Selasa, 16 Juli 2013

Rumah Topeng dan Wayang Setia Dharma


Jejak dan Bayang Manusia


Oleh AHDA IMRAN

TOPENG  itu terbuat dari kayu. Berasal dari Suku Dogon di Mali, Afrika. Bentuk hidung dan sepasang lubang matanya tampak besar. Dibanding ragam dan watak topeng Afrika umumnya, tak ada yang aneh dengan topeng itu. Yang tak lazim ialah topeng itu memiliki bagian kayu yang mencuat ke atas, sekira setengah meter, dengan dua persilangan geometris mirip antene, sehingga tampak futuristik. Bentuk topeng yang tak lazim itu bertaut erat dengan tradisi lisan Suku Dogon yang meyakini, bahwa mereka adalah keturunan mahluk luar angkasa.  Tak jelas sudah berapa tahun usia topeng itu. Dari tekstur dan warna kayunya, topeng itu tampak sudah sangat tua, disimpan di balik lemari kaca.


Tak jauh dari situ, terdapat lemari berikutnya yang berisi beragam topeng Afrika lainnya. Sedang di ruang berikutnya, dalam deretan lemari kaca, tersimpan sejumlah topeng tua yang berasal Nusantara. Di antara yang paling menarik ialah topeng ritual dari Kalimantan yang disebut usianya sekira dua abad. Berbeda dengan umumnya topeng ritual Suku Dayak (Hudoq), topeng tersebut terkesan purba dan magis, terbuat dari sepotong kayu mirip buah labu dengan kerutan tekstur yang kasar seolah terbentuk oleh peristiwa alami.




Tak ada keterangan lebih jauh, kecuali teks di bawahnya yang menyebutkannya sebagai “Topeng Ritual Borneo” yang biasa terdapat di dalam goa. Demikian pula dengan topeng kecil berwarna kehijauan dengan ekspresi yang sedih, dan disebut sebagai Topeng Kematian, jejak peninggalan di masa Majapahit. Sementara di tempat lainnya, dalam beberapa bangunan berbentuk joglo, tersimpan beragam jenis wayang. Tak hanya wayang Jawa, Betawi, dan Sunda, atau juga Si Gale-gale (Batak), tetapi juga Wayang Gantung (China) atau Wayang Tongkat (Italia).    

Topeng-topeng dan wayang itu ada di Rumah Topeng dan Wayang Setia Dharma, Ubud Bali. Tempat ini mengoleksi 1.300 topeng dan 5.700 wayang  dengan beragam jenis dan berasal dari seluruh Indonesia, termasuk  Asia dan Afrika. Lebih dari sekadar jumlah koleksinya yang bisa dikatakan terlengkap di Indonesia, tempat ini menjadi penting dan menarik demi membaca jejak perjalanan manusia dan kebudayaannya.

Jejak yang tak hanya terbaca pada langgam atau unsur kebentukan,  namun pula pada  kesadaran dan pemaknaan di sebaliknya. Termasuk dalam konteks fungsinya sebagai ritual (transenden),  seni dan pertunjukan (profan), atau yang sekaligus bermakna sebagai kesatuan keduanya. Topeng Suku Dogon, misalnya, yang berhubungan dengan kepercayaan ihwal mahluk asing di luar angkasa sebagaimana juga terdapat pada Suku Maya di Peru.  Pula demikian dengan Topeng Borneo yang purba disebalik terasa benar begitu magis menatapnya.

Bila topeng-topeng ritual terasa lebih menekan pada suasana, maka sejumlah topeng pertunjukan tampak lebih menonjolkan sisi perwatakan. Mulai dari ekspresi, bentuk anatomi wajah, warna, ukuran, hingga ornamen ragam hiasnya. Namun karena seni pertunjukan ialah bagian utuh dari tradisi suatu komunitas etnis (kultur), watak dan bentuk topeng-topeng juga merepresentasikan banyak ihwal. Mulai dari sebaran geokulturalnya atau simbol sistem nilai dan idiom-idiom lokal yang termaktub dalam watak, warna, ornamen hiasnya. Pemiuhan bentuk anatomi wajah banyak ditemukan pada topeng tokoh lelucon (bodor), misalnya, Topeng Jiweng (Sawo Gletak) dari Wonosobo.   

Demikian pula topeng yang mengambil bentuk wajah binatang tertentu yang disucikan, sebutlah, ular naga atau Hudoq. Jenis topeng ini fokus umumnya ditaruh meletakkan pada mulut dan taring demi melukiskan kekuatan. Pemilahan topeng ritual dan seni pertunjukan, pada beberapa topeng, pula menjadi kesatuan. Pada jenis ini, imaji bentuk binatang sangat ditonjolkan dengan wataknya yang menyeramkan dan mistis atau bentuk topeng realis yang khusyu dan diam dalam warna putih serupa Topeng Panji (Cirebon), atau yang menampilkan wajah orang tua yang bijak seperti yang tampak pada topeng-topeng Jepang

Wayang, Beragam Bayang
5.700 wayang yang dikoleksi di tempat ini merupakan bukti betapa panjangnya jejak tradisi boneka yang ada di berbagai bangsa. Keberbagaian ini tak hanya menjelaskan kreativitas bentuk atau format pertunjukan, melainkan pula narasi dan mitos yang melatarinya. Di tempat ini terdapat seluruh ragam seni boneka  dari seluruh Indonesia. Baik dalam pengertian seni boneka serupa Si Gale-gale, hingga yang beragam boneka kayu dan kulit dalam rupa wayang.

Setiap geokultur menampilkan bentuk dan karakter wayang yang berlainan meski dalam rupa yang sama.  Sebutlah, wayang beber Bali yang berbeda dengan wayang beber Jawa, meski keduanya mengisahkan lakon Mahabharata-Ramayana. Koleksi beragam wayang ini juga menjelaskan bagaimana tradisi ini hidup dalam setiap lapisan masyarakat, sebagaimana tampak pada Wayang Kaper. Wayang kulit berukuran kecil dibuat dengan sangat apik yang pada masanya biasa dipakai untuk berlatih mendalang oleh para anak-anak raja. 

Tak jauh dari deretan Wayang Kaper, juga berderet Wayang Suket yang terbuat dari rumput.  Wayang yang
berasal dari Purbalingga Jawa Tengah ini merupakan permainan wayang yang biasa dimainkan oleh anak-anak dari kalangan rakyat.

Selain tentunya beragam wayang kulit, terdapat pula Wayang Golek dari sejumlah daerah di Jawa Barat, di antara Wayang Golek Pakuan, Wayang Golek Cimareme, dan Wayang Golek Purwa Bogor. Yang menarik ialah Wayang Golek Pakuan.  Bukan karena jenis wayang ini sudah langka, namun karena lakon yang dimainnya bukanlah lakon Mahabharata, Bharatayudha, Ramayana. Akan tetapi mengambil lakon dari kisah sejarah atau legenda lokal, karena itu tokoh wayang ini di antaranya Pangeran Kornel, Gubernur Jenderal J.P. Coen, sampai Prabu Siliwangi. 

Demikian pula dengan Wayang Lenong Betawi yang bentuknya lebih merupakan boneka kayu manusia yang dibuat mirip. Lakonnya diambil dari cerita masyarakat Betawi. Maka tak aneh bila di antara deretan wayang ini terdapat wayang “Si Manis Jembatan Ancol”.

Bukan Museum
Menurut Staf Rumah Boneka dan Wayang Setia Dharma, A.Prayitno, seluruh koleksi yang dipamerkan barulah setengah dari jumlah koleksi yang dimiliki. Berangkat dari kecemasan punahnya jejak tradisi topeng dan wayang, Rumah Boneka dan Wayang ini didirikan tahun 1998, dan sepenuhnya dikelola secara partikulir tanpa campur tangan pemerintah. Setiap hari tempat dikunjungi oleh masyarakat umum, anak sekolah, mahasiswa, sampai penggemar wayang dan topeng, atau para peneliti.  

Meski pada teknis kerjanya persis sebuah museum (mengoleksi, merawat, dan memamerkan), namun A. Prayitno menolak sebutan itu. “Karena sebutan “Museum” konotasinya berjarak, maka kami lebih suka menamakannya dengan “Rumah”.

Mengoleksi benda-benda langka seperti topeng dan wayang tentu tidaklah mudah. Terlebih banyak topeng dalam masyarakat etnis yang masih dikeramatkan. Menurut A.Prayitno banyak kendala yang mesti dilalui untuk mendapatkan sebuah topeng semacam itu. Mulai dari memberi pengertian pada puak atau suku pemiliknya, sampai melakukan berbagai upacara sebagai syarat.  Kesulitan lainnya ialah menarasikan topeng tersebut karena tak adanya data. Jalan yang ditempuh akhirnya adalah mengumpulkan informasi dari masyarakat, terutama mereka yang sudah sepuh.

“Tak terbayangkan bagaimana seandainya generasi tersebut sudah tak ada,”ujar A.Prayitno.**



Sumber: Pikiran Rakyat, 14 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar