Jumat, 30 Mei 2014

Utopia Para Pemuja




Oleh Ahda Imran

PILPRES  2014 tampaknya tengah memberi gelagat ke arah realitas demokrasi yang disesaki para pemuja. Meski belum tentu berlaku sebaliknya, sebagaimana ghalibnya para pemuja sekaligus adalah para pembenci. Dengan dua pasangan capres-cawapres (Joko Widodo-Yusuf Kalla; Prabowo Subianto-Hatta Rajasa), terutama di jejaring media-sosial, para pemuja kedua kubu riuh saling serang. Memuja kandidat pilihan seraya menaruh kebencian yang sengit pada kandidat pesaing.  Jejaring media-sosial lalu menjadi “Kurusetra”; perjumpaan para pemuja sekaligus pertempuran para pembenci.

Karnaval para para pemuja ini tak sebatas hanya diikuti khalayak awam, melainkan pula para elite politik di kedua kubu pasangan. Seperti para pemuja lainnya, orang-orang terhormat ini pun berlaku sama. Rajin melontarkan sinisme ke arah figur kandidat pesaing, dengan agresivitas yang sama dengan khalayak awam.

Realitas demokrasi semacam ini membuat pilihan politik bukan lagi momen merayakan perbedaan. Bahkan, perbedaan seakan telah menjadi dosa.  Antagonis dan penghalang bagi segala harapan perubahan yang diyakini hanya bisa diwujudkan oleh pasangan kandidat pilihan. Yang sebaliknya mustahil mampu diwujudkan oleh kandidat pesaing yang terlibat pelanggaran HAM, bagian dari masalah masa lalu, figur yang sekadar jadi boneka ketua partai, popularitas yang dibesarkan media. Seperti biasanya, politik lalu dipakai untuk menilai segalanya; etnis, agama, sampai penilaian cara-cara shalat.  

Di luar sinisme dan serangan terhadap kandidat pesaing, sebaliknya para pemuja melekatkan penampilan figur kandidat capres pada sosok besar dalam sejarah. Raut wajah Jokowi yang dianalogikan dengan wajah Jenderal Soedirman. Dan sebagaimana yang getol dilontarkan Amien Rais, wajah serta penampilan Prabowo dipersamakan dengan Bung Karno.

Politik Analogi
Lepas dari kemungkinan bahwa pilihan pada Soedirman dan Bung Karno juga mengandung intensi politik yang diarahkan pada kubu figur pesaing. Namun, hal itu mesti dicurigai sebagai politik analogi atau siasat genealogis ketokohan. Di baliknya ada hasrat untuk seakan menjadi representasi dari kerinduan alam bawah sadar khalayak ihwal pemimpin yang diharapkan.  Pemimpin yang jujur, bersahaja, merakyat, lebih banyak bekerja ketimbang memamerkan retorika (Jokowi); memiliki ketegasan, bertindak cepat, dan mampu membangkitkan harga diri bangsa (Prabowo).

Seluruh idealisasi itulah yang dianggap bisa mengubah  situasi anomali yang berlangsung. Dan seluruh idealisasi itu terdapat pada Soedirman dan Bung Karno, sosok penting di suatu masa yang genting dalam sejarah Republik. Masa yang dipersamakan dengan kegentingan situasi kekinian yang serba anomali, yang itu hanya bisa diubah oleh sosok capres yang memiliki spirit serupa kedua tokoh tersebut.  

Politik analogi di situ diam-diam tengah mengajak khalayak pemuja untuk menaruh sejenis harapan atau utopia, atau gabungan keduanya, yang kuat berkesan digiring menjadi ratuadilisme, millenarianism. Atau lagi, meminjam ungkapan Soedjatmoko (Prisma, 1976), berpotensi menjadi utopia instan yang muncul dari kebingungan, frustrasi, pemujaan dan radikalisasi buta.

Utopia Instan
Utopia instan merupakan antipoda dari pandangan sosiolog Karl Mannheim (Idelogy and Utopia, 1991), ihwal utopia sebagai tempat gagasan menjadi aktif; melampaui situasi dan membawa perubahan. Utopia di situ bukanlah ide platonis yang statis. Melainkan yang mesti dipahami sebagai tujuan formal yang diproyeksikan ke masa depan yang tak terbatas. Ringkasnya, utopia instan para pemuja cenderung memperlihatkan tabiatnya yang platonis, statis, menaruh hasrat pemujaan yang besar menyerupai millienarianisme atau mesianisme.

Dalam praktiknya, utopia instan akan membayangi pasangan kandidat yang kelak terpilih. Analogi yang dilekatkan pada sosok historis, akan membuat para pemuja dipenuhi  harapan akan perubahan besar yang mengawang-awang. Karena wataknya yang statis, utopia itu menjadi terasing di tengah proses politik perubahan yang ruwet. Belum lagi, pertarungan partai-partai politik di parlemen yang akan memengaruhi berbagai agenda perubahan.

Artinya, segalanya menjadi serba tidak mudah. Pada saat itulah politik analogi yang ditautkan pada sosok historis perlahan akan kehilangan legitimasinya. Utopia yang mengambil spirit dari masa lalu demi masa depan itu,  akhirnya abortif melahirkan perubahan yang dibayangkan. Dan para pemuja pun segera membubarkan barisan, berbalik menjadi barisan pembenci. Termasuk membenci harapan. Dan tak ada yang lebih mengerikan dari sebuah negeri yang dihuni oleh mereka yang tak lagi memiliki harapan.**     

Sumber: HU. Tribun Jabar Bandung, 31 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar