Minggu, 04 Agustus 2013

Kampung Halaman

MARILAH kita mulai dengan seorang kawan. Meski baru saja dua bulan yang lalu ia dan anak istrinya pulang kampung untuk menghadiri perkawinan seorang kerabat sekaligus mengantar liburan sekolah anaknya, tapi sudah sejak tiga hari yang lalu seorang teman saya kembali bersiap untuk kembali mudik.

Meski akhirnya tiket kereta ekonomi itu sudah di tangan, persoalan ternyata belum selesai. Bagaimana dengan oleh-oleh untuk ibu, bulik, paklik, emang, uwak, bibi, atau anak kemenakan, dan kerabat lainnya di kampung? Lalu terbayanglah barang bawaan yang angkaribung, dan jangan lupa, suasana 15 jam perjalanan yang menyebalkan itu.

Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, semua keadaan itu dilakoni dengan sikap seakan-akan memang sudah demikian mestinya, tanpa perlu melihatnya sebagai beban. Saya merasa kagum dan cemburu dengan kesabaran teman saya itu.


Setelah saya tanyakan mengapa ia harus merasa perlu berlebaran di kampung halaman padahal belum lama pulang dari sana, sambil mengikat kardus yang penuh dengan oleh-oleh, teman saya itu malah nyengir.

“Beda atuh! Sekarang mah buat Lebaran, kemarin mah buat Si Neneng liburan sekalian ada hajat kawin,” katanya.

Mungkin bisa saja saya curiga bahwa keinginannya yang keras untuk mudik kali ini juga dibayang-bayangi oleh keinginan pamer, baik di mata orang-orang kampung atau di hadapan sesama para pemudik tentang keberhasilan hidup di kota. Tapi saya pikir kecurigaan saya tidak pada tempatnya atau salah alamat, sebab sebagai buruh pabrik yang juga merangkap tukang ojek, apa yang mau dipamerkannya? Busana muslimah istrinya dan baju model putri-putrian anaknya yang dibeli di kaki lima itu? Lalu apa juga yang harus dipamerkan dengan oleh-oleh yang cuma goreng oncom, dodol, goreng tempe, dan ranginang mentah itu?

Jawabannya yang polos dan bersahaja itu menarik, karena disitu kampung dipahami dari dikotomi realitas waktu dan ruang yang berbeda dalam keperluan mendatanginya. Pulang ke kampung untuk menghadiri pernikahan kerabat dan mengantar anak berlibur lebih menekan pada pengertian kampung halaman sebagai keterangan tempat yang sifatnya fungsional, ketimbang menghadirkan makna yang lebih dari itu. 

Artinya, kampung di situ tidaklah dimaknai sebagai waktu dan ruang dengan kepastiannya yang tetap, melainkan bisa menjadi relatif. Bukankah tak ada keharusan bahwa anak harus selalu liburan di kampung, misalnya. Dengan perkataan lain, kampung halaman untuk keperluan itu lebih dipahami sebagai sebuah ruang yang profan.
           
Dan inilah yang membedakannya dengan pulang ke kampung halaman ketika Lebaran. Pengertian pulang di sini bisa saja bersebab pada keperluan dan kebutuhan merayakan Idul Fitri itu bersama sanak-saudara dan orang sekampung. Namun, tidaklah lantas semuanya berhenti di situ. Idul Fitri menyimpan realitas waktu dan ruang yang lebih dari sekadar perayaan dalam pengertiannya yang pragmatis dan profan, atau yang kemudian dimengerti dalam persinggungannya dengan kesadaran identitas kolektif yang tengah ditegaskan kembali.
           
Satu hal yang terang, berangkat pulang ke kampung halaman untuk berlebaran lebih dari sekadar bersebab pada keinginan-keinginan di mana kampung halaman hanya menjadi tempat yang fungsional sifatnya. Ada sesuatu yang menggerakkannya sehingga ia menjadi semacam kebutuhan, di mana kampung halaman dipahami sebagai sebuah kepastian yang tetap bahkan menjadi abadi. Lebaran telah menjadikan kampung halaman sebagai bagian dari sakralitas waktu dan ruang. Dan sebagaimana sifatnya, sesuatu yang dianggap sakral akan selalu bersifat komunal.
           
Kampung halaman sebagai ruang yang menjadi sakral pada setiap Lebaran juga menyimpan makna simbolis dalam kesadaran setiap orang untuk mencari dan menemukan kembali jejak-jejak awal sejarah dirinya. Sungkem, bertemu kerabat, makan bersama, dan ramai-ramai ziarah kubur leluhur.

Kampung halaman pada saat-saat Lebaran semacam itu didatangi sebagai semacam ziarah waktu dan ruang, memberi tempat kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kefitrahan manusia. Kefitrahan yang tak hanya terjadi di ruang privasi, melainkan juga kefitrahan dalam seluruhnya. Kefitrahan sebagai sesuatu yang sakral inilah yang membedakan makna kampung halaman pada saat-saat selain Lebaran.
Tapi benarkah bahwa setiap yang sakral niscaya juga bersifat komunal? Juga apa betul yang sakral itu sekarang masih ada di tempatnya? Atau, sebenarnya apa sih kampung halaman itu?

“Saya mah tidak pernah bertanya kayak begitu, karena saya punya kampung. Saya punya kampung karena itu saya mudik, “ kata teman saya yang sedang mengikat kardus oleh-oleh untuk pulang mudik itu.
           
“Saya mudik karena itu saya ada!” celetuk saya berseloroh. Teman saya sebentar termenung, lalu meneruskan kembali pekerjaannya.
           
Di jalan pulang saya masih memikirkan kata-katanya tadi. Kampung halaman sebagai ruang sakral pada saat Lebaran ternyata tidak memberi tempat pada setiap pertanyaan. Sesuatunya tiba-tiba menjadi pasti. Mudik menjadi perjalanan yang ritual di mana setiap orang hanya diharuskan melakoninya. Tapi siapakah yang mengharuskannya? Saya diam-diam jadi curiga, jangan-jangan yang sakral itu sebenarnya cuma anggapan ketimbang kenyataan.
           
Ketika saya hendak menyelesaikan tulisan ini, teman saya itu baru saja singgah untuk pamit sekaligus menitipkan kunci rumah kontrakannya, dan istrinya bertanya, “Mudiknya ke mana?”

 “Tidak ke mana-mana. Di sini saja,” kata saya. Dan tiba-tiba saja saya merasa sendirian.**


 SUMBER:  Pikiran Rakyat, 7 November 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar