Jumat, 02 Desember 2011

Suyatna Anirun


BARANGKALI seperti cinta, kesenian itu tak pernah bertanya tentang “apa”, tapi “bagaimana” mencintai itu sendiri. Bagaimanapun rumitnya, mencintai adalah sebuah peristiwa dengan martabat kesetiaan di dalamnya. Dan kesetiaan seorang seniman akan menjadi sangat dangkal jika dipersamakan dengan keyakinan dalam loyalitas kepentingan politik yang tabiatnya senantiasa pragmatis itu; ke mana arah angin ke situlah hidungnya menghadap! Sejenis sikap dan pekerjaan yang telah mengubah dunia manusia menjadi benda. 

Inilah yang melainkan kesetiaan seorang seniman pada bagaimana ia menghadapi dunia manusia dan kemanusiaan. Kesetiaan seolah-olah telah menjelma menjadi mahluk lain dalam dirinya. Menjadi peristiwa.


Kesetiaan sebagai peristiwa kesenian adalah persoalan bagaimana menghayati dan memaknai ruang-ruang empirisme proses. Peristiwa yang bukan sekadar jadi (being), melainkan manifestasi untuk menjadi (becoming). Jadi dan menjadi, kata Ali Syariati, bukanlah dua hal yang bisa dipahami secara bersamaan. “Jadi” hanyalah “ada” di hadapan ruang, kenyataan yang tak bisa menembus waktu sebab ia adalah identifikasi yang abai terhadap empirisme proses.

Seekor anjing sejak ratusan tahun yang lalu, di mana pun, akan menggonggong, makan, berjalan, tidur, dan birahi dengan cara yang sama. Dalam bahasa yang lain,  Sartre menyebutnya en soi (materi) untuk melainkannya dengan pour soi (kesadaran). Sebaliknya, menjadi (becoming) adalah peristiwa mengada tak henti-henti, merendamkan dirinya ke dalam kesetiaan pertaruhan dan pergumulan proses.

Maka sangatlah naif ketika kesenian dan praktik-praktik seni dijalani sebagai peristiwa yang hanya sekadar jadi (being) tanpa martabat kesetiaan. Satu-satunya kesetiaan yang dimiliki hanyalah kesetiaan pada eksistensi dan keinginan untuk dicatat, dengan mentalitas yang cenderung menjadi narsis.

“Segala sesuatunya bukan untuk dibicarakan, tapi untuk dihayati,” tulisnya suatu hari. Ia seolah tengah menulis untuk dirinya sendiri, bahwa kesenian bukanlah “apa”, melainkan “bagaimana” menghayati kesetiaan sebagai empirisme pergulatan dan pertaruhan. Kesetiaan untuk terus mencari dan menemukan.

Tapi bagaimanapun,  kesetiaan, seperti juga iman, kerap sangat sulit dirumuskan dalam definisi yang logis. Ia seolah sengaja hanya menyisakan sebuah bagian lain yang hanya terapung-apung sebagai pertanyaan, yang jawabannya selalu bertukar tangkap dengan lepas. yang tak hendak menyediakan jawaban. Dan itu tak hanya menjadi pertanyaan bagi peristiwa kesetiaan mengapa seorang seniman menetapkan pilihannya “di situ” bukan “di sana”. Melainkan juga sejumlah pertanyaan tentang manifestasi artistik yang dipresentasikannya.

Mengapa Affandi seakan tak pernah kunjung selesai menyusun potret dirinya di atas kanvas? Mengapa Popo Iskandar tak henti-henti membawa kucing dan ayam jago ke atas kanvasnya, atau juga Jeihan yang selalu melubangi mata manusia sehingga menyerupai lorong yang gelap? Mengapa Rendra tak bosan-bosannya berteriak tentang daulat rakyat dan daulat hukum? Mengapa?

“....Untuk dihayati,” tulis Suyatna.

Menghayati, seringkali sekonyong-konyong terasa sebagai pertanyaan juga; mahluk apakah ia sesungguhnya?

Pertanyaan itu timbul karena kita sudah menjadi demikian naif oleh kehendak-kehendak untuk segera sampai dan menemukan. Padahal bukankah sampai itu selalu akhirnya menjadi sebuah permulaan itu juga? Celakanya, angan-angan untuk segera sampai telah menjauhkan kita dari bagaimana dunia menjelang sampai itu, bahkan diam-diam menolaknya. Kita, oleh kepercayaan untuk sekadar jadi, telah dialienasikan oleh realitas yang mempertuhankan hasil, menikmatinya seraya merasa terpuaskan oleh puji-pujian dari publikasi yang datang lewat pesanan.

                                                             ***
KESETIAAN adalah menerima sistem pengalaman dalam pencarian tak henti-henti pada bentuk-bentuk ungkapan artistik. Demikian Suyatna, ia belum juga berhenti menghayati teater dalam Gedung Rumentang Siang yang terasing itu, seperti juga ia selalu mengasingkan dirinya dari keinginan dan ambisi apapun. Kesenian telah menjadi laku dan tabiat dalam dirinya yang memang selalu diam, betapa pun akhirnya seringkali kesetian dalam diam itu berkesan menjadi introvert dalam ungkapan artistiknya yang konservatif pada bentuk.

Tapi soalnya juga tidak melulu pada bagaimanakah bentuk itu, melainkan bagaimana pencarian itu dilakukan dan dijelajahinya sebagai sebuah kesetiaan. Kesetiaan yang dihayatinya seperti sebuah dunia lain, dunia yang tak mungkin terjamah karena hanya berada dalam penghayatan atas pertaruhan dalam menghayati proses.

“Kepahlawanan itu abstrak, hanya ada dalam dunia hakikat, dalam mitologi dan karya sastra. Tapi ia bisa juga menjadi nyata jika kita mau membuka mata dan merenungkannya,” tulis Suyatna. Dan karena itulah ia tak pernah hendak menjadi pahlawan. Ia tak pernah sekalipun mengirim isyarat tabiat yang agar orang mencatatkan dirinya sebagai hero dalam tradisi teater modern Indonesia, yang dari kesetiaannya lahirlah para aktor seperti Eka Gandara, Rachman Sabur, Benny Yohanes, Yoyo C. Durachman, Arthur S. Nalan, Godi Suwarna, Adang Ismet, hingga Yusep Muldiyana, Uep Mulyana, Kemal dan Ria Mypelsa.

Maka menyebut nama Suyatna Anirun adalah memanggil ingatan pada sebuah kesetiaan tehadap ruang-ruang proses dalam laku kesenian, sehingga kesenian bukan lagi diperlakukan sebagai kata benda dan benda, sesuatu yang seakan bisa terbeli oleh hal-hal lain di luar keikhlasan dan kesetiaan itu sendiri.

Praktik-praktik seni adalah wilayah yang bukan sekadar untuk menemukan. Sebaliknya, mencari dan berendam dalam kesetiaan pada proses adalah puncak dari wilayah itu. Menemukan selalu dibaca bukan sebagai ujung, melainkan permulaan itu juga untuk melakukan pencarian berikutnya. 

Setidak-tidaknya demikian Suyatna memberi makna pada peristiwa kesetiaannya selama 40 tahun sejak ia, bersama Jim Liem, Soetardjo Wiramihardja, Muh. Sunjaya, Soeharmono Tjitrosoewarno, mendirikan Studiklub Teater Bandung (STB) tahun 1958. Dan seluruhnya itu dilakukan bukanlah untuk disebut sebagai seniman yang setia.

   Suyatna hanya melakoni di luar kenyataan bahwa itulah kesetiaan. Kesenian baginya bukanlah kancah perdebatan tentang eksistensi atau klaim-klaim yang serba keras kepala dalam tradisi lisan yang serba menyebalkan, seperti tulisnya,

“Segala sesuatunya bukan untuk dibicarakan, tapi untuk dihayati.”

 Cilame, 26 Juli 2001              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar