi dan kesatuan konsep yang tegas, antara segenap komponen di dalamnya. Dan itu amat bergantung pada strategi budaya dan strategi sinergitas mereka yang terlibat di dalamnya. Termasuk kinerja birokrasi pemerintahan. (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 13 Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar