Rabu, 31 Juli 2013

Tubuh Puasa, Tubuh Belanja



---Ahda Imran, penyair dan esais

SANGAT sulit memisahkan hubungan agama dan ekonomi, untuk tidak menyebutnya niscaya. Nyaris tak ada aktivitas keagamaan yang tidak menimbulkan aktivitas produksi, distribusi, konsumsi, atau memengaruhi grafik permintaan-penawaran. Tentu tidaklah sulit menemukan contohnya. Naiknya grafik permintaan-penawaran kambing atau sapi menjelang Hari Raya Idul Adha, atau kenaikan harga tiket berbagai angkutan seiring tingginya angka permintaan menjelang lebaran.  Yang sakral di situ memberi berkah bagi yang profan.

Dalam hubungan semacam itu,  ritus agama hadir sebagai fenomena yang berkuasa atas tubuh penganutnya. Tubuh ritus yang hadir secara independen dan otonom. Tubuh yang identifikasinya bisa dibaca dari Mircea Eliade (1949), yakni, fenomena yang  tidak bisa diartikan sebagai produk realitas yang lain. Singkatnya, tubuh ritus ialah tubuh yang tak berkorespondensi dengan realitas lain kecuali dengan realitas yang sakral, dengan yang transenden. Sedangkan yang profan lebih hadir kemudian, dan tak memiliki kesanggupan untuk memengaruhi tubuh ritus.


Namun, sebagaimana kita meniliknya selama bulan Ramadan, hubungan agama dan ekonomi memperlihatkan pula keniscayaannya yang lain. Keniscayaan yang bersebab dari pembesaran rezim konsumerisme sehingga hubungan tersebut menjadi suatu paradoks. Dalam hubungan semacam itu, puasa (Shaum) yang menekan pada pengekangan hasrat tubuh (jasmani) demi menimbulkan pencerahan rohani, berada di tengah situasi yang membuatnya menjadi genting, yakni, hasrat mengonsumsi, hasrat berbelanja.

Dalam kegentingan serupa inilah tubuh ritus kehilangan independensi dan otonominya. Tubuh yang kehilangan konsentrasi identitasnya sebagai tubuh sakral. Alih-alih sebentar menjarak dari hasrat profan (duniawi), budaya konsumsi telah membawa tubuh puasa ke dalam kesibukan berikutnya sebagai tubuh belanja. Oleh sebab itulah, bulan Ramadhan yang semestinya menjadi interupsi atas budaya konsumsi, malah kian menjadi alasan untuk makin mengonsumsi. Hal ini, misalnya, ditandai pula dengan meningkatnya indeks kepercayaan konsumen saban memasuki Ramadan, terlebih menjelang lebaran.

Tubuh Paradoks
Puasa Ramadan merupakan ibadah yang paling introvert. Sejak Subuh hingga Magrib, setiap orang diperintahkan masuk ke dalam tubuhnya yang paling privat. Di dalam ruang privat itu, segala hasrat ihwal tubuh mengalami pengekangan, mulai dari makan-minum, libido, hingga kontrol terhadap perkataan dan perilaku. Di dalam ruang privat itu, tubuh dengan segala hasrat ketubuhannya ditarik  pada kesadarannya yang sakral. Maka tubuh puasa adalah tubuh sakral dan privat yang menginterupsi berbagai hasrat ketubuhannya demi pencerahan rohani.

Namun, tubuh puasa ternyata adalah tubuh paradoks. Tubuh yang muncul dari pengekangan sekaligus pemanjaan. Pemanjaan tubuh demi menebus pengekangan bahkan telah terjadi sedari memasuki bulan Ramadan. Ini, misalnya, bisa terbaca dari naiknya permintaan akan kebutuhan pokok, terutama daging ayam dan sapi menjelang Ramadan.  Meningkatnya konsumsi menjelang Ramadan menyebabkan tubuh puasa berada dalam paradoks. Berpuasa dari hasrat-hasrat ketubuhan namun menebusnya dengan tingkat konsumsi yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Meski demikian, seraya mentautkannya dengan keniscayaan hubungan agama dan aktivitas ekonomi, pada batas-batas tertentu, tubuh paradoks dalam tahap ini masih menyediakan alasan ihwal bagaimana yang sakral memberi berkah pada yang profan. Tetapi, sangat pelik menemukan alasan yang sama manakala tubuh paradoks itu berada di tengah hasrat konsumerisme. Hasrat belanja yang melakukan seduksi (godaan) atas tubuh puasa sehingga Ramadan menjadi paradoks yang lebih mendebarkan; tubuh puasa sekaligus tubuh belanja. Mengekang hawa nafsu sekaligus ramai-ramai mengumbarnya di sisi yang lain.

Rezim Konsumerisme
Tubuh paradoks selama Ramadan menjelaskan peta hubungan agama dan ekonomi di bawah kuasa rezim konsumerisme. Bila sebelumnya yang sakral memberi berkah pada yang profan, kini yang profan tidak lagi menunggu turunnya berkah itu. Melainkan mengambil, merebut, memaksa, dan mengkonstruksi atau mengemas berkah sebagaimana  yang diinginkannya. Rezim konsumerisme dalam konteks ini telah mengambil alih pesan-pesan sakral agama. Mengalihkannya menjadi alasan atau pembenaran sehingga kian besarnya keperluan orang untuk mengonsumsi.  

Bahkan, bisalah dikatakan rezim konsumerisme ini seolah telah menjadi agama baru yang mengemas berbagai pesan puasa Ramadan dan lebaran menjadi seruan  mengonsumsi. Seperti terlihat dari  iklan berbagai produk di TV yang memakai tema puasa dan peristiwa lebaran.  Oleh sebab itu, menjadi lumrah adanya bila besaran pertumbuhan ekonomi jauh lebih cepat ketimbang munculnya gelagat kesadaran atau semacam pencerahan rohani. Sekurang-kurangnya bisa ditilik dari dampaknya di ranah sosial.

Di bawah rezim konsumerisme tubuh puasa adalah tubuh belanja. Tubuh yang membelah dirinya  dan kehilangan independensi serta otonominya sebagai tubuh sakral dalam ruang yang introvert. Orang berpuasa namun tubuh sakralnya tak lagi berada dalam realitas yang paling privat akibat tekanan rezim konsumerisme. Rezim yang sebagaimana dikemukakan Baudrilaard (1970), berwatak eksternal dan memaksa.

Oleh pemaksaan inilah tubuh puasa yang sakral, privat, dan introvert menjadi kerumunan peristiwa mengonsumsi dalam fenomena kolektif yang berlangsung saban tahun.  Oleh pemaksaan ini pula puasa Ramadan akhirnya seolah hanya menyisakan tradisi atau rutinitas tubuh, ketimbang menjadi oase atau ruang untuk menjarak dan menginterupsi rezim konsumerisme demi terbitnya pencerahan ruhani.

Tentu adalah lumrah bila selama puasa Ramadan tingkat konsumsi melonjak naik ketimbang biasanya, terutama yang menyangkut sejumlah kebutuhan pokok. Namun, menjadi tak masuk akal bila seluruhnya itu dijadikan alasan untuk menciptakan tubuh belanja yang sibuk menimbun hasrat akan kelimpahruahan mengonsumsi. 

Bila pencerahan rohani hanya bisa dicapai lewat pengekangan hasrat-hasrat tubuh seperti ritual berpuasa Ramadan, masih bisakah diharap pencerahan rohani itu muncul dari tubuh belanja yang serakah mengkonsumsi? Tubuh belanja yang makin sibuk mendorong dan mengisi trolinya setiap hari di mal-mal sambil bergumam, “Aku belanja, karena itu aku lebaran”**   



Sumber : Pikiran Rakyat, 1 Agustus 2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar