Selasa, 06 Mei 2014

Mei 1998 dan Politik Ingatan




  ---Ahda Imran , penyair & esais

AWAL tahun 1998, di tengah semangat reformasi dan ketegangan yang kian mengancam 32 tahun kejayaan Orde Baru, ada terbit sebuah buku, “Mereka dari Bandung:Pergerakan Mahasiswa Bandung 1960-1967”.  Buku setebal 524 halaman itu ditulis oleh Hasyrul Moechtar, diterbitkan oleh Penerbit Alumni. Buku ini terbit di tahun yang genting. Tahun penghujung dari apa yang ingin diingat dalam buku tersebut, perjuangan para mahasiswa yang turut membidani lahirnya Orde Baru.  Seluruh halaman buku seakan hadir demi memaknai masa silam yang jejak perjalanannya di tahun 1998 itu oleh para mahasiswa sedang mati-matian ditumbangkan.  Dan empat bulan setelah buku itu terbit, kejayaan Orde Baru berakhir.   

Bila kehadiran buku tersebut dimaknai sebagai bagian dari usaha menating kembali ingatan ihwal peran dan perjuangan para mahasiswa di tahun 1966, maka tampaknya ada sesuatu yang sedang diingatkan di situ,yakni, hubungan antara kekuasaan dan ingatan. Dan buku hanyalah satu dari sekian media untuk tujuan tersebut, selain film, museum, atau dunia pendidikan. 

Hubungan kekuasaan dan ingatan adalah sesuatu niscaya. Hubungan yang disadari benar oleh banyak rezim otoritarian demi mengolah,mengubah, dan membentuk ingatan khalayak demi legitimasi kuasa atas kekinian. Mana yang patut diingat dan mana yang tidak seluruhnya ada dalam kontrol negara. Dan barangsiapa yang mencari kemungkinan lain di luar itu,  akan secepatnya dicap telah melakukan perbuatan jahat, mengganggu stabilitas nasional.    

Pada soal inilah letak kecanggihan Orde Baru. Mengontrol,mengawasi, dan menjaga ingatan khalayak ihwal masa silam. Terutama yang menekan pada situasi genting di akhir tahun 1960-an seraya menaruh fokus pada figur Jenderal Soeharto.  Siasat yang dijalankan dengan sangat sistematis, dan yang paling penting, terkomando. Sebutlah, pemutaran film“Pengkhianatan G.30S/PKI” di saluran TV nasional setiap 30 September atau film “Janur Kuning” demi memaparkan heroisme Overste Soeharto dalam perang kemerdekaan.   

Patronasi
Bagi rezim pemerintahan otoritarian,  menguasai dan mengontrol ingatan adalah berkuasa atas jalan pikiran khalayak. Oleh sebab itu mengingat tidak melulu diartikan sebagai gerak menghampiri masa silam. Melainkan menjadikannya sebagai peristiwa dalam narasi kekuasaan, peristiwa massif untuk menjumpai masa silam yang dibimbing oleh penguasa agar tidak menyimpang dari desain kekinian yang diinginkan. Di situ menguasai ingatan adalah mendesain legitimasi kuasa atas kekinian. Dalam desain itu ingatan khalayak diolah dan diubah, mana yang patut diingat dan mana yang tidak, diukur dari kebutuhan penguasa.  

Maka dalam desain itu pula, negara memainkan perannya sebagai patron, sebagai pengayom, pembimbing, sekaligus pengawas. Hanya negara yang berhak menentukan masa silam mana saja yang patut diingat oleh khalayak, dan segi-segi mana saja yang mesti diingat lengkap dengan segenap penjelasannya. Di situ selalu ada seleksi politik terhadap bagian-bagian dalam masa silam yang patut diingat oleh khalayak. Tak hanya merujuk pada tanggal dan bulan, melainkan juga pada segala sesuatu yang bertaut dengan peristiwa yang mesti diingat tersebut.

Mengingat masa silam dalam politik ingatan semacam itu akhirnya tak ubahnya dengan pesan yang terus-menerus disampaikan ke tengah khalayak. Meminjam kalimat Soejatmoko (1976), di situ kesadaran sejarah dihadirkan sebagai suatu kontinuitas. Yang dalam konteks negara otoritarian, kontinuitas dimaksud merujuk pada peran negara sebagai patron atas ingatan. Setiap usaha melakukan diskontinuitas niscaya akan mengandung sejumlah risiko.     

Selama puluhan tahun Orde Baru berhasil dengan sangat baik memainkan perannya sebagai patron ingatan, seraya mengaburkan segi-segi dalam ingatan tersebut yang sekiranya bisa membahayakan legitimasi kuasanya atas kekinian. Dan manakala Orde Baru runtuh, maka runtuh pula desain ingatan tersebut dan berakhirlah patronasinya atas ingatan.  Selepas itu, mengingat menjadi peristiwa yang penuh gugatan. Reformasi 1998 membebaskan ingatan khalayak ihwal peristiwa diawal kelahiran Orde Baru yang selama puluhan tahun terkurung di ruang bawah tanah.

Desain Melupakan
Namun, di tengah suka cita pembebasan ingatan dari kuasa Orde Baru, ironisnya ingatan ihwal peristiwa reformasi 1998 berlangsungkian sayup. Padahal reformasi 1996-1998 bertaut erat dengan ingatan ihwal situasi yang mendebarkan saat itu;  kerusuhan massal di Jakarta dan Solo, penculikan para aktivis dan penembakan mahasiswa, atau friksi di antara para jenderal dan elite, yang seluruhnya hingga hari ini tetap menjadi sesuatu yang gelap. Peristiwa di Bulan Mei 1998 semakin tahun kian tak pernah ditaruh sebagai masa silam yang patut diingat demi meletakkan suatu desain kekinian, yakni, mewaspadai  bahaya laten korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), tiga hal yang didengungkan oleh reformasi1998.   

Berbagai peristiwa mendebarkan menjelang jatuhnya Orde Baru kian berkesan hanya menjadi pembatas waktu peralihan ihwal siapa yang berkuasa dulu dan kini. Bukan perubahan pada bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Reformasi 1998 makin luput diingat sebagai  masa silam yang mesti dirawat dan dijaga.  Berlainan benar dengan Orde Baru yangmemperlakukan 30 September 1965 sebagai masa silam yang wajib diingat khalayak. Ringkasnya, meski reformasi 1998 menyimpan berbagai perubahan penting---liberalisasi politik, pembenahan konstitusi dan tata kelola pemerintahan---namun apa yang terjadi pada bulan Mei 1998 tampak dibiarkan begitu saja sebagai ingatan yang tak berpenjaga.

Berlainan dengan Orde Baru yang mengambil posisi sebagai antitesis Orde Lama, sampai hari ini para elite dan aktor politik pascareformasi tak pernah secara tegas bisa menjelaskan posisi hubungannya dengan rejim masa silam. Oleh sebab itulah menjadi berlebihan bila berharap mereka memiliki desain yang jelas bagaimana mestinya peristiwa reformasi 1998 itu diingat, dijaga, dan dimaknai.  

Tentu ada banyak alasan dan dugaan perihal itu. Bukan hanya bersoal bahwa ingatan itu akan berbalik menjadi gugatan khalayak perihal pengungkapan sejumlah bagian gelap yang terjadi dalam reformasi 1998, sedang tak sedikit mereka yang menjadi elite itu kini merupakan bagian yang pernah diuntungkan bahkan  dibesarkan oleh rejim sebelumnya (Orde Baru). Melainkan pula alasan bahwa mengingat peristiwa reformasi 1998 niscaya akan membawa ingatan khalayak pada korupsi, kolusi, nepotisme(KKN).  Tiga perkara yang bisa membuat khalayak bukan hanya mengingatnya dari atau ke masa silam sebagaimana tabiat Orde Baru, tapi juga dari kekinian. Dari kelakuan para elite dan aktor politik pascareformasi, mulai dari korupsi, gratifikasi, kolusi atau fenomena munculnya politik dinasti  di sejumlah daerah. 

Oleh sebab itu, alih-alih merancang suatu desain ingatan bagi reformasi 1998, para elite dan aktor politik pasca reformasi lebih suka membiarkan ingatan itu hidup di tengah khalayak, membiarkannya menjadi ingatan yang tak berpenjaga. Namun dalam konteks hubungan ingatan dan kekuasaan, pembiaran semacam ini bisa pula dibaca sebagai desain ingatan untuk melupakan: Politik ingatan untuk membunuh ingatan. 

Dan ini kian bisa kita amati pula dari gelagat dan manuver sejumlah partai, elite dan aktor politik menjelang pemilu dan pilpres 2014. Politik ingatan untuk membunuh ingatan, yang  tampaknya akan membawa kembali negeri ini ke masa lampaunya. Maka, kita sesungguhnya tak beranjak ke mana-mana,  dan tak ada apa-apa di Bulan Mei **

 Catatan: Dalam versi yang lebih ringkas esai ini terbit di HU Pikiran Rakyat Bandung, 14 Mei 2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar