Minggu, 13 November 2011

INDIA DI ATAS KANVAS



 SORE, mendekati malam, dalam hari yang gerimis di sudut Kota Kalkuta. Langit berkabut, membuat bayangan di kejauhan. Puncak-puncak gedung tua dengan arsitekturnya yang unik, menara atau kubah. Sebuah gedung tua di sisi jalan tampak berdiri dengan agung, terasa murung. Di atas jalanan itu kabel-kabel listrik merentang kaku dari berbagai arah. Di kejauhan, samar oleh kabut, kabel-kabel berjuntaian bersama rentangan tali di antara kedua sisi jalan yang mengikat sebuah kain, seperti spanduk.  

Jalanan basah memantulkan cahaya lampu dan bayangan tubuh orang yang berjalan di antara riuh kendaraan. Sebagian mereka berpayung. Dalam kabut di kejauhan, payung-payung itu menyerupai cendawan. Di bawah gerimis dan langit yang berkabut, jalanan tetap menghadirkan gerak keriuhan, meski seakan-akan mengendap dalam cuaca dingin yang menggigit. Sebuah trem melintas. Sinar lampunya memantul pada batang-batang besi rel.

Suasana seperti itulah yang divisualkan Ananta Mandal dalam beberapa lukisannya bertajuk "Feel the Child". Pada beberapa karyanya, Ananta terkesan mengambil objek yang sama, namun dengan sudut pandang dan waktu berbeda. Seri ini tampil dengan style pendekatan realistik yang memikat, termasuk ketika ia menampilkan juga citraan realisme ekspresif yang secara kuat memberi aksentuasi dan efek karakter suasana objeknya. Objek tampak dihadirkan tanpa keinginanan menampilkan detail, namun lebih menekan pada gerak dan nafas suasana. 

Adegan orang berjalan di tengah kendaraan yang padat di bawah siraman gerimis, ditampilkan dengan karakter garis dan volume yang menyaran pada suatu gerak. Begitu pula, bagaimana ia menggarap efek pewarnaan untuk menciptakan pantulan cahaya lampu di jalanan yang basah.
Dalam seri ini, Ananta Mandal tak hanya tengah mempresentasikan sejumlah penanda tentang pengenalannya yang fasih pada Kalkuta. Melainkan juga bagaimana kota itu dihadirkannya bukan melulu sebagai sebuah peristiwa di suatu tempat dan waktu.

Pelukis India berusia 23 tahun yang kerap disebut sebagai sensasi muda dari Kalkuta yang meraih penghargaan Best Entry Prize dari Bombay Art Society Annual Awards itu pun menunjukan eksplorasi dan penguasaannya yang menarik pada medium. Denyut Kota Kalkuta dan suasana jalanannya dalam gerimis yang dingin itu, tak hanya dituangkannya lewat arkrilik, tapi juga dengan cat air di atas bidang kertas.

Dan karya Ananta Mandal hanyalah satu dari karya 33 pelukis India yang dipamerkan di Museum Barli Bandung, sejak tanggal 16 Juli 2005 hingga 30 Juli 2005 mendatang. Pameran yang diselenggarakan oleh Indian Artists Network ini berangkat dengan tajuk "Our Roots Are Our Wings". 

Pameran ini menarik, karena paling tidak selama ini apresiasi kita terhadap karya para seniman India selalu hanya terbatas pada tarian, sastra, musik, hingga Bollywood. Pengenalan terhadap tradisi seni rupa India juga melulu hanya pada candi atau patung. Jika pun menyentuh tradisi seni lukisnya, itu pun cenderung berhenti pada lukisan-lukisan klasiknya, yang sepintas kerap sulit dibedakan dengan motif lukisan klasik Persia.

Dan karena itulah pameran karya 33 pelukis India ini agaknya bisa dikatakan sebagai pembacaan awal bagaimana tradisi seni lukis India menunjukan perkembangannya dari generasi ke generasi. Mereka menghadirkan berbagai tema dengan berbagai kecenderungan gaya ungkap yang tak hanya memperlihatkan bagaimana tradisi seni lukis India itu menunjukan perkembangannya. Melainkan juga bagaimana para seniman itu sendiri menghadirkan wajah negerinya di atas kanvas.

                                                                                                    **

BERBEDA dengan Ananta Mandal yang menghadirkan karya-karyanya dari pendekatan realistik, Dilip Bade lewat "Ellora" berangkat dari gaya ungkap tradisional yang mengambil inspirasi dari gambar-gambar pada dinding gua di India. Dengan media arkrilik dalam sapuan lembut sehingga menimbulkan efek pewarnaan klasik, Dilip Bade menampilkan seorang ksatria dalam tradisi kepercayaan India. Ekspresi wajahnya tenang dan lembut. Tak jelas benar apakah ia seorang ksatria atau seorang suci, bahkan apakah ia perempuan atau lelaki. Gestur tubuhnya dengan mudah mengingatkan kita pada gestur dalam adegan-adegan orang-orang suci dalam relief candi.

Gaya ungkap tradisional yang berasal dari gambar-gambar dinding gua dan menjadi inspirasi, juga tampak dalam seri "Mother Nature" karya Durga Bai. "Mother Nature 1", misalnya, menampilkan dunia satwa yang diolahnya ke dalam pendekatan figuratif yang memikat dengan komposisi, pewarnaan, dan unsur kebentukan yang mengingatkan kita pada karakter lukisan dalam tradisi masyarakat Austronesia. 

Hanya saja yang membedakannya adalah objek satwa yang ditampilkan, yakni seekor rusa dengan tanduk yang menjadi pohon bagi hinggapnya puluhan burung. Juga di situ terdapat kura-kura, ikan, sejenis unggas, dan seekor binatang berkaki empat lainnya. Pilihan objek satwa ini tentu saja bisa menjelaskan sejumlah hal yang berkaitan dengan metafor dalam konsep kepercayaan sebuah kultur, di mana dunia satwa selalu hadir dan dihadirkan sebagai perlambangan.

Sementara itu Shankar Kendala di sebuah sudut menampilkan seorang perempuan India yang tampak tengah berdiri lemah tersandar pada dinding. Kedua lengannya jatuh lurus ke depan. Ekspresi wajah perempuan itu seakan menyimpan keputusasaan, dengan sorot mata datar namun menerawang. Mencermati latar di belakangnya dengan pewarnaan coklat tua yang mengingatkan kita pada dinding rumah-rumah tradisional India di kalangan rakyat, terkesan perempuan itu sedang berdiri di mulut pintu. Terlebih lagi merujuk jika pada judulnya, "A Waiting".

Memang secara teknis lukisan dengan media arkrilik ini rasanya biasa-biasanya, termasuk pewarnaan, volume, dan komposisinya yang terasa monoton. Namun satu hal, agaknya pelukis senior Bangalore ini lebih hendak menyaran lewat komunikasi tematisnya, yang menggiring impresi pada keinginan merepresentasikan persoalan gender. Hal ini tentunya berbeda dengan apa yang ditampilkan oleh Padmanabh Bendre dalam "My Cat" dengan style ungkap realisme ekspresif yang mengesankan, Pramatima Sheth yang menampilkan suasana perkampungan dengan abstrak impresionismenya. 

Atau juga eksplorasi pendekatan surealis yang demikian segestif dalam "Budha" karya Vasudev Kamaath. Di situ, seniman senior dari Bombay menampilkan Sang Budha Gautama yang duduk di bawah pohon Bodhi dalam posisi meditatif yang hening dengan latar pepohonan yang rimbun dan mencitrakan keheningan. Sementara di bawahnya, dengan suasana alam yang kontras --gurun yang kering-- sebagai representasi kesadaran hidup manusia dalam penderitaan, 5 orang Bhiku sedang menengadah ke arah Budha.

Jika disebutkan oleh Ajit Vahadane sebagai Organizer Indian Artists Network bahwa pameran ini didedikasikan pelukis senior K.M. Shenoy, maka hal itu agaknya memang amat pantas. Menatap karya-karya K.M. Shenoy dalam rupa drawing, sketsa, atau pun cat air, adalah memang berhadapan dengan karya seorang seniman maestro. Karya-karyanya tak hanya menyiratkan penguasaannya yang demikian matang pada bagaimana ia memperlakukan dan mengolah medium. Melainkan juga menghembuskan nafas India yang demikian kuat.

Tak usahlah merujuk pada "My Baby", lukisan cat air yang memperlihatkan virtuositasnya dalam menghadirkan dunia visual perempuan India, tapi virtuositas itu bahkan bisa dirasakan getarannya pada karya-karya drawingnya. Dalam "My Pet", misalnya, K.M. Shenoy hanya memerlukan sebuah tarikan garis untuk menghadirkan objek seekor sapi. Sekilas kita seperti diingatkan pada Ipe Ma'ruf, namun karakter garis K.M. Shenoy terasa tak hanya bertujuan untuk menciptakan struktur anatomi seekor sapi, melainkan terasa lebih pada menghadirkan getaran dan iramanya ketika garis ditarik. Tak jelas benar, apakah kita bisa menghubungkannya dengan kepercayaan suci pada hewan tersebut seperti yang terdapat dalam tradisi Hindu.

Pula demikian dengan "Stop the Torture". Drawing pensil di atas kertas ini menampilkan lengan dan jari tangan yang kuat menekuk untuk menahan sebuah desakan. Desakan itu sendiri tak berwujud, melainkan hanya bidang kertas putih yang hadir ilusif dan terasa menyesakkan. Di depan drawing tersebut, empati kita tertuju pada lengan dan jari tangan, yang bahkan seolah menjadi lengan dan jari tangan kita.

                                                                                                **

MENATAP India di atas kanvas dan kertas karya 33 orang para pelukisnya di Museum Barli adalah mengenal ekspresi berikutnya dari salah satu negeri tempat di mana epos dan mitos-mitos Timur yang sakral berasal. Di dalam karya mereka India tak hanya hadir dalam ragam tradisi lukisannya klasiknya, melainkan juga bagaimana mereka bersinggungan dengan style ungkap seni lukis modern, seraya dengan itu mereka memberi roh pada dinamika identitas dan tradisinya. Realisme, ekspresionisme, impresionisme, bahkan kontemporer, dan seterusnya itu terasa hanya menjadi kendaraan yang tidak lalu melindas, melindas, dan menyamarkan India.

Menariknya pameran ini diselenggarakan sebagai bentuk dari bagaimana para seniman itu melakukan upaya strategi budaya dalam sebuah lembaga independen yang dibiayai oleh mereka sendiri, yakni Indian Artists Network. Organisasi ini dibentuk untuk mengakomodasi kesempatan para perupa India dalam memperkenalkan karya-karyanya ke seluruh dunia melalui berbagai kesempatan pameran. 

Strategi ini diandaikan sebagai sebuah permulaan untuk menarik perhatian galeri-galeri di seluruh dunia sehingga dibayangkan mereka akan mengundang pelukis India untuk berpameran secara tunggal, selain juga membuka jalan bagi para seniman India untuk bergaul dengan seluruh seniman di dunia.

Berbeda dengan lembaga-lembaga network lainnya, paling tidak seperti di Indonesia, jaringan yang mereka bangun bukanlah dengan pretensi mencari dukungan pendanaan dari pihak sponsor di manca negara. Bahkan seperti ditulis Ajit Vahadane sebagai pimpinan lembaga tersebut dalam pengantar pameran, lembaga tersebut secara tegas mencantumkan penolakannya untuk menerima bantuan uang baik dari perorangan lembaga. Agaknya penolakan ini tak hanya bertujuan menjaga independensi, namun juga menyiratkan kemandirian dan harga diri para senimannya.

"Hidup dengan harga diri adalah satu-satunya seni dalam hidup yang sesungguhnya," tulis Ajit Vahadane.** (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 26 Agustus 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar