Minggu, 25 Mei 2014

Sakitnya Merawat Harapan




---Ahda Imran, penyair dan esais

MESKI  kian berselisih jalan dengan yang apa selalu dijanjikan, belumlah cukup alasan untuk berhenti menaruh harapan pada demokrasi. Harapan bahwa dinamika politik bukan melulu rutinitas yang serba teknis prosedural. Namun, membawa nilai yang mewujud bagi kemaslahatan dan kedaulatan khayalak, kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Dan seakan tengah mengamalkan ungkapan Erich Formm, bahwa harapan adalah tiang penyangga dunia, di Indonesia khalayak merawat tiang penyangga itu dengan tangan yang sakit. 

Pemilu (pilkada, pileg, pilpres) ialah medium demokrasi ihwal kekuasaan yang memaktubkan janji bagaimana kekuasaan itu kelak dijalankan. Dan sejak reformasi 1998,  kecuali sejumlah pencapaian dalam konsensus para elite ihwal transformasi prosedur politik yang lebih demokratis,  janji itu belum jua mewujud apapun. Berbarengan dengan kian besarnya lapisan harapan yang luput,  kesibukan merawat harapan pun menjadi laku kesabaran yang di sebagian kalangan menimbulkan kegamangan dan rasa frustasi. Tangan mereka mulai gemetar menahan tiang penyangga dunia itu. 

Bagaimana harapan mesti dirawat sedangkan pemilu kian menjauh dari kesetaraan, keadilan, dan lebih mencirikan laku ekonomi dan pasar yang tak ada urusannya dengan kesejahteraan bersama?  Apa lagi sesungguhnya yang patut diharap dari oligarki yang berselubung demokrasi?

Semakin panjang pertanyaan itu, kian terasa sakitnya merawat harapan yang dijanjikan demokrasi. Namun, demokrasi dan bagaimana demokrasi diperlakukan adalah dua ihwal yang berlainan meski relasi ontologis keduanya mustahil dikesampingkan.

Pasar Gelap
Ramai diwartakan di TV dan media sosial seorang caleg gagal yang menawarkan ginjalnya demi melunasi hutangnya. Atau caleg yang meminta kembali apa yang telah disumbangkannya karena nyatanya ia tidak terpilih; mulai dari pengeras suara masjid sampai kompor gas.  Demokrasi mayoritas telah membuat pemilu menjadi ajang pertarungan para pemuja modal, ketimbang memperkarakan mutu isi kepala.

Kenyataan inilah yang oleh Geoff Mulgan (1995:27) disebut sebagai lenyapnya mitos dasar politik modern, pemilu yang sekadar menjadi mekanisme demi melegitimasikan keputusan kolektif yang dibuat di tempat lain. Di pasar gelap demokrasi yang dihuni oleh segelintir orang; para elite partai, pengusaha, media, dan lembaga konsultan.  Di pasar gelap demokrasi itulah, harapan khalayak yang datang ke TPS sekadar menjadi komoditi transaksi partai politik.

Partai yang fitrah kelahirannya diniatkan sebagai pemersatu aspirasi individu menjadi asipirasi kolektif demi memengaruhi kebijakan negara, kini menjadi kerumunan yang berpatron pada individu pemodal besar atau pada garis keturunan. Dalam pasar gelap demokrasi hanya sedikit, untuk menyebutnya tak ada, ruang bagi kecendikiaan.  

Sasmita                     
Banyak kalangan menilai kian maraknya politik uang dalam pileg 2014 merupakan risiko logis dari demokrasi mayoritas di tengah rendahnya pendidikan sebagian besar khalayak. Partisipasi politik sonder kesadaran politik. Bisa jadi benar. Namun, logika penilaian semacam itu sama halnya dengan menyimpulkan peristiwa pemerkosaan yang terjadi karena korban memakai rok mini. Kian maraknya politik uang jangan-jangan adalah bentuk  kemarahan dan kekecewaan khalayak setelah menjalani laku kesabaran, namun terus disia-siakan. Harapan yang dirawat bukan lagi demi harapan itu, namun untuk menghancurkannya, semacam amuk (Amok).

Khalayak bukan tidak bisa menilai siapa yang mereka pilih dan apa risiko memilihnya. Rasionalitas memilih bukan semata soal nilai tukar atau karena keputusan bahwa tidak memiliki harapan jauh lebih baik ketimbang terus merawat harapan dan disia-siakan. Melainkan, sejenis isyarat yang minta dimaknai sebagai sasmita, perlambang kekecewaan khalayak yang dirahkan ke masa depan, untuk mengatakan bahwa mereka memiliki kemampuan yang lebih massif untuk mempercepat kehancuran demokrasi.

Sasmita ini menjadi niscaya sebab politik ialah jagat dengan dimensi keseluruhan manusia yang ditautkan oleh relasi individu dan khalayak, mikro kosmos dan makro kosmos. Dan di hadapan sasmita semacam itulah, menjelang pilpres 2014, merawat harapan pada demokrasi kian menjadi laku kesabaran yang genting dan menyakitkan. Sementara, tak satu pun jalan keselamatan kecuali kesetiaan merawat apa yang telah kita yakini sebagai harapan.**  

 Sumber: HU. Pikiran Rakyat, 24 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar