Senin, 07 April 2014

Tubuh Primordial dari Sebuah Festival Teater




Oleh Ahda Imran

TAK  pernah ada di Indonesia sebuah festival teater berbahasa daerah yang secara kontinu berlangsung sepanjang 25 tahun, seperti Festival Drama Basa Sunda (FDBS). Berlangsung dua tahunan sejak 1988, bertempat di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, diselenggarakan oleh Teater Sunda Kiwari (TSK). Peneraan kata “Drama Basa Sunda” menjelaskan bentuk pertunjukkan yang dianut oleh festival ini, yaitu, teater modern dalam bahasa daerah.  Peneraan ini sekaligus sedang menjelaskan hasrat TSK mensyiarkan anutan ideologi estetika mereka. Yakni,  menaruh atau memaknai bahasa dan tubuh primordial (Sunda) di atas panggung teater modern.  

Festival ini seakan ingin menawarkan perspektif berikutnya demi memeriksa asumsi bahwa jagat teater modern adalah teater urban. Jagat yang setidaknya terkesan kuat menaruh setiap pertunjukan berbahasa lokal sebagai yang bukan teater modern. Bila pun ada, lokalitas itu tak lebih sekadar demi meneguhkan apa yang disebut dengan teater modern Indonesia, sebagaimana mengemuka dalam tema perhelatan Forum Teater Empat Kota  1976  di Jakarta ; “Warna Daerah dalam Teater Indonesia”.  Atau, yang mudah ditemukan dalam berbagai produksi kelompok teater modern dengan latar warna dan idiom budaya daerah.

Pertama kali diselenggarakan tahun 1988, festival ini seolah memaklumatkan suatu sikap di tengah jarak yang luas antara bentuk teater tradisional dan modern. Maklumat yang pula dinyatakan oleh TSK ketika kelompok ini didirikan tanun 1975 lewat penamaan “Sunda Kiwari”. Sebuah frasa yang mengambil jarak tegas terhadap jejak masa lalu yaitu bentuk teater tradisional Sunda, seperti Longser.      

Sikap ini juga mengandung hasrat untuk berkompromi atau menemukan semacam konsensus estetis dengan konsepsi seni modern. Namun, seraya itu pula TSK melainkan identitas mereka dari orientasi kultural yang diusung oleh teater modern seperti Studiklub Teater Bandung (STB), yang di tahun 1970-an menjadi “patron” kelompok-kelompok teater di Bandung.

Tubuh yang Genting                                                                      

Lebih dari sekadar demi mensyiarkan anutan sebuah konsep estetis, FDBS merupakan ikhtiar merawat dan memaknai narasi tubuh primordial (Sunda) dalam bentuk teater modern. Demi keperluan itulah naskah wajib yang disediakan seluruhnya mengambil setting budaya Sunda. Semacam cara untuk merayakan narasi tubuh yang lain di luar narasi bahasa dan tubuh  urban yang selalu dilekatkan pada teater modern Indonesia. Pendeknya, FDBS merupakan peristiwa merayakan pemaknaan narasi dan tubuh primordial dalam watak dan bentuk teater modern.      

Tetapi, perayaan ini ternyata memperlihatkan gelagat yang lumayan genting pada watak tubuh primordial yang kian menyusut akibat pengalaman tubuh yang dibesarkan oleh teks-teks urban. Akibatnya, referensi aktor dengan segala ihwal yang berada di balik penanda teks (bahasa) primordial tampak kian menipis. Gelagat yang tak cukup dicurigai karena perkara teknis pemeranan atau  penyutradaraan. Melainkan dari segala ihwal yang bertaut dengan lenyapnya batasan geografis antara kota dan lembur (kampung) yang berimplikasi pada hubungan pengalaman berbahasa dan tubuh.  Ini bahkan kerap dijumpai pada  kelompok-kelompok teater yang berasal dari daerah; Ciamis, Tasik, Sukabumi, Sumedang, atau Kuningan. Terlebih peserta umumnya adalah kelompok teater dari berbagai daerah yang seluruhnya anak muda.

Setidaknya dari tiga atau dua pelaksaan FDBS terakhir, terasa betapa tubuh primordial (Sunda)  itu tergagap-gagap berkorespondensi dengan segala penanda di balik teks (lakon). Mulai dari gestur yang kehilangan referensinya sebagai tubuh primordial, hingga keganjilan mengartikulasikan situasi tubuh dalam pengalaman berbahasa. Pengalaman yang bahkan pernah dijumpai oleh kelompok Mainteater ketika mereka mementaskan naskah berbahasa Sunda“Sandekala” (Godi Suwarna) yang disutradarai Wawan Sofwan tahun 2008. Pengalaman berbahasa yang membuat tubuh para aktor berada dalam situasi yang tidak senyaman ketika naskah ini kembali dipentaskan dalam bahasa Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.   

Keniscayaan

Tetapi, barangkali kegentingan ini juga sebuah keniscayaan. Keniscayaan yang membuat festival ini menjadi bagian dari cara menelisik bagaimana realitas urban memengaruhi pengalaman tubuh primordial. Ketiadaan jarak mental dan pembesaran watak tubuh urban telah membuat tubuh para aktor bekerja keras untuk mempersempit jaraknya dengan narasi primordial. Terutama lagi sejumlah naskah yang disediakan dalam festival ini masih belum beranjak dari narasi ihwal lembur dengan watak teks yang baku.

Kegentingan tubuh primordial akibat pembesaran tubuh urban sesungguhnya ialah risiko yang niscaya dalam gerak modernitas. Oleh sebab itulah, penampilan berpuluh kelompok teater dalam festival yang akan dimulai bulan April mendatang ini, tampaknya bukan sekadar ingin dimaknai sebagai peristiwa teater. Melainkan peristiwa manakala tubuh primordial berupaya melakukan interupsi atas pembesaran narasi tubuh urban, seraya berharap  kegentingan itu kelak berujung pada peluang berikutnya dalam memaknai kekiniaan dan identitas. **

Ahda Imran, penyair

Catatan: Dalam versi yang lebih ringkas esai ini dimuat di HU Kompas, Minggu 6 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar